Kultum 561: Merasa Tidak Yakin dengan Niatnya

Merasa Tidak Yakin dengan Niatnya
Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 400x400

Oleh: Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bacaan Lainnya
banner 400x400

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Pembaca yang dirahmati Allah,

Hajinews.co.id – Seorang peserta tanya-jawab bertanya tentang niat dalam shalat. “Saya mulai shalat dan melupakan niat. Haruskah saya mengulang shalat, dan tidak menyelesaikannya? Harap dicatat bahwa saya sering ragu tentang apa yang telah saya lakukan”.

Pertanyaan semacam ini (seputar niat yang terasa kurang pas) sebenarnya juga ada dalam hati banyak Muslim lain. Namun mereka juga ragu-ragu untuk bertanya. Pertanyaan ini dijawab oleh pemateri sebagai berikut.

Alhamdulillah. Niat (niyyah) adalah salah satu syarat sahnya shalat. Jika seseorang memulai shalat tanpa niat, maka shalatnya tidak sah. Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ulama tentang wajibnya niat shalat; shalat tidak boleh dilakukan tanpanya.

Prinsip dasar tentang itu adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَمَاۤ اُمِرُوۡۤا اِلَّا لِيَعۡبُدُوا اللّٰهَ مُخۡلِصِيۡنَ

لَـهُ الدِّيۡنَ ۙ حُنَفَآءَ وَيُقِيۡمُوا الصَّلٰوةَ

وَيُؤۡتُوا الزَّكٰوةَ‌ وَذٰلِكَ دِيۡنُ الۡقَيِّمَةِ

Artinya:

Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (QS. Al-Bayyinah, ayat 5).

Ketulusan adalah tindakan hati, dan ini mengacu pada niat, hanya mencari Allah dan tidak ada yang lain. Dan dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ

امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ

إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ

ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا

يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ

إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Artinya:

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim, no. 1907).

Dalam kutipan Al-Mughni, dikatakan “setiap amal itu hanyalah dengan niat, dan masing-masing akan terbukti kecuali apa yang dia niatkan. Dan kedudukan niat adalah hati” (Akhir kutipan dari al-Mughni, 1/287).

Tapi sangat kecil kemungkinannya hal ini (shalat tanpa niat) bisa terjadi. Niat bisa mengiringi pembukaan takbir ketika seseorang mengucapkan “Allahu akbar” untuk memulai shalat, atau mungkin sesaat sebelum itu.

Ketika seorang muslim mendengar azan, lalu dia bangun, berwudhu dan pergi ke masjid, dan duduk menunggu iqamat (yakni sesaat sebelum shalat), kemudian ketika iqaamah dia bangun dan berdiri di shaf dan seterusnya, maka dia sudah pasti niat shalat yang dikumandangkan adzannya dan dibacakan iqaamahnya, lalu bagaimana mungkin dia meragukan niatnya setelah itu?

Berdasarkan hal itu, maka yang tampak adalah bahwa keraguan yang Anda rasakan adalah berupa bisikan-bisikan dari syetan (waswaas) yang ingin mengalihkan perhatian Anda dari shalat dan menghalangi Anda untuk merenung dan memusatkan perhatian dengan baik. Jadi Anda tidak perlu memperhatikannya.

Penanya juga disarankan untuk melihat informasi lebih lanjut mengenai waswas (silahkan lihat jawaban soal no. 100268 dan 62839). Perlu dicatat bahwa jika ada banyak keraguan, Anda tidak boleh memperhatikannya, karena itu adalah bisikan dari syetan.

Syekh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata, “Jika seseorang mengalami begitu banyak keraguan sehingga dia hampir tidak dapat melakukan sesuatu tanpa keraguan, jika dia berwudhu dia meragukannya, dan jika dia shalat dia meragukannya, dan jika dia berpuasa dia meragukannya, maka ini juga tidak berarti apa-apa, karena ini adalah sejenis penyakit.

Apa yang kita bahas di atas berlaku untuk orang sehat yang bebas dari penyakit; jika seseorang mengalami banyak keragu-raguan seperti ini, maka diasumsikan bahwa pikirannya tidak stabil, jadi tidak ada perhatian yang harus diberikan pada keragu-raguan ini.

Penanya juga disarankan mengacu kepada ash-Sharh al-Mumti’, nomor 3/379. Dan Allah tahu yang terbaik.

Semoga yang kita baca ini menjadi pengingat dan penambah iman kita, dan kalau sekiranya bisa bermanfaat bagi yang lain, mari kita share kultum ini kepada sanak saudara dan handai taulan serta sahabat semuanya, semoga menjadi jariyah kita semua, aamiin.

اَلْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Sumber : Ahmad Idris Adh.                                  —ooOoo–

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *