Oleh HM. Sukiman Azmy
Bupati Lombok Timur, Ketua IPHI NTB
Dihadapan ribuan jamaah yang hadir pada acara pelepasan keberangkatan jamaah haji yang tergabung dalam Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) itu, sang ketua KBIH yang sekaligus pimpinan pondok pesantren dimana acara itu dilaksanakan, berdiri di podium dengan penuh kharisma memberikan wejangan kepada calon jamaah haji yang akan berangkat. Dengan bangga dia menginformasikan bahwa setiap tahun diaberangkat ke Tanah Suci untuk mendampingi calon jamaah haji yang tergabung dalam kelompoknya itu. “Ini merupakan haji yang ke tujuh belas dan kalau umrah sudah tidak terhitung lagi” urainya.
Dengan volume suara rendah dia menambahkan bahwa sebanyak tujuh belas kali berangkat itu dia tidak pernah mengeluarkan biaya, bahkan pulangnya membawa banyak oleh-oleh untuk keluarga dan tetangga, padahal dia tidak pernah membawa bekal ketika berangkat. Bekalnya hanya seribu lima ratus real berupa living cost yang diberikan oleh Kementerian Agama, serta sembangan-sumbangan halal lainnya dari jamaah yang dibimbingnya.
Iuran jamaah untuk biaya pembimbing.
Ketika acara selesai dan para jamaah beserta keluarganya berangsur-angsur kembali ke rumah masing-masing, masih ada acara santap siang yang lezat bergizi untuk para undangan. Rupanya Panitia Pelepasan Jamaah Haji di yayasan itu menyembelih sekor sapi untuk acara selamatannya, dan itu setiap tahun dilaksanakan sejak keberangkatan pertama Ketua Yayasan enam belas tahun yang lalu. Sambil santap siang saya bertanya “apa rahasianya sehingga bapak berangkat tiap tahun ?”.
Dengan tersenyum simpul beliau membuka resepnya; Yayasan menerima biaya bimbingan dari jamaah yang bergabung, besarnya ditentukan setelah dihitung komponen biaya ongkos pembimbing serta biaya penyelenggaraan bimbingan sebelum berangkat berupa manasik haji, transport dari titik pemberangkatan ke Asrama Haji dan dari Asrama Haji ke titik pemulangan dan biaya lain-lain, termasuk biaya pelepasan jamaah seperti sekarang ini dan nanti setelah kembali juga melaksanakan syukuran seperti ini, jelas beliau. Saya menyela penjelasan beliau dengan pertanyaan; Jadi Bapa tidak membayar sendiri biaya ONHnya ? Beliau menjawab dengan anggukan kepala.
Yang agak mencengangkan adalah penjelasan beliau selanjutnya tentang kiat-kiat mencari tambahan diluar living cost yang diterimanya, yaitu seluruh jamaah yang tergabung dalam kelompoknya itu harus melaksanakan ibadah haji Tamattu’, karena pelaksanaan ibadah haji dengan Ifrad atau Qiran dianggap cukup berat. Dengan demikian pembelian hewan sebagai dam (denda) yang diwajibkan bagi para jamaah haji Tamattu’ dapat dibeli bersama-sama melalui sang ketua, dengan alasan yang masuk akal; “jika membeli dalam jumlah banyak, tentu akan lebih murah”.
Jika jumlah jamaah seratus orang, lalu selisih harga yang disetorkan oleh jamaah dengan harga pembeliannya, atau katakanlah bonus yang diterima dari penjual hewan sebesar lima puluh real saja setiap ekor, maka sudah terhimpun dana sebanyak lima ribu real atau setara dengan dua belas juta lima ratus ribu jika kurs satu real sebesar dua ribu lima ratus rupiah. Sumber dana yang lain adalah Badal Haji yang biayanya sudah ditentukan. Katakanlah satu Badal Haji senilai dua ribu real, lalu pelaksanaannya oleh sang ketua sendiri berarti sudah dua ribu real masuk kantongnya. Keluarga yang menitipkan Badal Haji tentu sangat berharap agar pelaksanaannya oleh sang ketua yang sangat faham tentang rukun, wajib dan sunnat-sunnat haji sehingga Badal Hajinya mabrur.
Jika jumlah pembadal haji cukup banyak, sang ketua mencari mukimin kenalannya yang dapat dibayar lebih murah, bahkan separuh dari biaya yang diterimanya dari pembadal. Kalau saja Badal Haji yang dipercayakan padanya sebanyak sepuluh, kemudian pelaksananya dibayar separuh dari biaya aslinya, berarti sudah sepuluh ribu real atau dua puluh lima juta masuk saku.
Mabrurkah haji seperti itu ?
Masih banyak peluang lain jelasnya, menambah pengetahuan kita tentang aspek bisnis haji, seperti biaya ziarah di Makkah dan Madinah yang sudah dibayarkan oleh jamaah kepada Yayasan, namun tidak dikeluarkan karena biaya untuk itu sudah ditanggung oleh Maktab dimana jamaah itu ditempatkan. Ketika mengantarkan jamaah pergi berbelanja, katakanlah ke kebun korma di Madinah, sebelum kembali dari kebun kurma itu, sang ketua sudah menerima amplop komisi dari penjaga toko di kebun itu, pemberian itu disebut “bahsyis”. Masya Allah, tanah haram itu memang berkah” ujarnya, seraya menambahkan infoemasi bahwa selama dia di sana, semua kebutuhannya dijamin oleh jamaah.
Makan minum bergantian jamaah mengantarkan, sabun odol sikat sudah disipkan, pakaian kotor pun secara bergilir dicucikan, dan ketika jamaah merasa puas dengan bimbingannya saat tawaf, sa’i, wukuf, lontar jumrah dan lain-lainnya, dengan sukarela jmaah menyerahkan amplop yang berisi real sebagai tanda terima kasih atas bimbingannya, bahkan ada jamaah yang dengan tulus menyerahkan seluruh living coast yang diterimanya dari Kementerian Agama itu diserahkan kepada sang Ketua sebagai ucapan terima kasih atas bimbingannya meraih haji mabrur.
Saya hanya tersenyum dan melambaikan tangan kepada Pak Ketua yang berjalan dengan santai ketika turun dari pesawat saat kedatangannya dari Tanah Suci. Beliau menggunakan gamis dan sorban baru, sepatu sandal baru model Arab Badui , berjalan santai tanpa mengangkat tas tentengan karena barang-barangnya sudah dibawakan pengiring yang tergopoh-gopohdengan beban ganda dibelakangnya. Saya berlalu sambil bergumam dalam hati; “lebih baik menjadi guru ngaji dengan bayaran seikhlasnya, daripada naik haji tiap tahun dengan biaya yang syubhat”. Wallahu a’lamu bishshawab.