Menanggapi rilis tersebut, Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Azyumardi Azra tidak menampik hal itu. Menurutnya, demokrasi Indonesia merosot saat ini bisa dilihat dari 3 faktor.
Pertama, terjadinya pembungkaman dan penekanan aspirasi masyarakat. Azyumardi merujuk salah satunya adalah pembubaran Front Pembela Islam (FPI) yang tidak melewati proses pengadilan. “Hanya berdasarkan SKT dibubarkan, harusnya dibawa ke pengadilan dulu,” ujarnya
Kedua, menguatnya oligarki politik di antara kekuatan di parlemen (legislatif) dengan pemerintah (eksekutif). Azyumardi merujuk pada pengesahan RUU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang sering dinilai sebagai pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), RUU Minerba dan pengesahan RUU Cipta Kerja. ” Seharusnya mengundang masyarakat untuk dengar pendapat,” katanya.
Dan kondisi ini kemudian semakin diperparah, ketika ada sebagian masyarakat yang menolak namun dihadapi dengan kekerasan. Menurut Azyumardi hal ini menunjukkan lunturnya budaya politik.
Dan yang ketiga adalah menjauhnya good government di pemerintahan Jokowi. “Korupsi masih merajalela,” jelas Azyumardi. Seperti diketahui, setidaknya ada korupsi dana bansos yang seharusnya jadi hak masyarakat namun diselewengkan oleh penyelenggara negara.
Menurut Azyumardi, untuk kembali bisa menaikkan indeks demokrasi di Indonesia, pemerintah harus memberi ruang partisipasi masyarakat.
EIU mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori rezim: demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter.
Dalam laporan disebutkan, bahwa pandemi COVID-19 memberikan dampak kepada demokrasi dan kebebasan di dunia.
Rangking Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara masih kalah dibandingkan dengan Malaysia, Timor Leste, dan Filipina.
Sumber : kompastv