Utang Luar Negeri Menggunung, Tantangan Makin Berat

banner 400x400

JAKARTA, hajinews.id – Utang Luar Negeri (ULN) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) RI untuk periode April 2020 tak banyak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Namun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya ULN BUMN masih melonjak tinggi dan membebani kinerja perseroan.

Bank Indonesia (BI) dalam rilis terbarunya mencatat bahwa ULN BUMN Indonesia pada April 2020 mencapai US$ 55,349 miliar. Porsi ULN BUMN terhadap total ULN swasta Indonesia mencapai 27%.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Secara year on year (yoy) ULN BUMN RI mencatatkan pertumbuhan hingga 12%, masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan utang swasta ULN yang hanya naik sebesar 4%.

ULN perbankan BUMN mengalami kontraksi sebesar 4% (yoy), LKBB naik 4% sementara untuk BUMN non-keuangan mencatatkan kenaikan ULN mencapai 16% pada April 2020.

“ULN swasta pada akhir April 2020 tumbuh sebesar 4,2% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 4,7% (yoy). Perkembangan ini disebabkan oleh makin dalamnya kontraksi pertumbuhan ULN lembaga keuangan di tengah stabilnya pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan” tulis BI dalam rilisnya.

“Pada akhir April 2020, ULN lembaga keuangan terkontraksi 4,8% (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi bulan sebelumnya 2,4% (yoy). Sementara itu, ULN perusahaan bukan lembaga keuangan sedikit meningkat dari 7,0% (yoy) pada Maret 2020 menjadi 7,3% (yoy) pada April 2020.” lanjut BI.

Dalam periode lima tahun terakhir, utang BUMN RI meningkat dengan pesat karena ambisi proyek infrastruktur pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Jika mengacu pada neraca, tingkat net debt to EBITDA BUMN RI terus tumbuh. Pada 2019 saja posisinya sudah mencapai lebih dari 4x. Artinya leverage yang digunakan sudah tergolong sangat tinggi.

Di tengah merebaknya pandemi corona di Tanah Air, sektor usaha juga ikut terkena imbasnya. Hal ini berdampak terhadap kinerja perusahaan tak terkecuali BUMN. Beberapa BUMN bahkan sampai tak mampu membayar kewajibannya.

Sebut saja developer perumahan murah Perumnas yang tak mampu memenuhi kewajibannya membayar MTN senilai Rp 200 miliar akhir April lalu. Kemudian ada lagi perusahaan maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang kesusahaan membayar SUKUK Global senilai US$ 500 juta mengingat hanya memiliki kas senilai US$ 299 juta hingga akhir tahun lalu.

Hal ini membuktikan bahwa pengelolaan (corporate governance) BUMN harus lebih diperhatikan. Apalagi saat pandemi corona seperti ini. Total utang BUMN Indonesia telah meningkat secara signifikan sejak pemerintahan Jokowi dimulai pada 2014 karena negara ini telah memulai beberapa proyek infrastruktur besar.

“Total utang gabungan bruto mereka meningkat sekitar 2pp PDB sejak 2017, mencapai 6,4% dari PDB akhir 2019, menurut Bank Indonesia” tulis Fitch Ratings

“Kondisi likuiditas di Indonesia semakin ketat pada tahun 2020 sebagai akibat pandemi corona. Ini dapat meningkatkan risiko pembiayaan kembali, terutama untuk BUMN yang lebih kecil, yang cenderung lebih sulit mengakses pendanaan dan menerbitkan utang jangka panjang daripada BUMN yang lebih besar.” tambah Fitch Ratings.

Bank-bank lokal yang menghadapi ancaman melonjaknya kredit macet (NPL)  menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan pinjaman baru. Sementara itu, volatilitas rupiah dan risk appetite investor internasional yang sedang tak baik semakin mempersulit akses ke pasar modal, bahkan untuk BUMN yang dapat memanfaatkan pasar modal global.

“Pemerintah Indonesia juga menghadapi prospek fiskal yang lebih lemah sebagai hasil dari pandemi. Kami berharap defisit anggaran naik menjadi 5,1% dari PDB pada tahun 2020, dari 2,2% pada tahun 2019. Ini dapat mempengaruhi kesediaan pemerintah untuk memberikan dukungan keuangan kepada para BUMN yang bermasalah, terutama jika penurunan dalam keuangan publik terbukti lebih buruk daripada perkiraan kami saat ini.” tambah Fitch Ratings. (cnbc)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *