Perang Narasi Yang Tak Seimbang

Perang Narasi Yang Tak Seimbang
Ahmad Khozinudin
banner 400x400

Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik

Hajinews – Di sosial media, saya menemukan foto oknum anggota TNI sedang sibuk memasang spanduk dengan tulisan : “KITA DUKUNG PEMERINTAH, BUBARKAN FPI, FPI BUBAR INDONESIA DAMAI”. Entah, seberapa jauh tingkat validitas foto. Yang jelas, jika foto ini benar, pemerintah sedang dalam krisis legitimasi menghadapi FPI.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Ada kekacauan pemerintah, jika benar ini kerjaan oknum anggota TNI. Mengingat, TNI bekerja berdasarkan instruksi jalur komando, pemasangan spanduk ini disinyalir bagian dari tugas yang harus diemban TNI untuk memenangkan perang narasi untuk menundukkan FPI.

Pemerintah sendiri, nampak kurang piknik dalam bernarasi dan memenangkan opini di ruang publik. Dugaan pemasangan spanduk anti FPI ini, bisa mengkonfirmasi :

Pertama, pemerintah terlihat tidak merasa PD atas keputusannya yang mengumumkan pembubaran dan pelarangan kegiatan FPI. Padahal, keputusan itu ditandatangani 6 pejabat tinggi kementerian/lembaga, bahkan dikoordinir langsung oleh Menkopolhukam.

Pemerintah, masih perlu mengkondisikan opini melalui beredarnya narasi dalam tulisan spanduk. Ini artinya, ada kemunduran dalam rencana. Eksekusi, baru pengkondisian opini.

Semestinya, langkah yang ditempuh adalah mengkondisikan opini, mengkonsolidasi narasi dukungan pada pemerintah sekaligus melakukan alienasi terhadap FPI. Agar saat dieksekusi, keputusan itu memiliki bobot untuk dijalankan karena mendapat dukungan dan legitimasi publik.

Kedua, pemerintah masih mengadopsi cara kuno, cara yang mungkin pernah booming di zaman Arya Kamandanu. Kenapa ? Era now adalah era sosmed, era internet. Orang terkonsentrasi pada sosmed, orang mudah dikondisikan melalui narasi sosmed.

Satu spanduk seharga Rp. 50.000,- itu tidak ada nilainya dengan kekuatan satu meme dengan modal kuota beberapa Byte yang kalau dikonversi rupiah modalnya kurang dari 100 perak. Memang ada biaya membuat, tapi era now netizen bikin meme dengan berbagai aplikasi beberapa detik sudah jadi dan mungkin sambil merem.

Pengkondisian narasi opini di sosmed juga mampu di amplifier luas se Indonesia bahkan dunia. Ini benar-benar era baru bernarasi yang tak pernah terfikir pada era sebelumnya.

Ini adalah Era yang bahkan Gie dulu tak terpikir, bisa nulis sekaligus disebarkan secara real time. Dahulu, para pejuang dan aktivis juga menulis narasi opini, tapi mereka harus menghadapi pembredelan, koreksi dewan redaksi, atau kalaupun lolos hari ini menulis besok pagi baru terbit. Itupun, dengan oplah yang sangat terbatas.

Sementara itu, dunia viralisasi internet ? Tak terbatas. Sebuah artikel yang menarik publik, dalam hitungan menit bisa merambah ke seluruh platform sosial media dan bisa diakses oleh jutaan netizen se Indonesia.

Jadi, saya merasa prihatin dan kasihan di era seperti ini masih bertarung narasi dengan cara kuno. Apalagi dilakukan oleh oknum TNI. Ini benar-benar merusak logika saya dalam berdialektika.

Ketiga, pemerintah kehilangan basis dukungan dari kelompok civil society. Ormas dan tokoh yang biasanya menjilat rezim, hari ini juga agak tiarap, khawatir tersapu badai opini netizen. Terpaksalah, alat negara diturunkan. Itupun, tidak sesuai tugasnya.

Ya, ini pengulangan downgrade tugas militer. Jika sebelumnya menggantikan satpol PP menjalankan tugas menurunkan baliho, sekarang mengambil alih tugas tukang reklame atau aktivis parpol, untuk pasang spanduk.

Beda jauh dengan yang dialami FPI. Begitu diumumkan dibubarkan, dukungan mengalir deras kepada FPI. Begitu deklarasi FPI baru digulirkan, mengalir deras ucapan selamat untuk FPI baru.

Saya melihat, pertarungan narasi ini tak seimbang. Ini seperti kelas berat melawan kelas bulu. Apa yang terlihat dalam foto yang beredar, berupa pemasangan spanduk oleh oknum anggota TNI, benar-benar menggambarkan bahwa apa yang dilakukan sudah tak lagi mempertimbangkan rasio dan nalar sehat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *