Strategi Israel Hancurkan Gaza jadi Senjata Makan Tuan, Hamas Semakin Kuat

Hajinews.co.id – Hamas makin kuat di Gaza. Strategi Israel untuk meratakan Gaza jadi senjata makan tuan. Hal tersebut bisa terlihat dari sejak awal invasi Israel ke Gaza.

Segera setelah tentara Israel mulai maju ke Gaza pada 27 Oktober untuk invasi darat, mereka menghadapi perlawanan keras dari pasukan milisi perlawanan Palestina.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Namun resistensi dan perlawanan milisi Palestina, seperti Hamas dan gerakannya lain, ini tampaknya semakin kuat seiring berjalannya waktu.

Sejumlah statistik, plus output kebijakan militer Israel dalam Perang Gaza, belakangan menunjukkan kalau perlawanan milisi memang jauh dari kata habis, bahkan cenderung menguat.

Namun mengapa hal ini terjadi?

Selama berhari-hari sebelum invasi darat, dan dimulai pada tanggal 7 Oktober, Israel memulai proses penghancuran sistematis di Gaza, menggunakan strategi sabuk api – yang pada dasarnya membakar segala sesuatu yang dilaluinya.

Strategi lainnya adalah carpet bombing, meratakan sejumlah lingkungan dan kawasan permukiman lewat bombardemen hebat untuk menciptakan jalan bagi serangan darat pada invasi berikutnya.

Hasilnya adalah terbunuhnya ribuan warga Palestina dan pembantaian yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perjuangan Palestina melawan pendudukan Israel.

Namun memasuki Gaza bukanlah tugas yang mudah.

Puluhan tank dan kendaraan militer lainnya Israel dihancurkan pada hari-hari awal invasi darat ke Gaza.

“Israel pasti sudah mengantisipasi hal ini, karena mereka memang telah mempersiapkan masyarakatnya untuk menghadapi hari-hari sulit di masa depan, sesuai kata-kata dan pernyataan dari berbagai anggota Kabinet Dewan Perang Israel,” tulis ulasan TC mengenai ringkasan Perang Gaza sejauh ini.

Pada 8 November, ‘hari-hari sulit’ ini tampaknya telah berakhir, ketika juru bicara militer Israel Daniel Hagari menyatakan “Hamas telah kehilangan kendali dan terus kehilangan kendali di wilayah utara.”

Pernyataan ini secara khusus dimaksudkan untuk menyoroti kalau Israel siap untuk tahap perang berikutnya: menyerang wilayah Gaza selatan.

Namun kenyataan di lapangan mencerminkan kurang tanggapnya militer Israel terhadap situasi di Gaza utara, atau ketergesaan para politisi untuk menyatakan pencapaian apa pun, betapapun dangkalnya kemajuan itu.

Segera setelah Israel memulai operasi daratnya di Gaza selatan pada 4 Desember, Perlawanan Palestina di utara muncul bahkan lebih kuat dibandingkan hari-hari awal perang.

Pejuang dari Brigade Ezzedine al-Qassam, sayap bersenjata gerakan Hamas Palestina, menghadiri upacara peringatan pemimpin brigade Ibrahim Abu Al-Naja di Rafah di Jalur Gaza selatan pada 10 Juni 2017, setelah dia terbunuh dalam
Pejuang dari Brigade Ezzedine al-Qassam, sayap bersenjata gerakan Hamas Palestina, menghadiri upacara peringatan pemimpin brigade Ibrahim Abu Al-Naja di Rafah di Jalur Gaza selatan pada 10 Juni 2017, setelah dia terbunuh dalam “ledakan yang tidak disengaja” di awal bulan. (KATA KHATIB/AFP) ()

Memanfaatkan Jeda Waktu Saat Gencatan Senjata
Satu alasan di balik hal ini adalah gencatan senjata, gencatan senjata kemanusiaan singkat yang memungkinkan sejumlah bantuan yang sangat dibutuhkan untuk memasuki Jalur Gaza.

Bantuan tersebut tidak cukup untuk mencegah kelaparan massal di tengah perang genosida dan pengungsian sebagian besar penduduk Gaza.

Namun kenyataannya, hal ini memungkinkan milisi perlawanan Palestina di Gaza untuk berkumpul kembali dan mengembangkan strategi baru.

Ketika Israel kembali berperang pada 1 Desember, terlihat jelas kalau kemunduran besar-besaran telah terjadi di Gaza utara.

Seorang pejabat tinggi Brigade Al-Qassam, dalam sebuah wawancara dengan Al-Jazeera, memperkirakan kalau hampir 70 persen dari seluruh pasukan Israel ditarik kembali dari Gaza utara.

Dia mengaitkan penarikan mundur pasukan Israel ini dengan kekuatan milisi Perlawanan Palestina.

Bagi Israel, keputusan tersebut mungkin juga dimotivasi oleh keyakinan bahwa meskipun Perlawanan di Gaza utara mungkin belum sepenuhnya dilenyapkan, namun kelompok ini pasti sudah semakin melemah.

Namun dalam beberapa hari terakhir, para analis militer, jurnalis, dan beberapa pejabat Israel mulai menyadari kebenaran yang tak terhindarkan kalau Gaza utara belum jatuh ke tangan militer Israel.

Jauh dari itu.*

Tidak hanya Gaza utara yang masih berperang, namun menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Brigade Al-Qassam, milisi Perlawanan di Gaza, utara dan selatan, justru lebih kuat dari sebelumnya.

Misalnya, Abu Obeida, juru bicara militer Brigade Al-Qassam, mengatakan bahwa “dalam 72 jam terakhir, para pejuang Al-Qassam menghancurkan seluruh atau sebagian 135 kendaraan militer di semua poros pertempuran di Jalur Gaza.”

Kendaraan-kendaraan militer ini, tentu saja berikut sejumlah besar tentara Israel yang mengoperasikan dan mengawakinya, juga ikut hancur dan terbunuh dalam pertempuran di seluruh wilayah Jalur Gaza.

Ini terjadi di sepanjang Jalur Gaza, termasuk titik terjauh di utara Gaza, tempat Israel masuk pada jam-jam pertama invasi darat.

Daerah-daerah ini juga mencakup Shejaiya, sebelah timur Kota Gaza, yang juga termasuk dalam wilayah Jalur Gaza yang seharusnya ditaklukkan.

Rasio baru yang ditawarkan oleh Abu Obeida – hampir dua kendaraan militer Israel per jam – adalah rasio kehancuran tertinggi yang menimpa tentara Israel dalam periode tiga hari sejak dimulainya perang.

Mengapa Hal Ini Terjadi?

“Pertama, milisi perlawanan Palestina di Gaza, termasuk Hamas, pasti sudah belajar dari pengalaman perang selama dua bulan melawan Israel, termasuk lebih dari 40 hari pertempuran jalanan,” tulis ulasan TC terkait situasi perang saat ini di Gaza.

Kedua, waktu yang lama juga telah menyadarkan Hamas akan cara-cara yang paling efektif dan paling tidak efektif dalam menghalau kemajuan Israel – tidak hanya dalam hal senjata, namun juga strategi militer dan bahkan temperamen para prajurit.

Ketiga, pengenalan senjata jenis baru, termasuk senapan sniper Al-Ghoul, yang dikembangkan oleh milisi Perlawanan Gaza sendiri dan digunakan dengan efisiensi tinggi setiap kali pasukan Israel berani meninggalkan kendaraan militer mereka yang sudah dibentengi.

Keempat, dampak psikologis perang.

Jika pada awal perang Israel berasumsi, kalau pembersihan etnis dan genosida pada akhirnya akan mematahkan semangat mereka yang bertempur di lapangan, maka Israel salah perhitungan.

Tingginya korban jiwa di kalangan warga Palestina – hampir 100.000 orang terbunuh, terluka dan masih hilang sejak awal perang – justru memberikan alasan yang lebih besar bagi Hamas untuk terus berperang; demi membalaskan dendam keluarga mereka dan untuk melindungi mereka yang masih hidup.

Faktor terakhir, dengan menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza – hampir separuh Gaza telah dilenyapkan – strategi militer Israel justru menjadi bumerang.

Pejuang Palestina kini merasa lebih mudah untuk meledakkan bangunan tempat tentara Israel berlindung karena kini tak banyak bangunan yang tersisa.

Strategi bombardemen yang meratatanahkan Gaza juga membuat Hamas mudah menemukan tempat persembunyian di reruntuhan, sambil tetap memanfaatkan terowongan lokal yang tak terhitung jumlahnya untuk menyerang dan kembali ke posisi mereka dengan aman.

“Meskipun perkiraan militer Israel menunjukkan kalau Israel mungkin memerlukan satu bulan lagi untuk menyelesaikan perang paling merusak di Jalur Gaza, tentara Israel harus menghadapi perlawanan yang lebih besar di setiap inci Gaza, dari titik terjauh di selatan hingga titik terjauh di wilayah utara yang seharusnya ditaklukkan,” tulis ulasan TC.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *