Menarik! Ternyata Tradisi Takjil Dipopulerkan Oleh Muhammadiyah

 

Hajinews.id – Bulan Ramadhan, merupakan bulan yang sangat istimewa bagi umat Islam. Bagaimana tidak, di Bulan Ramadhan seluruh umat Islam diwajibkan untuk menunaikan ibadah puasa.Selain itu, setiap ibadah yang dilaksanakan di Bulan Ramadhan akan mendapatkan pahala yang berlimpah.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Salah satu tradisi yang populer di Bulan Ramadhan adalah tradisi takjil. Tak banyak tahu, ternyata dua budaya di atas yang kini nampak umum di Indonesia pertama kali dipopulerkan Muhammadiyah. Ah masa? Begini penjelasannya.

Peristilahan Takjil diambil dari Hadis Nabi Muhammad Riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi, “Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan (Ajjalu) berbuka”.

Istilah ‘menyegerakan’ dalam hadis tersebut (Ajjalu), dalam bahasa Arab memiliki medan semantik yaitu ajjala–yu’ajjilu–ta’jilan yang artinya ‘momentum’, ‘tergesa-gesa’, ‘menyegerakan’, atau ‘mempercepat’. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengistilahkan Takjil sebagai makanan untuk berbuka puasa yang disegerakan.

Profesor Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul Kiai Ahmad Dahlan – Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (2010) mencatat bahwa Muhammadiyah memiliki peran besar dalam mempopulerkan Takjil beserta seremoni kultural lain di dalam Ramadan seperti mengakhirkan sahur maupun kegiatan kultural pada momen hari besar keagamaan Islam lainnya.

Munir mencatat bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid mempopulerkan tradisi mengakhirkan makan sahur menjelang waktu subuh tiba dan menggelar takjil untuk menyegerakan kaum muslimin untuk berbuka.

Sebagaimana usaha Kiai Dahlan membawa ajaran Islam Muhammadiyah yang ditentang oleh kelompok tradisional hingga Kiai Dahlan pernah dituduh sebagai ‘Kiai Kafir’, usaha Muhammadiyah dalam mempopulerkan Takjil dan mengakhirkan sahur pun mendapatkan tuduhan dan sematan miring.

“Cara Muhammadiyah memenuhi ibadah puasa di atas waktu itu menyebabkan pengikut Muhammadiyah dicap tidak tahan lapar, tapi saat ini cara pengikut Muhammadiyah itu sudah menjadi tradisi puasa semua warga muslim di Indonesia,” catat Munir.

Kontribusi Muhammadiyah Pada Tradisi Takjil, Sahur dan Salat di LapanganLebih luas, Profesor Munir Mulkhan mencatat bahwa Muhammadiyah memiliki sumbangan lebih luas dalam mempopulerkan momen kultural keagamaan hari besar Islam.

Misalnya, salat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) yang dilakukan oleh Muhammadiyah di tempat terbuka dengan dikelola oleh sekian orang yang dinamakan panitia. Tak ayal, terobosan Muhammadiyah seperti itu menurut Munir juga turut mendapatkan tuduhan miring (lagi).

“Muhammadiyah pun dikecam keras sebagai agama baru, dan salat hari raya di tempat terbuka adalah bukti jika aktivis gerakan Muhammadiyah tidak mengerti thaharah (bersuci) dalam Islam,” catatnya.

Pada momen Idul Adha atau Idul Fitri, Munir juga mencatat bahwa Muhammadiyah ikut meramaikan syiar Islam dengan mengumpulkan anak-anak Hizbul Wathan yang bertakbir keliling ke sudut-sudut kampung sembari mendatangi rumah kaum fakir miskin untuk membagikan beras zakat atau daging kurban.

“Kini kegiatan itu sudah menjadi tradisi keagamaan yang dilakukan oeh semua orang tidak terbatas pengiktu Muhammadiyah. Melalui guru agama di sekolah negeri/swasta, murid sekolah mengumpulkan uang fitrah di bulan puasa atau uang kurban di bulan haji. Uang fitrah yang terkumpul dan daging hewan kurban kemudian dibagikan kepada fakir miskin,” tulis Munir. (muhammadiyah.or.id )

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *