Politik untuk Anak, Anak untuk Politik

Politik untuk Anak
Seto Mulyadi dan kembarannya
banner 400x400

Salah satunya adalah Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI).

Mereka aktif turun ke jalan, mengangkat poster dan meneriakkan yel-yel mendesak pemerintah untuk bersungguh-sungguh mengatasi kekacauan. Tritura lahir dari jeritan berbagai lapisan masyarakat, termasuk KAPI.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Betapa pun pada masa itu Indonesia tengah dibelit krisis barang-barang kebutuhan pokok, namun tidak ada yang gegabah menyebut KAPI sebagai kumpulan anak-anak yang ditelantarkan akibat tidak terpenuhinya hak mereka untuk tumbuh sehat.

Tiga nukilan di atas, tak bisa disanggah, adalah bukti betapa di negeri ini anak-anak ambil bagian secara aktif dalam gerakan-gerakan politik.

Jadi, justru merupakan panggilan kolektif kepada setiap orang yang cinta negeri ini agar tidak abai sejarah, sekaligus terus memupuk etos anak-anak agar senantiasa bergelora setiap kali berhadapan dengan situasi krisis di Tanah Air.

Tugas kolektif itu tampaknya tidak mudah. Sulit untuk menutup mata bahwa kebiasaan otak berpikir serba instan dan jangka pendek (baca tulisan saya, Menunggu Sesi Debat Capres Bertema Anak, di Kompas.com, 17-1-2024), jangan-jangan telah menyurutkan semangat juang anak-anak Indonesia sekian derajat.

Kedua, perlukah ke depan kancah politik disterilkan dari anak-anak?

Ketika 17 Agustus tiba, semua orang bersukacita di tempat-tempat terbuka. Karnaval busana tradisional, kompetisi panjat pinang, adu pukul guling di atas kali, lomba balap karung, dan lainnya, merupakan kemeriahan tahunan yang juga menghadirkan anak-anak sebagai subjek utamanya.

Panas terik, air sungai yang keruh, dan kaki luka atau terkilir, tak pernah menjadi keluhan. Lantas, mengapa kini justru pawai partai politik atau pun kampanye calon presiden justru disikapi dengan penuh kegelisahan?

Boleh jadi karena perhelatan-perhelatan politik di lapangan terbuka penuh dengan umpatan dan narasi-narasi dusta (hoaks).

Dan sebagai konsekuensi dari psikologi massa, tidak ada satu orang pun yang tersentak lalu terpanggil untuk mengoreksi politisi yang lisannya lepas kontrol. Ironisnya, tindak-tanduk yang sesungguhnya jauh dari etika justru ditepuki riuh.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *