Jangan Menyangkal Ketertinggalan Kita, Bersatu Saja Dan Melangkah Secara Strategis

banner 400x400

Oleh: Masrifan Djamil

Hajinews – Kita ini muslim sebenarnya termasuk yang mana? Imam Ghozali membagi soal pengetahuan atau keilmuan manusia menjadi 4 kategori,

Bacaan Lainnya
banner 400x400

  1. orang yang tahu bahwa dirinya tahu,
  2. orang yang tidak tahu kalau dirinya tahu,
  3. orang yang tahu kalau dirinya tidak tahu, yang paling celaka ke
  4. orang yang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu.

Menyimak youtube, tik-tok yang beredar, cuitan di twitter, facebook dan WA, miris kita, banyak orang kategori ke 4 ini merasa tahu, sehingga tulisan atau videonya sesat dan menyesatkan. Contoh lain, miskin banyak utang, tapi lagaknya niru orang kaya, bermewah-mewah. Belum meneliti dengan baik, mengklaim bisa mengobati HIV, kanker atau COVID-19. Ketinggalan tetapi merasa maju.

Kata para ahli kalau mau sukses, gabungkanlah HEAD, HEART dan HAND. Jadi otak dan hasil karyanya nomor satu. Manusia menemukan kelapa bisa diminum airnya dan dimakan daging kelapanya, itu karena mengamati binatang, lalu berfikir dan mencoba. Kalau pikiran dipasung tidak boleh kritis, menganalisis dan mengusulkan dibilang nyinyir, lama-lama orang akan merosot daya nalarnya, logika berpikirnya, critical thinking-nya, pembelajarannya, maka tidak merasa lagi keliru kalau tidak mau berpikir.

Kalau HEART, hatinya tidak diasah agar penuh kasih sayang, mempunyai “mental berlimpah”, tidak punya kesabaran, tidak bertauhid dengan kuat dan istiqomah, bengis (kejam), pasti hidupnya kacau. Orang dengan heart emas, maka biasanya akan sukses dan mau mengecek dirinya masuk kriteria yang mana dari Imam Ghozali di atas, lalu mengoreksi diri bila ada kekurangan.

Hati yang membatu, keras dan sakit, maka membuat manusia menjadi lebih kejam dari binatang karena dia punya otak. Misalnya kalau binatang membunuh lalu ditinggal, kalau manusia akan berusaha menghilangkan jejak, supaya dia tampak baik, bukan pembunuh dst. Kita gagal antri, kalimat di internet banyak yang “rusak”, berita kriminal dan pembunuhan setiap hari menghiasi TV kita, korupsi semakin menggila (dulu kita dibiasakan Milyard atas jasa Edy Tansil yang tak pernah ditangkap negara), angka perceraian semakin meroket, antar umat beragama saling mengadukan ke polisi, dst, menunjukkan HEART gagal dibangun.

Hand atau skill orang sukses selalu diasah, semakin hari semakin ahli. Contohnya orang Belanda, buat sepatu kayu sehari paling 2-5 buah, itupun belum dihaluskan, maka otak dan tangannya diolah agar mempunyai mesin yang bisa membuat sepatu kayu sehari 25 buah. Disempurnakan terus dengan 3H-nya, sampai akhirnya bisa memproduksi 200 buah sepatu sehari dalam bentuk kasar, dengan mesin bubut yang “teknologi tepat guna” tetapi juga canggih. Waktu di SMA anda pernah beli (lihat) alat untuk menggambar meniru gambar persis yang sudah jadi kan? Begitulah mereka menemukan skill membuat sepatu kayu, sama bagusnya dengan “hand made” tapi sehari amat produktif.

Lalu kita ini serba ketinggalan, kok selalu bertengkar, tidak fokus ke “bagaimana mengatasi ketinggalan dengan bangsa lain”. Vietnam yang hancur-hancuran karena perang di tahun 1976 baru mulai bersatu dan bangkit ternyata bisa mengejar ketinggalan dengan bangsa lain. Korea di bawah Park Chung Hee (1961-1979) dianggap sebagai titik tolak kebangkitan dan kemajuannya, ternyata bisa menyamai Jepang yang menjadi negara dengan mempoduksi semua alat setara Amerika. Lalu menghasilkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Anda juga memakai samsung dari HP sampai mesin cuci kan? Caterpillar nyaris colaps diserbu produk sejenis dari Jepang dan Korea.

Di masa COVID-19 yang dilakukan pertama di negeri kita adalah penyangkalan, bukan bersiap dan mengatur strategi dan langkah agar menerapkan PRIMARY PREVENTION (jangan sampai COVID-19 menular ke Indonesia). Bukankah para doktor dan magister kedokteran dan kesehatan semakin banyak? Mereka adalah lidi-lidi yang terserak.

Pak Harto tidak S1 tetapi berhasil menyatukan lidi menjadi sapu, Puskesmas dengan kinerja dan hasil karyanya ditulis orang dan mendapat hadiah NOBEL, tetapi kita “menghancurkan” Puskesmas. Puskesmas yang asli buka 24 jam, diberi rumah dinas 3 atau 4 unit, masing-masing untuk dokter, bidan dan perawat, kalau ada 4 untuk penjaga yg tugasnya all round. Puskesmas bekerja di layanan primer dan bekerja komprehensif (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif).

Rentang perbedaan Puskesmas di Jawa dan pulau lain adalah A sampai Z, yakni tidak lengkap SDM-nya, ribuan atau ratusan tanpa dokter, beralih jadi KLINIK BESAR, pekerjaan Preventif dan Promotifnya terbengkalai. Sarananya sejak saya jadi dokter 1982 belum pernah berkembang baik. Kebijakannya desentralisasi terserah kepada Kepala Daerah masing-masing. Alhasil itu karena HEAD kita tidak berhasil mendeteksi dan menganalisis bahwa Puskesmas adalah infrastructure dan kebutuhan dasar utama.

Pemeriksaan laboratorium PCR untuk COVID-19 kita kalangkabut, pernah lebih rendah rate-nya (jumlah yang diperiksa per jumlah penduduk) dibanding Uganda. Sekarang juga masih kurang dari standard WHO, dengan positivity rate yang tinggi (ditemukan positif dari seluruh PCR per orang 1 test, bukan ulangan test pada 1 orang, kita masih di atas 16%, padahal angka aman agar penularan minimal COVID-19 adalah maksimum 5%). Vaksin COVID-19 juga belum swadaya, bangsa lain sudah berbisnis vaksin. Kita terburu-buru membeli sebelum semuanya clear (peluang bisnis vaksin dapat disimak di hajinews di bawah).

Sekali lagi itu itu karena HEAD kita tidak berhasil mendeteksi dan menganalisis bahwa Puskesmas, Laboratorium lengkap beserta SDMnya adalah infrastructure dan kebutuhan dasar utama.

Langkah mengejar ketinggalan

Mari kita sadari bahwa kita ketinggalan, jangan mbulet cari alasan, “denial”, ngeles, apalagi merasa tidak ketinggalan. Mari secara sistematis dan strategis mengejarnya, dimulai dari menata guru dan dosen, lalu kurikulumnya (anak SD kelas 2 cucu saya, testnya masuk karena pindah sekolah, kayak anak SMA, baik jumlahnya dan isinya, saya bilang dalam hati “Gila”….).

Kita arahkan pendidikan agar anak didik mampu memanfaatkan dan mengasah 3H itu dengan baik, untuk dirinya, keluarganya dan bangsanya. Kalau nggak mau bangsa karena terlalu luas, ya komunitasnya.

Jadi urusan Puskesmas atau Kesehatan seluruhnya wajib ditarik menjadi urusan pusat, SENTRALISASI, sehingga Puskesmasnya se Indonesia standard. Standard bangunan dan sarana prasarananya, standard tenaga/SDMnya, standard kegiatan dan programnya, standard mutu pelayanannya DARI SABANG SAMPAI MERAUKE. Kita latih terus dokter dan SDM lain secara standard, terukur dan sistematis. Bukan malah bertikai dengan para dokter umum bikin DOKTER LAYANAN PRIMER atau Spesialis Dokter Keluarga Layanan Primer (SpKKLP) yang hanya pelatihan 6 bulan. Jauh panggang dari api. HEART, HEAD, HAND gagal dipadukan untuk menghebatkan Indonesia.

Penggabungan 3 H itulah yang berhasil dilakukan Nabi kita ﷺ, keluarga dan para sahabat, sukses membangun peradaban dunia. Pernah jaya di Eropa, Afrika dan Asia 800 tahun. Delapan abad bukan waktu yang pendek. Maka mau mengecilkan Islam dengan cara apapun sia-sialah.

Kalau anda dulu sebelum PANDEMI COVID-19 tidak mengaji karena sibuk dan harus hadir di masjid atau majelis taklim, dan sejumlah alasan lain yang anda bangun, sekarang jamannya ngaji online cukup dari rumah sambil pakai singlet dan ngopi, tetep tidak mau ngaji (ilmu dan amalam agama dan ilmu umum) tandanya HEART anda sedang error. Kalau merasa sudah maju atau malah marah ya sudah, abaikan saja tulisan ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *