Optimisme Muslim di Tengah Wabah

Ilustrasi optimisme. (Net)
banner 400x400

Oleh: Ahmad Sastra, Dosen Filsafat Universitas Ibnu Khaldun Bogor.

Namanya Ibu Maria Sugiarti, seorang mualaf yang masuk Islam bulan April 2020 melalui Yayasan Mualaf Center Indonesia. Tanpa ada paksaan sama sekali dari pihak manapun, Maria masuk Islam pada masa pandemi corona ini karena tertarik dengan ritual wudhu dalam ajaran Islam. Menurutnya berwudhu sebelum berdoa merupakan sesuatu yang baru dalam pendangan dia.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Masih menurut Maria, bahwa berwudhu sebelum berdoa atau beribadah (salat) akan membuat hati tenang terlebih dahulu. Aktivitas berwudhu dalam ajaran Islam memang merupakan perintah Allah untuk membersihkan lahir batin seorang muslim. Bagian fisik yang menjadi dalam berwudhu adalah dalam mulut, dalam hidung, wajah, mata, telinga, tangan, kaki, kepala/rambut. Adapun doa sebelum dan sesudah wudhu akan membersihkan batin.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah,…” (QS Al Maidah : 6).

Sebenarnya jumlah mualaf di seluruh dunia terus mengalir pesat, bukan hanya saat pandemi global corona. Sebab orang-orang yang mau berpikir jernih dan rasional, maka terlalu banyak petunjuk dari kehidupan, alam semesta maupun manusia yang membuktikan kebenaran dan kesempurnaan Islam.

Maka tidak heran jika para ilmuwan cerdas yang sebelumnya menentang Islam, setelah meneliti justru menjadi mualaf. Sebab, biasanya membeci Islam itu karena emosi, sementara meneliti itu dengan pemikiran rasional.

Ajaran Islam yang justru sangat relevan dengan upaya pencegahan Covid-19 telah menjadikan banyak orang tertarik dengan ajaran agama sempurna ini. Bahkan disaat pandemik terjadi pada zaman Rasul dan sahabat, maka usaha yang dilakukan adalah apa yang sekarang dikenal dengan istilah lockdown yakni stay at home dan social distancing.

Dari Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah, Umar bin Khattab RA menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”. Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh. (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam pandangan Islam, musibah selalu membawa hikmah yang bisa diambil sebagai pelajaran. Merebaknya wabah corona menjadikan kebanyakan manusia ingat mati bahkan menjadi takut mati dengan melakukan berbagai upaya rasional. Meskipun mati adalah ajal, di mana waktunya telah ditetapkan oleh Allah, namun dengan adanya corona, setidaknya banyak orang yang ingat mati dan bertobat.

Simbol-simbol kapitalisme, hedonisme dan materialisme yang cenderung sombong dan melanggar aturan Allah kini hampir roboh. Dengan adanya keharusan social distancing, maka tempat-tempat kemaksiatan seperti perjudian, pelacuran, diskotik, perzinahan, percampuran laki dan perempuan hampir tak lagi berfungsi. Inilah satu di antara ribuan hikmah di balik setiap musibah.

Karena itu seorang muslim harus tetap berprasangka baik kepada Allah, sebab di balik setiap kejadian atau peristiwa yang tidak bisa kita kuasai adalag qodho dari Allah yang selalu membawa hikmah dan pelajaran. Islam juga melarang umatnya untuk berputus ada dari rahmat-Nya. Muslim adalah orang yang selalu optimistis di tengah kondisi sesulit apapun.

Ibrahim berkata: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat” (QS Al Hijr : 56). Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS Yusuf : 87).

Rasulullah adalah contoh paling sempurna dalam sikap semangat dan optimis ini. Sebab Rasulullah adalah manusia terbaik yang mewakili ayat-ayat Allah dalam bersikap dan berperilaku. Bahkan dalam kondisi peperangan yang oleh sebagain manusia adalah menakutkan, Rasulullah dan pasukannya tetap semangat dan optimis. Pasukan kaum muslimin unggul dalam semangat dan optimisme yang tidak pernah padam sepanjang catatan sejarah.

Bahkan mereka berlomba menyongsong kematian, yang merupakan ketentuan maksimal yang dihadapi oleh setiap orang. Hal ini disebabkan Rasul berhasil menumbuhkan pemahaman bahwa mati syahid di jalan Allah adalah sebuah perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik di sisi Allah.

Mengapa kematian syahid tetap menyimpan optimisme, sebab sesungguhnya para syuhada tidaklah meninggal sebagaimana dianggap kebanyakan manusia, melainkan hidup mulia di sisi Allah. “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Ali Imran: 169).

Bahkan Islam menilai seorang muslim yang mati dengan sebab wabah terkategori syahid. Rasulullah SAW bersabda, “ tha’un syahadah (berkedudukan syahid) bagi setiap Muslim,” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ia bersabda, “Orang yang mati karena sakit perut dan orang yang tertimpa tha’un (wabah) pun syahid.’” (HR Bukhari).

Dari Siti Aisyah RA, ia mengabarkan kepada kami bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal tha‘un, lalu Rasulullah SAW memberitahukannya, “Zaman dulu tha’un adalah siksa yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seorang hamba yang sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di negerinya dengan bersabar seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid”.(HR Bukhari).

Rasulullah bersabda: ”Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, seluruh urusannya penuh dengan kebaikan. Dan itu hanya dimiliki oleh diri orang mukmin saja. Apabila ia memperoleh kenikmatan akan bersyukur, maka kesenangan itu akan menjadi kebaikan buat dirinya. Apabila ia tertimpa musibah, ia akan bersabar, dan musibah itu pu akan menjadi kebaikan buat dirinya”. (HR. Muslim)

Sikap optimisme dalam Islam juga dikarenakan jaminan surga bagi hamba-hambaNya yang beriman. Nilai yang ditanamkan kepada para sahabat oleh Rasulullah adalah bahwa surga adalah tempat terakhir yang akan menjadi istananya, kekal dan penuh kenikmatan yang tak terkira, bahkan mereka akan bersama para nabi dan siddiqin. Nilai inilah yang menjadi energi dahsyat kenapa pasukan Rasulullah tidak pernah merasa putus asa apalagi malas dalam berjuang di jalan Allah.

Menjaga sikap optimis juga sangat penting bagi seorang pemimpin. Sebab optimisme pemimpin akan menjadi penerang bagi anggotanya. Bayangkan jika seorang pemimpin tidak lagi bersemangant dan penuh pesimisme, bagaimana dengan anggotanya?. Di sinilah pentingnya seorang pemimpin memiliki optimisme dan semangat agar memiliki energi positif untuk memberikan motivasi kepada anggotanya di saat anggotanya terserang penyakit pesimisme, putus asa dan tidak semangat.

Ketika terjadi penaklukan Andalusia, seorang panglima perang kaum muslimin Thariq bin Ziyad memberikan motivasi dan memompa semangat pasukannya dengan cara membakar kapal perangnya setelah mereka berlabuh seraya berkata,” Wahai para pasukanku, sungguh di depan kia adalah musuh yang siap menyerang. Di belakang kita adalah lautan. Tak mungkin kita kembali karena kapal sudah kita bakar semua. Kecuali maju dan memenangkan pertempuran ini. Jadi hanya ada dua pilihan, maju memenangkan pertempuran atau kalah sebagai orang terhina. Hidup mulia atau mati syahid.”

Menjaga optimisme dan motivasi hidup adalah dengan menjaga cita-cita. Orang yang tidak semangat dalam hidup biasanya orang yang tak punya cita-cita. Mengapa para pahlawan bangsa ini bertempur melawan penjajah dengan gelora semangat yang membara? Faktor paling mendasar adalah karena mereka punya cita-cita yang sangat besar yakni membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan.

Dengan kata lain, motivasi mencapai kemerdekaan dari belengggu penjajah kafir atas pertolongan Allah telah mengobarkan semangat dan optimisme perjuangan para pahlawan pendahulu. Bahkan saat mati dalam perjuangan membela agama, seorang muslim yakin akan syahid dan masuk surga. Mereka akan terus mengobarkan semangat melawan penjajah selama kemerdekaaan itu belum tercapai dengan semangat jihad fi sabilillah.

Nah, dalam masa pandemi global virus corona ini, hendaknya seorang muslim tetap menjaga sikap optimis akan hikmah kebaikan yang dihadirkan oleh Allah, apalagi musibah ini terjadi di bulan suci Ramadan yang penuh keberkahanan. Optimisme bukan hanya bersifat kejiwaan semata, namun tetap harus diikuti ikhtiar untuk mencegah atau menghilangkan pandemi virus sesuai dengan karakter (qodar) corona virus tersebut. (*)

(Kota Hujan, 29/04/2020)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *