Orde Reformasi Yang Tergadai: Pengelolaan SDA Bagi Kemaslahatan Rakyat

Pengelolaan SDA Bagi Kemaslahatan Rakyat
Abdullah Hehamahua
banner 400x400

Oleh: Abdullah Hehamahua

Hajinews.id – Indonesia, negara yang hutan tropisnya terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Dua pertiga wilayahnya, laut. Olehnya, pantai Indonesia terpanjang kedua di dunia (99.083 km) setelah Kanada (202.080 km). Tambangnya, tak terbilang. Mungkin satu-satunya negara di dunia yang punya semua jenis tambang, selain hutan dan laut yang luas.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Tragisnya, angka kemiskinan di Indonesia, masih tinggi. Menurut BPS, Januari 2023, penduduk miskin di pedesaan mencapai 12,36%, September 2022. Namun, menurut World Bank, satu dari enam orang Indonesia, miskin. Maknanya, ada 40 juta orang Indonesia yang miskin ekstrim. Mereka yang miskin normal, 120 juta orang.
Perbedaan yang menganga tersebut disebabkan standar di antara Menkeu dengan World Bank, beda. Menkeu anggap, orang miskin adalah mereka yang penghasilan hariannya, 1,9 dolar AS. World Bank menyebutkan, standar internasional orang miskin adalah yang berpenghasilan 3,2 dolar AS.

Pengangguran tidak kalah hebat. Data BPS, Februari 2023, pengangguran mencapai angka 5,45%. Daya saing global menduduki posisi 34 dari 68 negara yang disurvei. “Human Development Index” (HDI) hanya 72,9, posisi keenam Asia Tenggara. Posisi 130 dari 199 negara di dunia. Hal ini erat kaitannya dengan angka stunting yang masih tinggi, 21,6% pada tahun 2022.

Korupsi gila-gilaan. IPK Indonesia yang tadinya 40, anjlok ke angka 34. Indonesia berada di posisi keenam Asia Tenggara, urutan 110 dari 180 negara dunia.

SDA Indonesia sangat banyak. Namun, utang negara melangit. Hampir Rp. 8 ribu trilyun. Belum lagi utang BUMN. Bunga utang tahun ini saja, Rp.441,4T. Penyebabnya, proses pengelolaan SDA tidak berdasarkan UUD, 18 Agustus 1945.

Hutan Terluas Ketiga Dunia

Luas Hutan Indonesia, tahun 2023, tercatat 125.795.306 hektar. Ia tercatat nomor tiga terluas di dunia sesudah Brazil dan Kongo. Sekitar 60 juta penduduk Indonesia bergantung hidup di hutan. Konsekwensi logisnya, Indonesia harus mampu mengoptimalkan manfaat dari hutan yang ada.

Tragisnya, deforestasi (pengrusakan hutan) Indonesia, terkategori terbesar di dunia. Tahun 2015 misalnya, deforestasi mencapai 727.981,2 hektar. Tahun tersebut, deforestasi terbesar terjadi di Riau, 201.939,40 Ha. Itulah sebabnya, KPK menangkap tiga gubernur Riau berturut-turut karena KKN dalam soal hutan.
Deforestasi di Kalteng, 58.835,60 Ha. Kaltim seluas 38.339,40 Ha. Deforestasi ini terjadi akibat penebangan liar, perluasan perkebunan, pertambangan, perambahan dan okupasi lahan, pertambangan, serta kebakaran hutan.

Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB, sangat kecil. Tahun 2014 misalnya, sektor kehutanan hanya menyumbang 74,8T dari total PDB 10542,7T. Kontribusi lainnya, seperti PBB di sektor kehutanan, tahun 2015, hanya 1,5T. Sementara PNBP sektor kehutanan, 2005, hanya 4,2T. Padahal, produksi kayu bulat berdasarkan Statistik KLHK 2015 untuk hutan alam menghasilkan 5.843.179,25 m3. Untuk kayu bulat dari hutan tanaman menghasilkan 29.447.109 m3. Penyebabnya, KKN.

Audit BPK, berdasarkan KKN tersebut, kerugian negara akibat pembalakan liar. tahun 2010, Rp.83 miliar per hari atau Rp.3,29 triliun per tahun. KPK memperkirakan, kerugian negara dari sektor kehutanan berkisar 9 miliar dollar AS, setara Rp 11,7T selama periode 2002-2014. Nilai kerugian sebesar itu berasal dari ketidak-sesuaian pencatatan volume produksi kayu yang ditebang, yang semestinya kemudian dibayarkan menjadi penerimaan negara bukan pajak dalam bentuk dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan.

Penyebab kerugian lainnya adalah kebakaran hutan. Tahun 2014, anggaran yang dikeluarkan untuk memadamkan titik api di enam provinsi mencapai Rp 385 Miliar. Bank Dunia memperkirakan, kebarakan hutan di Indonesia tahun 2015 merugikan negara sebesar Rp 221 Triliun atau setara 1,9 x PDB tahun 2015. Padahal, sumbangsih sektor kehutanan untuk PDB 2014 hanya 0,71%.
Perijinan yang seharusnya menjadi alat kontrol terhadap SDA kehutanan malah menjadi akar masalah. Panjang, rumit, mahal dan tidak transparannya prosedur perijinan menjadi alasan pengusaha untuk menjalin hubungan dengan penguasa, melakukan tindakan illegal untuk mendapatkan ijin, berusaha memengaruhi proses pengambilan kebijakan publik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *