3 Alasan Pemerintah Arab Saudi dalam Penghancuran Situs Suci di Mekah dan Madinah

3 Alasan Pemerintah Arab Saudi dalam Penghancuran Situs Suci di Mekah dan Madinah
SItus suci mekah dan madinah
Arab Saudi memiliki sejarah panjang dalam penghancuran situs suci dan bersejarah. Khususnya di Mekah dan Madinah. Beragam alasan ada di balik aksi ini. Inilah tiga alasan pemerintah Arab Saudi dalam penghancuran situs suci di Mekah dan Madinah.

Hajinews – Dalam sejarah Islam selama seribu tahun lebih, hampir jarang ditemukan penghancuran situs suci agama lain oleh penguasa Muslim atas nama agama Islam. Sebaliknya, pelarangan penghancuran situs suci ditemukan dalam sejarah Islam awal. Umar bin Khathab misalnya, ketika menakhlukkan Jerusalem, dia memberi jaminan atas eksistensi umat Kristiani beserta situs sucinya. Ia melarang dengan tegas penghancuran situs suci. Tradisi Umar bin Khathab ini menjadi preseden bagi para penguasa Muslim setelahnya.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Situasi modern berbeda ketika terjadi penakhlukkan kota Mekah oleh penguasa Arab Saudi yang berpaham Wahabi. Penghancuran situs suci di pusat dunia Islam justru menjadi tradisi sejak pertama kali kaum Wahabi muncul pada abad ke-18, 19 dan 20. Secara bertahap, situs-situs suci dan bersejarah dihancurkan.

Menjadi pertanyaan, mengapa penguasa Arab Saudi begitu mudah menghancurkan situs suci, bahkan situs suci milik umat Islam sendiri? Apa motivasi dan pembenarannya?

Wahabisme

Wahabisme merupakan pandangan keagamaan yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang ulama Hanbali dari Jazirah Arab bagian Timur, Najd, bernama Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792 M), pada abad ke-18. Muhammad bin Abdul Wahab belajar kepada ayahnya, seorang ulama bermazhab Hanbali, lalu kepada sejumlah ulama di Mekah dan Madinah serta kota lainnya.

Muncul kecenderungan berbeda dalam diri Muhammad bin Abdul Wahab. Dia memandang bahwa para ulama dan masyarakatnya telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Ia berniat melawan penyimpangan tersebut dan mengembalikan Islam sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW seperti yang dipahaminya.

Ia tidak menyebarkan gagasannya selagi ayahnya masih hidup. Tetapi, setelah kematian ayahnya, dia mulai mengambil langkah yang tidak sabar. Penolakan terjadi terhadap ajakannya sampai pada beberapa waktu kemudian, dia bertemu keluarga Muhammad bin Saud, penguasa Dir’iyah.

Keluarga Bin Saud menerima doktrin Islam ala Muhammad bin Abdul Wahab dan mendukung penyebaran ajaran tersebut. Adalah keuntungan secara politik dan ekonomi bagi keluarga Bin Saud, dan keuntungan spiritual bagi Muhammad bin Abdul Wahab, jika kerja sama ini berhasil.

Koalisi Saudi-Wahabi pada mulanya cukup berhasil. Perluasan wilayah kekuasaan ini dilakukan melalui agenda jihad atas nama penyebaran agama. Jadi, mereka berperang melawan sesama umat Islam yang berada di sekitarnya yang telah dianggap kafir.

Kerajaan Arab Saudi

Arab Saudi berawal dari keluarga Muhammad bin Saud, penguasa Dir’iyah. Setelah berkoalisi dengan Muhammad bin Abdul Wahab, keluarga ini mulai melakukan ekspansi ke wilayah sekitarnya. Puncaknya, pada abad ke-18 itu pula, keluarga ini berhasil menduduki Mekah dan Madinah.

Keluarga ini kemudian ditakhlukkan oleh Khadiv Mesir, Muhammad Ali Pasha atas instruksi Kekhalifahan Turki Usmani. Pusat pemerintahan Bani Saud di Dir’iyyah berhasil diruntuhkan.

Proyek Penghancuran Situs Suci Pertama

Kedatangan para pengikut Wahabi ke Mekah dan Madinah ini, sekalipun sebentar, tetapi kekuatan destruksinya cukup mencengangkan. Mereka memiliki agenda penghancuran sejumlah situs suci. Penghancuran pertama terhadap sejumlah situs suci terjadi dalam sejarah perjalanan Arab Saudi. I. Ahmed dalam artikel berjudul “The destruction of the holy sites in Mecca and Medina” yang diterbitkan oleh jurnal Islamica Amman, 15, tahun 2006, halaman 71–74, mencatat, pada 1803, mereka meratakan semua kubah yang ada di kota suci Mekkah. Pada 1806, mereka menduduki Madinah dan tidak meninggalkan “bangunan keagamaan, termasuk masjid, tanpa dihancurkan, baik di dalam atau di luar Baqi ”(pemakaman keluarga Nabi Muhammad). ‘Perang suci’ yang merusak ini terus berlanjut, menargetkan pemakaman para syuhada Uhud, Masjid al-Manaratain, masjid putri Nabi Fatimah, makam para istri dan sahabat Nabi. Struktur di pemakaman Baqi diratakan dengan tanah tanpa meninggalkan satu kubah pun di tempatnya.

Shazia Farhat dalam “Exploring the Perspectives of the Saudi State’s Destruction of Holy Sites: Justifications and Motivations”, tesis master di Universitas Harvard, 2018, mencatat bahwa motivasi dan pembenaran atas aksi penghancuran pertama ini adalah doktrin Wahabi tentang pemurnian agama. Farhat mengaitkan agenda penghancuran itu dengan doktrin Wahabi dalam kitab Muhammad bin Abdul Wahab berjudul Kitab Al-Tauhid. Beberapa bagian kitab ini menganjurkan penghancuran makam karena dianggap dapat menyebabkan masyarakat terjatuh dalam kemusyrikan yang dilarang agama. Materi ini terutama ditemukan dalam bab 20, 21, 22 dan 61.

Farhat menemukan instruksi itu misalnya dalam bab ke-21, “Bab ma ja’a anna al-ghuluw fi qubur al-shalihin yushayyiruha autsanan tu’badu min duni Allah” yang berarti bab penjelasan tentang bersikap berlebihan terhadap makam orang shalih dapat menjadikan makam-makam itu berhala yang disembah selain Allah.

Pada bab ke 61, Muhammad bin Abdul Wahab menulis tentang perintah meratakan makam dengan tanah. Dalam ma ja’a fi al-mushawwirin”, yang berarti penjelasan tentang para pematung, Muhammad bin Abdul Wahab mengutip sebuah hadis tentang perintah penghancuran patung dan perataan makam.

Sekalipun kekuatan keluarga Saudi berhasil ditakhlukkan, tetapi sebagian keluarga itu masih bertahan dan membangun kembali sisa-sisa kekuataannya di Riyadh. Kota di selatan Dir’iyah, Jazirah Arab bagian timur. Turki bin Abdullah, sang pemimpin kerajaan, putera Abdullah bin Saud, berhasil mendirikan kembali kekuasaan keluarga Saud. Turki digantikan oleh anaknya, Faisal bin Turki, melalui upaya kudeta pada tahun 1834. Pada tahun 1865, ketika Faisal bin Turki wafat suksesi penggantiannya kacau sehingga menimbulkan krisis kepemimpinan hingga tahun 1891. Kondisi ini membuat kerajaan melemah. Di sisi lain, keluarga Rashidi dari kota Hail sedang bangkit dan berhasrat melebarkan pengaruhnya ke wilayah yang dikuasai keluarga Saud. Kesultanan Usmani mendukung keluarga Rashidi secara politik.

Jika kekuasaan pertama keluarga Saudi dihancurkan oleh kekuatan eksternal, maka pada periode kedua ini, Saudi hancur karena faktor internal. Yang dipuncaki dengan serangan keluarga Rashidi ke Riyadh pada 1891. Keluarga Saudi akhirnya menyelamatkan diri ke Kuwait, berlindung kepada keluarga Shabah.

Penghancuran Kedua

Pada 1902, Abdul Aziz bin Saud, salah satu anggota keluarga Saudi, kembali menggelar kampanye penakhlukan. Pada 1906, Abdul Aziz berhasil menakhlukkan Najd dan sekitarnya, termasuk ibu kota pemerintahan keluarga Rashidi, Hail.

Dalam catatan sejarawan M. Al-Rasheed dalam buku A History of Saudi Arabia yang diterbitkan oleh Cambridge University Press, di New York pada tahun 2002, Kesultanan Usmani pada akhirnya mengakui kekuasaan keluarga Saudi secara defakto atas Qasim dan Najd Selatan. Alasan inilah yang menyebabkan Inggris, yang sedang gencar membangun kerja sama dengan para penguasa Teluk, enggan bekerja sama dengan Saudi. Inggris melihat Saudi merupakan pendukung Usmani.

Tetapi, situasi berubah menjelang Perang Dunia I, 1915. Inggris melihat bahwa Saudi berpotensi menjadi sekutu Inggris di kawasan Teluk mengalahkan Usmani yang berada di blok Jerman yang menjadi musuhnya. Pada 1915 inilah terjadi kesepakatan pertama antara Inggris-Saudi. Untuk mendukung Saudi, Inggris menggelontorkan bantuan keuangan setiap bulan.

Pada 1918, Perang Dunia I berakhir, Turki Usmani kehilangan wilayah Arab. Kemenangan ini kemudian menghentikan pula bantuan Inggris kepada Saudi. Saudi yang kehilangan sumber ekonomi melirik Hijaz, pusat peziarahan Muslim kuno yang ada di Mekah serta bea cukai di Arab Tengah. Saudi menyerang Taif, lalu berlanjut menyerang Mekah.

Motif ekonomi ini, sekalipun demikian, dibungkus dengan bahasa agama; seperti menjami keamanan dan keselamatan para peziarah yang datang setiap tahun. Pada 1924, Saudi berhasil menakhlukkan kota Mekah, dan selanjutnya Madinah. Penakhlukan ini berpuncak pada 1925, dengan terjadinya unifikasi Hijaz dan Najd. Abdul Aziz mendeklarasikan diri sebagai raja Hijaz pada tahun itu.

Pada 1932, Abdul Aziz bin Saud mendeklarasikan kerajaan Arab Saudi modern pada tanggal 22 September. Dengan ini, berdirilah kerajaan Arab Saudi yang kita kenal hari ini.

Pada era ini, untuk yang kedua kalinya, terjadi penghancuran terharap sejumlah situs suci di Mekah dan Madinah. Saudi menguasai kedua kota suci tersebut, dan kota-kota lain di Teluk, atas kerja keras dari milisi paling brutalnya, yang mereka sebut milisi Ikhwan Man Atha’allah. Milisi Ikhwan yang menganut paham Wahabi yang paling ketat mendorong penghancuran sejumlah situs suci. Mereka memaksa para ulama Mekah dan Madinah menanda tangani persetujuan penghancuran tersebut. Hakim Agung Wahabi saat itu, Abdullah Bilihid, membacakan dua dokumen persetujuan para ulama Mekah dan Madinah atas paham Wahabi di satu sisi, dan persetujuan untuk penghancuran situs suci. Menurut Said Mamduh dalam Tasyniful Asma’ Bi Syuyukhi Ijazah Was Sima’, peristiwa ini, sekali lagi, menggemparkan dunia Islam.

Berangkat dari sini, terdapat sedikit pergeseran motivasi penghancuran situs suci. Yaitu munculnya motivasi ekonomi yang lebih kuat dibanding motivasi keagamaan seperti tercatat dalam periode penghancuran pertama. Hal ini jika kita berangkat dari misi utama kerajaan. Tetapi, jika kita melihat lebih detil, penghancuran situs suci periode kedua ini, merupakan upaya milisi Ikhwan Man Atha’allah untuk mewujudkan doktrin Wahabi yang ingin menghancurkan makam-makam keramat.

Penghancuran Ketiga

Arab Saudi telah bertransformasi menjadi negara berpengaruh, terutama setelah penemuan sumur minyak. Setelah puluhan tahun eksplorasi, muncul kekhawatiran akan habisnya cadangan minyak. Berbagai kebijakan dikembangkan untuk menggali sumber keuangan alternatif.

Sekali lagi, pemerintah Saudi melirik Mekah dan Madinah sebagai sumber pendapatan alternaitif melalui proyek real estate sejak tahun 70-an. Pembangunan hotel-hotel mewah dan berbagai fasilitas layanan untuk para pengunjung meniscayakan penggunaan tanah-tanah di sekitar Masjidil Haram.

Tanah-tanah di sekitar Masjidil Haram, tentu saja pada akhirnya mengancam beberapa situs bersejarah. Beberapa situs yang dihancurkan pada periode ini, untuk pengembangan real estate perhotelan, adalah rumah Khadijah, rumah tempat lahirnya Nabi SAW, Darul Arqam –sekolah pertama dalam sejarah Islam, dan rumah Ummu Hani –tempat Nabi SAW berangkat untuk perjalan Isra-Mikraj, keempatnya berada di Mekah. Lalu makam Aminah binti Wahb, ibunda Nabi Muhammad SAW, yang berada di Abwa, dekat Madinah, pada tahun 1998.

Dalam argumennya, pihak pelaksana seperti Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Arab Saudi, menyebut bahwa penghancuran yang dilakukan untuk menjaga keselamatan para peziarah dari runtuhnya bangunan kuno yang rapuh dan menjaga agar mereka tidak mengkultuskan tempat-tempat yang berhubungan dengan Nabi SAW sehingga terjatuh dalam syirik yang dilarang agama.

Farhat mencatat dalam tesis masternya di Universitas Harvard, 2018, bahwa argumen yang digunakan dalam proyek penghancuran situs bersejarah pada era kontemporer ini, tidak jauh berbeda dengan yang dipakai pada awal abad 20, ketika kerajaan ini baru berdiri. Menggabungkan alasan keagamaan, keselamatan dan sebenarnya tidak bisa disembunyikan kuatnya dorongan ekonomi di belakang itu semua.

Tiga Alasan Penghancuran

Sampai di sini, ada tiga alasan penghancuran yang digunakan membenarkan. Pertama, alasan ideologi keagamaan, sebagaimana diajarkan dalam doktrin Wahabisme. Kemurnian agama harus dijaga, dengan cara apapun, termasuk dengan menghancurkan situs-situs yang berpotensi mengganggu kemurnian iman Muslim. Kedua, alasan keamanan dan keselamatan peziarah yang terancam oleh bangunan kuno yang sudah rapuh. Karenanya, bangunan-bangunan dan situs kuno itu harus dihancurkan. Ketiga, alasan ekonomi dimana untuk memberikan layanan memuaskan untuk para pengunjung, real estate dan perhotelan mewah harus dibangun. Implikasinya, bangunan kuno harus dihancurkan, terlebih dahulu.

Demikian ulasan singkat tentang tiga alasan pemerintah Arab Saudi dalam penghancuran situs suci di Mekah dan Madinah.

Sumber : harakah

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *