Ruwet, ruwet, ruwet

(Ilustrasi/net)
banner 400x400

Oleh: M Rizal Fadillah*

Terberitakan akan masuk lagi melalui Kendari 500 TKA China.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Masyarakat gelisah, DPRD dan Gubernur menolak mereka.

Urusan sebelumnya saja belum selesai kini datang lagi tenaga kerja.

Di era corona TKA China terus mengalir masuk ke Nusantara padahal sumber virus itu datang dari China.

Di sisi lain pabrik-pabrik di negara kita yang berdasar Pancasila sudah mulai melakukan PHK.

Pekerja pribumi kelabakan tidak punya kerja. Pekerja China terus tiba.

Sang penanggung jawab Menaker hilang ditelan ombak kebijakan yang tak jelas.

Sepi seperti tiada.

Ruwet, ruwet, ruwet.

Tersendat-sendat pengusutan Jiwasraya.

BUMN terengah-engah digerogoti pemakaian dana. Istana dirampok anak-anak yang dikendalikan orang tua.

Korupsi, kolusi, nepotisme mewarnai pengelolaan negara.

Ambrol APBN oleh tikus-tikus got yang pintar sembunyi di ruang cahaya istana.

Sementara kades-kades protes atas bantuan yang cuma rencana.

Tak matang alokasi karena dominan bermain citra.

Di situasi gawat masih cari pujian masyarakat dengan kemasan narasi kata.

Sindroma musim kampanye masih terasa. Presiden bagi beras gaya sinterklas di ibu kota.

~Bantuan langsung lempar yang membuat bangsa sangat terhina.~

Memang payah itu pejabat kita.

Ruwet, ruwet, ruwet.

Duit negara cekak, rakyat habis diperas, pikiran sudah tinggal beras, masih juga semangat pindah ibu kota negara. Dengan gaya seolah-olah punya dana dan kaya. Mengemis agar datang investasi dari  berbagai penjuru dunia. Mencoba ke negara Timur Tengah dengan andalan lagi-lagi China. Lupa bahwa mereka juga pasti berhitung laba. Utang luar negeri sudah besar luar biasa.

Tapi itu bukan utang hanya sekadar pinjaman.

Memang kalau utang dibayar oleh anak cucu dari masa ke masa sedangkan pinjaman hanya konsekuensi dari pembangunan negara.

Kok bisa bermain kata-kata?

Tentu bisa karena Indonesia itu unik yang dilarang hanya mudik sedang pulang kampung boleh saja.

Ruwet, ruwet, ruwet.

Puluhan undang-undang mau dijadikan sampah dan dibuat tak bermakna.

Miliaran uang yang dahulu sudah dikeluarkan menjadi sirna.

Mau diganti satu saja. Omnibus law namanya.

Miliaran lagi dibutuhkan biaya.

Sampah undang-undang akan dimasukkan ke dalam bus kota. Padahal dulu gara-gara kebodohan, sudah banyak bus yang dibeli lalu dijadikan sampah di Jakarta.

Semua bukan kemauan rakyat tapi nafsu penguasa. Penguasa ini nafsunya gede tetapi tenaga tak ada.

Sudah begitu sombong “kabina bina”.

Ruwet, ruwet, ruwet.

Terakhir bikin aturan namanya Perppu tapi isinya tipu-tipu berganda. Boleh menggunakan dana rakyat dan negara demi corona. Berapapun menggelontor bocor asal demi dewa tidaklah merugikan negara. Bebas hukum pula. Tak ada pengawas atau penguji yang penting direstui oleh sang raja dan menteri yang perkasa.

Selundup dan tipu-tipu adalah sesajen untuk ruwat negara di era bencana.

Ruwet, ruwet, ruwet.

Mestinya tugas penguasa itu memikirkan rakyatnya namun sayang kini rakyat terpaksa yang bertugas memikirkan penguasanya.

Seburuk inikah negara dikelola? Mungkin juga. Cuma yang pasti adalah penguasa tampaknya sudah hilang rasa.

Ruwet, ruwet, ruwet.

Teringat bait lagu Los Panchos, Andrea Bocelli dan lainnya “quizas, quizas,quizas”–perhaps.

siempe que te pregunto

que, cuando, como y donde

t’u siempre, me respondes

quizas, quizas, quizas

 

kapanpun ku bertanya

apa dimana, bagaimana dan dimana

anda selalu menjawab

mungkin, mungkin, mungkin

 

ruwet, ruwet, ruwet

 *Pemerhati Politik (yang tidak ikut ruwet).

(Bandung, 30 April 2020)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *