Zaman Edan, Bara Dalam Sekam

Zaman Edan
ilustrasi: Zaman Edan

Oleh Erros Djarot

Hajinews.co.id – Udah..udah…cukup deh, ini sudah keterlaluan! Begitulah kalimat yang keluar dari mulut seseorang yang kesal, darah sudah naik ke otak. Dalam bahasa orang Bule…It’s too much, enough is enough! Sedangkan dalam bahasa ekspresi kaum milenial lebih singkat dan vulgar…Udah deh…gue muak!!! Sementara orang Jawa punya idiom sendiri saat bereaksi terhadap suatu keadaan yang luar biasa kacau nilai dan adab…Jaman edan, sing ra edan ora keduman… Zaman gila, yang nggak gila nggak kebagian.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Begitu kira-kira suasana batin dan umpatan emosi yang keluar dari mulut banyak orang bereaksi atas manuver politik pemilu Jokowi baru-baru ini. Sebagai kepala pemerintah dan kepala negara, ia mengeluarkan sebuah fatwa kenegaraan yang sangat kontroversial, miris, serem, dan mengerikan. Karena disampaikan ke publik didampingi sejumlah petinggi negara sipil maupun militer. Seakan negara bisa diatur menurut maunya, di mana fatwanya adalah hukum yang layak dan bahkan wajib diberlakukan.

Entah dapat bisikan dari mana tiba-tiba Jokowi membuat pernyataan politik kenegaraan yang sangat mengejutkan. Intinya para pejabat tinggi negara dan daerah, seperti para menteri dan jajarannya tentu; juga para Gubernur termasuk Plt Gubernur, boleh berpihak dan mendukung Paslon capres-cawapres tertentu, termasuk juga partai pilihannya. Dalam hal ini, pilihan paslon capres- cawapres yang disodorkan sang bos, Yang Mulia Presiden Jokowi, dengan sendirinya merupakan pilihan wajib untuk dilaksanakan. Secara otomatis pun, fatwa kepala pemerintah dan kepala negara ini, berlaku juga bagi para bupati, camat dan para lurah berikut aparat bawahannya. Fatwa kenegaraan seorang Presiden RI ini, sangat sulit untuk dicerna akal sehat bagi yang paham akan kaidah berkehidupan dalam ranah demokrasi di sebuah negara hukum, Indonesia. Sangat anarkis!

Atas peristiwa ‘anarkis’ hukum (tata negara) ini, banyak yang menangkapnya sebagai kepanikan Jokowi yang terlalu bernafsu untuk memenangkan paslon capres-cawapres pilihannya pada Pemilu 2024 ini. Penyebabnya, karena kian hari perlawanan terhadap politik dinasti semakin membesar. Maka dengan segala cara, dan bagaimana pun cara untuk memenangkan ambisinya, apa pun akan dilakukan olehnya… ’By hook or by crook’ pokoke kudu menang! Suatu tindakan yang sesungguhnya sangat tabu dilakukan oleh para pemimpin di sebuah negara hukum yang menjunjung tinggi sportivitas, keadilan, kesetaraan, dalam kaidah demokrasi sebagai nilai.

Wajar saja bila banyak pendapat sebagai reaksi yang mengatakan bahwa inilah kali pertama pemilu menjadi ancaman serius bagi keutuhan NKRI sebagai negara bangsa yang berdasar pada UUD’45 dan Pancasila. Sehingga Gus Mus, Mustofa Bisri, seorang Kiai yang juga budayawan, sempat menyuarakan tangkapan batin dan pikiranya akan situasi Indonesia hari ini yang dimanifestasikan dalam puisinya… ’Negara Republik beraroma Kerajaan’. Hal ini tentunya ditangkap sebagai teguran agar Jokowi tetaplah berdiri dan bertindak sebagai Presiden, bukan seolah sebagai Raja di kerajaan Indonesia. Kalau kata orang Medan…Ini Republik Bung, bukan kerajaan, bah!

Bisa jadi Jokowi lupa, Indonesia sebagai negara terdiri dari ribuan pulau (archipelago). Kondisinya sangat rawan pecah berkeping bila pemimpin tertinggi negara kepulauan ini melakukan tindakan anarkis hukum, semau gue. Karena rakyat di segala penjuru Nusantara terdorong menjadi kehilangan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap Indonesia. Semata karena merasa Indonesia sudah cenderung menjadi miliknya keluarga (dinasti) Joko Widodo. Begitu lah kira-kira suasana batin rakyat yang saya tangkap dari berbagai daerah

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *