Jokowi, Firli, dan Pembonsaian KPK

Jokowi dan Firli
Abdullah Hehamahua
banner 400x400

Oleh: Abdullah Hehamahua

Hajinews.co.id – Jokowi wajar diberi gelar “Presiden Pembohong.” Sebab, salah satu tema kampanyenya, baik dalam Pilpres 2014 maupun 2019, Jokowi berjanji akan mendukung KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Faktanya, Jokowi melantik Firli sebagai Ketua KPK. Padahal, Jokowi tahu bahwa, Firli sudah dijatuhi hukuman bersalah oleh Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) KPK. Bahkan, untuk memudahkan Firli menghancurkan KPK, Jokowi mengamputasi kewenangan KPK dengan mengamandemen undang-undangnya.

UU No 19/2019 ciptaan Jokowi tersebut menjadikan KPK sebagai bawahan langsungnya. Hasilnya, pimpinan KPK bisa dicucuk hidung, mengikuti selera Jokowi dan oligarki pendukungnya. Sebab, KPK yang tadinya lembaga negara yang independen diubah Jokowi menjadi institusi ASN. Pada waktu yang sama, Jokowi adalah pimpinan tertinggi ASN. Apalagi, budaya ASN, senantiasa mengucapkan, “siap laksanakan” terhadap apa pun perintah atas.

Hal ini sangat berbeda dengan budaya KPK. Sebab, dalam Kode Etik KPK yang lama, pegawai dilarang melaksanakan perintah atasan yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan. Itulah sebabnya, berdasarkan SOP di KPK, seorang pegawai rendahan di Direktorat Pengawasan Internal (PI) dapat memeriksa Ketua atau Wakil Ketua KPK yang diduga melanggar Kode Etik.

Hal ini belum pernah terjadi di Kepolisian dan Kejaksaan. Sebab, seingatku, Kompolnas belum pernah memeriksa Kapolri, apalagi sampai menjatuhkan sanksi. Hal yang sama berlaku di Kejaksaan. Komisi Kejaksaan belum pernah memeriksa Jaksa Agung. Apalagi, memberi sanksi terhadapnya. Di KPK, sebelum undang-undangnya diamandemen Jokowi, setidaknya tiga kali pimpinan KPK diperiksa oleh Komite Etik setelah mendapat hasil pemeriksaan dari PI.

Tito, Jokowi, dan Buku Merah

Tito Karnavian, sewaktu menjabat Kapolri Jaya, ramai dipergunjingkan pers. Sebab, beliau diduga menerima gratifikasi berupa sejumlah uang berkaitan dengan impor daging Ketika menjadi Kapolda Metro Jaya.

Kasus yang terkenal dengan istilah “buku merah” ini tidak berlanjut serius. Ada rasa “ewu pakeu” di antara bawahan dan atasan. Bawahan itu ada di KPK dan dengan sendirinya mereka yang secara formal bertugas dalam institusi Polri.
Lalu, apa hubungannya dengan Jokowi.? Ya, Jokowi waktu itu gubernur DKI ketika terjadi kasus dugaan gratifikasi yang diterima Tito. Mungkin sebagai orang timur, Tito “kulon nuwun” ke Jokowi sebagai bosnya di DKI waktu. Apalagi, waktu itu, Hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta menyebut, adik ipar Jokowi terlibat dalam kasus penyuapan pembebasan pajak di Ditjen Pajak.

Mungkin itulah mata rantai mengapa Tito menjadi Kapolri dan seterusnya menjabat Menteri Dalam Negeri ketika Jokowi menjadi Presiden. Apakah mungkin hal ini merupakan politik dagang sapi, balas budi atau saling menyandera. Silakan tanya rumput yang bergoyang di kota Solo.

Firli Dipecat dari Deputi Penindakan KPK

Pada suatu hari (2018) kuterima undangan dari Direktorat PI KPK. Saya diundang sebagai ahli untuk didengar keteranganku mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik oleh Firli Bahuri, Deputi Penindakan KPK.
Pegawai PI, sebelum mengajukan pertanyaan, menayangkan dua video singkat. Saya terperanjat. “Ini bukan pelanggaran Kode Etik tapi tindak pidana,” responsku.

Pegawai PI itu juga terkejut menyaksikan reaksiku. Kujelaskan bahwa, menurut pasal 36 UU KPK, insan KPK dilarang berhubungan dengan tersangka, calon tersangka, saksi, calon saksi, dan keluarganya yang sedang dalam pengawasan KPK. Padahal, video yang ditayangkan pegawai PI itu menunjukkan Firli berpelukan akrab dengan TGB, gubernur yang sedang diawasi KPK.

Akhirnya, Firli diberhentikan dari Deputi Penindakan atas beberapa kesalahan yang dilakukan. Namun, Firli langsung ditarik Polri dan ditunjuk sebagai Kapolda Sumsel. Maklum, Kapolri dan Firli berasal dari daerah yang sama, Sumsel.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *