Hajinews.id – Muhammadiyah dan pemerintah bersama-sama merayakan Tahun Baru Hijriah 1445 H pada Rabu (19/7), karena metode perhitungan hilal yang berbeda digunakan untuk menentukan awal bulan Hijriah.
Dalam menetapkan bulan baru Hijriah, pemerintah mengandalkan kesepakatan antara menteri agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).
Kriterianya adalah bulan baru dengan ketinggian 3° dan elongasi atau sudut Bulan-Matahari 6,4°. Di bawah itu, belum dianggap masuk bulan hijriah baru.
Sementara, ketinggian hilal, elongasi, maupun bagian dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi lainnya sudah bisa diprediksi dengan hitungan astronomis alias hisab.
Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) konjungsi atau satu putaran penuh Bulan terjadi pada Senin (17/7) kemarin atau Selasa (18/7) hari ini.
“Di wilayah Indonesia pada tanggal 18 Juli 2023, waktu Matahari terbenam paling awal adalah 17.35.06 WIT di Merauke, dan waktu terbenam paling akhir adalah pukul 18.57.39 WIB di Sabang, Aceh,” tulis BMKG.
“Dengan memperhatikan waktu konjungsi dan Matahari terbenam, dapat dikatakan konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam pada 18 Juli 2023.” lanjut BMKG.
Selanjutnya, ketinggian hilal di Indonesia pada saat Matahari terbenam 18 Juli berkisar antara 5,03° di Merauke, Papua sampai dengan 7,50° di Sabang, Aceh.
Untuk elongasi, BMKG menyebut berkisar antara 7,44° di Waris, Papua sampai dengan 8,57° di Sabang, Aceh.
BMKG mengungkapkan pelaksanaan rukyat atau pemantauan Hilal penentu awal bulan Muharam 1445 H bagi yang menerapkan rukyat dalam penentuannya adalah setelah Matahari terbenam pada 18 Juli 2023.
Di sisi lain, Muhammadiyah juga telah menetapkan Tahun Baru Hijriah 1445 H pada Rabu (19/7) besok. Hal itu berdasarkan Hisab Hakiki Wujudul Hilal 1 Muharram 1445 H jatuh pada 19 Juli 2023 M.
Berbeda dengan Pemerintah dan Nahdaltul Ulama, penetapan bulan baru hijriah versi Muhammadiyah berdasarkan pada metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal (kondisi peredaran Bulan, Bumi, dan Matahari yang sebenarnya), bukan hisab ‘urfi (peredaran rata-rata).
Penetapan itu didasarkan pada proses ijtimak (Bumi, Bulan, dan Matahari berada pada posisi garis bujur yang sama, tanda satu putaran penuh) atau konjungsi.
Alhasil, dikutip dari situs Muhammadiyah, seberapa pun tingginya (meskipun hanya 0,1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru.”