Akhlak Pejabat Publik dan Keadaban Kita

oleh drg. Arief Rosyid (Ketum PB HMI 2013-2015)

Sudah lama saya tak mendengar kata akhlak digaungkan seorang pejabat negara. Apalagi yang disampaikan berulang-ulang di depan sebuah konferensi pers. Biasanya kita dengar kata akhlak di mimbar rumah ibadah atau di acara-acara keagamaan lainnya.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Terkuaknya skandal penyelundupan di Garuda yang menyentak kesadaran kita. Bahwa selama ini ada, bisa jadi sangat banyak, perusahaan milik negara yang salah urus. Dari sana terbongkar keserakahan, ketamakan, dan sikap-sikap tanpa akhlak lainnya.

Adalah Erick Thohir yang pertama memulainya sebagai Menteri BUMN. Sebelumnya ia dikenal sebagai pengusaha sukses. Mengharumkan bangsa lewat pelaksanaan Asian Games yang memukau. Membeli sebuah gereja di Los Angeles, Amerika Serikat, dan mengubahnya menjadi pemilik masjid. Selain kita tahu, ia juga pernah menjadi bos Inter Milan.

Dia masih merasa terpanggil untuk ikut masuk ke dunia yang sama sekali belum ia pernah rasakan. Meski hidup serba bergelimang harta, ia memberanikan dirinya keluar dari zona nyaman dan masuk ke zona baru yang ia sendiri tak mampu menakar ujung dari proses baru tersebut.

Tentu konsekuensinya beragam. Tapi yang terang cuma ada dua, sukses atau gagal. Sukses bisa jadi akan mengantarnya ke tempat yang lebih tinggi, sedang gagal akan membuatnya kembali memulai segalanya dengan nol lagi.

Akhlak kita

Pengalaman malang melintang di dunia internasional hingga beberapa bulan sebagai Menteri BUMN yang membuat ia kini menyampaikan dengan sederhana disetiap kesempatan, bahwa kebutuhan besar bangsa kita adalah akhlak.

Akhlak yang menurut Imam Al Ghazali adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang dari sifat tersebut timbul suatu perubahan dengan mudah atau gampang tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan.

Akhlak yang baik inilah sebagai modal dasar yang tak perlu dibayar mahal untuk memperolehnya, cukup dengan latihan terus menerus agar menjadi kebiasaan dan berujung pada membentuk kebudayaan baru.

Saya peroleh beberapa informasi dari teman-teman di BUMN bahwa kini banyak direksi yang mulai mempertanyakan dirinya berakhlak atau tidak. Belum lagi di ratusan whatsapp grup dan kedai atau warung-warung kopi, perbincangan soal akhlak ini mengemuka.

Kesadaran inilah yang sebenarnya dibutuhkan, bercermin dan merenungi perjalanan hidup sehari-hari yang mungkin tak sesuai dengan nilai-nilai yang sejak lama ditanamkan oleh orang tua di rumah, guru dan dosen di kelas, hingga para penceramah di rumah ibadah.

Ungkapan yang sangat masyhur dikalangan pengamal tasawuf: “Barang siapa yang mengenali dirinya sungguh ia telah mengenali Tuhannya” melengkapi kesadaran di atas. Dengan melihat kembali dirinya lalu mampu menakar sudah sejauh mana perjalanannya awal mula perjalanannya kembali ke jalan kebenaran yang hakiki.

Ia akan menyadari dirinya adalah setitik cahaya kesempurnaan yang diciptakan Allah sebagai pemilik kesempurnaan (QS 95:4). Juga sebagai manusia yang dibebani tanggung jawab yang tidak ringan, sebagai khalifah di muka bumi (QS 35:39, QS 6:165) yang bertugas memakmurkan bumi (QS 11:61), bekerjasama dalam kebenaran (QS 103:3), dan tugas-tugas mulia lainnya.

Keadaban kita

Keadaban dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan sebagai ketinggian tingkat kecerdasan lahir bathin. Keadaban dari sekumpulan orang dan masyarakat inilah yang akan bermuara pada lahirnya peradaban (civilization).

Bahan bakar keadaban dan muaranya ke peradaban ini yang sejak lama diharapkan masyarakat kepada banyak elit pejabat kita. Apa yang disampaikan sebagai sebuah hal yang ideal harus juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam adab dan akhlak yang baik.

Dari sana nilai-nilai keteladanan itu muncul dan menjadi contoh bagi mereka. Akhlak yang baik akan membangun narasi integritas sebagai penyatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan untuk melahirkan kepercayaan dan reputasi.

Istilah “bersih-bersih” Erick Thohir dengan mengutamakan akhlak dan integritas inilah sebagai hal yang fundamental, bukan cuma buat BUMN, tapi juga untuk kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Jika secara konsisten dibangun nilai-nilai keadaban ini dan memantik semua kesadaran masyarakat maka bukan tidak mungkin kehidupan berbangsa dan bernegara kita akan terus melompat menjadi semakin baik dan maju.

Dampak secara langsung dari lahirnya keadaban ini tentu saja pada kesejahteraan rakyat dan keuntungan negara yang selama ini cuma dihasilkan oleh 15 dari 142 BUMN. Selain itu yang juga akan lebih berdampak luas adalah bagaimana akhlak dan integritas yang selama ini membuat dunia Islam khususnya Indonesia sebagai penduduk mayoritas mengalami krisis.

Seperti yang nampak pada hasil penelitian Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University dengan judul “How Islamic are Islamic Country” yang dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010), Indonesia berada diperingkat 140 dari 208 negara.

Harapan membuncah dan meluap pada Erick Thohir, jika selama ini dia sudah lepas dari jebakan harta, semoga mampu keluar dari jebakan tahta. Bersih-bersih cuma bisa dilakukan dengan sapu bersih, bukan sapu kotor. Semoga!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan