Gugatan Rachmawati, Ini Penjelasan Yusril Ihza Mahendra

Foto: Merdeka
banner 400x400

JAKARTA, hajinews.id – Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menyatakan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan Rachmawati Sukarnoputri terkait aturan pemenang Pilpres tak berpengaruh pada hasil Pilpres 2019. Yusril menyebut, putusan itu sama sekali tak menyinggung kemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Pada pilpres lalu, pasangan Jokowi-Ma’ruf diketahui unggul setelah meraup 55,5 persen suara dari Prabowo-Sandiaga Uno.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung kasus sudah menang atau belum Jokowi dalam Pilpres 2019,” ujar Yusril melalui keterangan tertulis, Rabu (7/7).

Yusril menegaskan MA hanya menguji secara materiil Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 apakah secara normatif bertentangan dengan Undang-undang di atasnya atau tidak. Dalam hal ini adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Sesuai hierarki perundang-undangan, undang-undang berada di tingkatan yang lebih tinggi dari peraturan kementerian/lembaga.

Mantan tim hukum Jokowi-Ma’ruf dalam sengketa pilpres itu mengatakan, kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019 telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menyebut MA sama sekali tidak berwenang mengadili sengketa pilpres.

“Sudah diputus MK dan putusannya final dan mengikat. Dalam menetapkan kemenangan Jokowi dan Kiai Ma’ruf, KPU merujuk pada putusan MK yang menolak permohonan sengketa Prabowo-Sandi,” katanya.

Di sisi lain, lanjut Yusril, putusan MA itu juga baru diputus pada 28 Oktober 2019 atau selang sepekan setelah pelantikan Jokowi-Ma’ruf sebagai presiden dan wakil presiden. Sementara putusan MA itu tidak berlaku retroaktif atau surut ke belakang.

“Putusan MA itu bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan,” ucap Yusril.

Lebih lanjut Yusril menjelaskan, aturan pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon memang tidak diatur dalam Pasal 416 UU Pemilu.

Pasal tersebut hanya menjelaskan, paslon terpilih adalah mereka yang meraih suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Sementara ketentuan Pasal 7 ayat (3) PKPU yang digugat Rachmawati itu mengacu pada Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945 dalam hal paslon capres dan cawapres hanya diikuti dua paslon.

Menurut Yusril, dalam kondisi seperti itu yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi-provinsi seperti yang diatur dalam UUD 1945.

“MA memutus pengujian PKPU itu dengan merujuk Pasal 416 UU Pemilu yang tidak mengatur hal tersebut, sehingga dalam putusannya MA menyatakan bertentangan UU Pemilu,” jelasnya.

Menteri Kehakiman era mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini justru menyoroti PKPU yang mengacu pada putusan MK. Menurut Yusril, MA tidak dapat menguji apakah PKPU tersebut bertentangan dengan putusan MK atau tidak.

“Masalahnya MA memang tidak dapat menguji apakah PKPU tersebut bertentangan dengan putusan MK atau tidak. Di sini letak problematika hukumnya,” ucap Yusril.

Ia menjelaskan, putusan MK yang menjadi acuan PKPU itu dilakukan dalam konteks pengujian terhadap norma Pasal 158 UU 42/2008 tentang Pilpres yang isinya sama dengan Pasal 416 UU Pemilu.

Lantaran materi yang diuji sama, maka putusan MA itu berlaku juga terhadap Pasal 416 UU Pemilu yang mengatur pemenang pilpres adalah paslon dengan suara terbanyak.

“Karena itu kalau paslon pilpres hanya dua pasangan, aturan yang benar dari sudut hukum tata negara adalah pilpres hanya satu kali putaran dan paslon dengan suara terbanyak itulah pemenangnya,” ujarnya.

MA sebelumnya mengabulkan gugatan Rachmawati terkait aturan pemenang pilpres.

Perkara ini berawal dari gugatan Rachmawati ke MA terkait Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) soal Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilu.

MA menilai, aturan tersebut bertentangan dengan UU 7/2017 tentang Pemilu yang telah mengatur penetapan pemenang pilpres apabila memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di tiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Berdasarkan hasil Pilpres 2019, Joko Widodo yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin saat itu berhasil meraup kemenangan 55,5 persen setelah menang di 21 provinsi. Sementara Prabowo-Sandi menang di 13 provinsi. (wh/cnn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *