Kultum 563: Ibadah Itu Harus Tauqifi

Ibadah Itu Harus Tauqifi
Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 400x400

Oleh: Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bacaan Lainnya
banner 400x400

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Pembaca yang dirahmati Allah,

Hajinews.co.id – Sebagian umat Islam masih juga bertanya “Apa yang dimaksud dengan ‘Ibadah adalah tauqifi’?”. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan ibadah tauqifi atau ibadah yang berdasarkan tauqif adalah bahwa ibadah itu tidak boleh dilakukan kecuali ibadah itu harus ada tuntunan yang dibuktikan dalam teks syar’i (dari Al-Qur’an dan atau Sunnah), yakni sebagai dalil ibadah yang disyariatkan oleh Allah.

Jadi, tidak ada ibadah yang dapat dibenarkan kecuali atas dasar dalil-dalil syar’i untuk tujuan itu. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

ؕ اَ لۡيَوۡمَ اَكۡمَلۡتُ لَـكُمۡ دِيۡنَكُمۡ

وَاَ تۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِىۡ وَرَضِيۡتُ

لَـكُمُ الۡاِسۡلَامَ دِيۡنًا‌ ؕ

Artinya:

Pada hari ini, Aku telah menyempurnakan agamamu untukmu, menyempurnakan Nikmat-Ku atasmu, dan telah memilih untukmu Islam sebagai agamamu (QS. al-Maa’idah, ayat 3).

Allah Subhanahu wata’ala telah menyelesaikan agama untuk kita; apa yang tidak Allah tetapkan bukanlah bagian dari Islam. Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada yang dengannya seseorang dapat mendekat ke surga dan menjauh dari kecuali telah dijelaskan kepada Anda” (Diriwayatkan oleh at-Tabaraani dalam al-Kabiir no. 1647, dan digolongkan sebagai shahih oleh al-Albani dalam as-Sahiihah, no. 1803).

Jadi, apa pun yang tidak dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita bukanlah bagian dari agama dan bukan sesuatu yang dengannya seseorang dapat mendekat ke Surga dan menjauh dari Neraka. Syekh al-Islam Ibnu Tamiyah Rahimahullahu berkata, “Dari mengkaji prinsip-prinsip syariat kita bisa mengetahui bahwa ibadah-ibadah itu diperintahkan dan dicintai oleh Allah tidak dapat dibuktikan kecuali dengan syariat”.

“Sehubungan dengan kebiasaan, itu adalah hal-hal yang biasa dilakukan orang dalam urusan duniawi mereka. Prinsip dasar tentang mereka (yang biasa dilkukan) adalah bahwa mereka tidak dilarang; tidak ada yang diharamkan kecuali yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu karena perintah dan larangan berkaitan dengan agama Allah dan ibadah yang wajib dilakukan.

Jika sesuatu tidak terbukti wajibnya, lalu bagaimana bisa dikatakan ibadah? Tentang adat-istiadat, jika tidak ada nas yang membuktikan bahwa suatu adat itu haram, bagaimana bisa dianggap haram?”

Oleh karena itu Ahmad dan ulama hadits lainnya biasa mengatakan, “Prinsip dasar yang berkaitan dengan ibadah adalah tauqif; tidak ada tindakan ibadah yang ditentukan kecuali yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wata’ala; jika kita tidak berpegang pada prinsip ini, kita akan termasuk di antara mereka yang disebutkan dalam ayat,

اَمۡ لَهُمۡ شُرَكٰٓؤُا شَرَعُوۡا لَهُمۡ مِّنَ الدِّيۡنِ

مَا لَمۡ يَاۡذَنۡۢ بِهِ اللّٰهُ‌ؕ وَلَوۡلَا كَلِمَةُ

الۡفَصۡلِ لَقُضِىَ بَيۡنَهُمۡ‌ؕ وَاِنَّ الظّٰلِمِيۡنَ

لَهُمۡ عَذَابٌ اَلِيۡمٌ

Artinya:

Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah? Dan sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh, orang-orang zhalim itu akan mendapat azab yang sangat pedih (QS. Asy-Syura, ayat 21).

“Prinsip dasar adat istiadat adalah boleh dan tidak ada yang dilarang kecuali yang dilarang oleh Allah”. Mari kita perhatikan dengan jeli pernyataan ini. Sekali lagi, adat istiadat atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan agama Islam, pada dasarnya boleh. Tetapi kalau adat atau kebiasaan itu dilarang oleh Allah Azza wa Jalla, maka jangan sekali-kali kita ikut-ikutan melakukannya.

Jika kita tidak berpegang pada prinsip ini, kita akan termasuk di antara yang dimaksud dalam ayat (yang tafsir artinya), “Katakan padaku, bekal apa yang diturunkan Allah kepadamu!”. Oleh karena itu Allah mengutuk kaum musyrikin yang memasukkan hal-hal yang tidak diizinkan Allah ke dalam agama dan mereka melarang hal-hal yang tidak dilarang-Nya (Majmu’ al-Fatawa, 29/16-17).

Syekh Shalih al-Fawzan Rahimahullah berkata, Ibadah adalah tauqifi, yakni ibadah itu harus didasarkan hanya pada Al-Qur’an dan Sunnah shahih, tanpa ruang untuk pendapat pribadi; tidak diperbolehkan melakukan ibadah apapun baik dari segi waktu maupun tempat atau jenis ibadah kecuali atas dasar tauqif dan petunjuk dari Pemberi Hukum (Allah).

Adapun barang siapa yang memperkenalkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Pemberi Hukum suatu ibadah atau menurut tempat, waktu atau keterangannya, maka itu termasuk bid’ah. Demikian Al-Muntaqa min Fatawa al-Fawzan, 16/13. Dan Allah Subhanahu wata’ala tahu yang terbaik. Allahu ya’lam.

Semoga yang kita baca ini menjadi pengingat dan penambah iman kita, dan kalau sekiranya bisa bermanfaat bagi yang lain, mari kita share kultum ini kepada sanak saudara dan handai taulan serta sahabat semuanya, semoga menjadi jariyah kita semua, aamiin.

اَلْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Sumber : Ahmad Idris Adh.                                  —ooOoo—

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *