Kesehatan dan Ideologi Negara Kesejahteraan Sosial

Kesehatan dan Ideologi Negara
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015 )

Oleh: Zaenal Abidin  (Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015 )

Hajinews.co.id – Hubungan kesehatan dengan negara kesejahteraan kembali diungkapkan oleh dr. Ario Djatmiko dalam suatu diskusi bertajuk, “Kesehatan dalam Pusaran Debat Pilpres 2024,” beberapa waktu lalu. Menurutnya dokter spesialis bedah onkologi senior ini, ideologi kesehatan itu hanya dua, yakni liberal dan welfare state.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sebagai bangsa Indonesia, untuk kedua pilihan ideologi di atas tentu kita lebih memilih ideologi welfare state dan tidak akan memilih ideologi liberal atau pasar bebas. Mengapa tidak memilih ideologi pasar bebas? Karena penulis cukup percaya bahwa sampai saat ini para elit dan pemimpin bangsa Indonsia masih menghormati Bung Karno sebagai pendiri dan proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Kata Bung Karno, “usaha mencapai keadilan dan kesejahteraan tidak boleh dipercayakan kepada pasar bebas, yang berbasis individualisme-kapitalisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan oleh kolonialisme yang berbasis individualisme-kapitalisme tersebut. Dan, pasar bebas adalah perpanjangan tangan dari individualisme-kapitalisme.”

Sejarah negara kesejahteraan sosial (welfare state) ini seringkali dihubungkan dengan novel Sybil mengenai dua bangsa, yaitu kaya dan miskin, 1845, karya Benjamin Disraeli. Benjamin Disraeli yang menjadi Perdana Menteri Inggris (1868 dan 1874-1880) mengatakan, “the only duty of power, the social welfare of the people”.

Namun, bila ditelusuri lebih jauh lagi ke belakang, sebetulnya konsep negara kesejahteraan sosial ini sudah dijumpai pada ide atau konsep dan kebijakan umum tentang kesejahteraan sosial yang diperkenalkan sebagai salah satu rukun Islam, yakni rukun Islam kelima yakni kewajiban membayar zakat yang dipraktikkan pada abad ke-7 M.

Kewajiban “zakat” atau “jizya” dihimpun oleh pemerintah dan selanjutnya disalurkan kembali atau didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat miskin dan tidak punya, termasuk anak yatim, keluarga kelaparan, kurang gizi, ibu hamil dan menyusi, orang jompo, janda-janda, orang sakit, kelompok penyandang disabilitas, dan lain sebagainya.

Bahkan dalam sejarah kekhalifahan, Khulafa ar-Rasyidun Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar Ibn Khattab-lah yang pertama kali mempraktikkan ide negara kesejahteraan dalam sejarah umat manusia. Praktik negara kesejahteraan ini pun dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis, pada Kekhalifahan Umayyah kedelapan, yang memerintah dari tahun 717 hingga kematiannya pada tahun 720.

Khalifah Umar bin Abdul Azis memulai pemerintahannya dengan mengubah total frame pemerintahan. Gerakan perubahan (reformasi) yang diawali dari diri dan keluarganya. Khalifah dan keluarga memilih hidup sedarhana. Semua fasilitas kemewahan yang pernah dinikmati khalifah sebelumnya dijual kemudian hasilnya dibagikan kepada rakyat miskin. Harta kekayaan pribadi khalifah dan keluarga (istri dan anak) pun diserahkan kepada negara.

Khalifah menjadi teladan bagi bawahan dan rakyatnya. Alhasil, pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Azis mengalami masa keemasan kedua setelah era Khulafa ar-Rasyidun, di mana keadilan, kebijaksanaan, ketakwaan dan keilmuan ditegakkan. Rakyat hidup makmur dan sejahtera. Saking makmur dan sejahterannya, tidak seorang rakyat pun yang berhak menerima zakat.

Ideologi Negara Kesejahteraan Sosial

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *