Analisis Debat Capres Terakhir

banner 400x400

Pada segmen kedua, setidaknya di mata penulis, keseruan di dua debat Capres sebelumnya tak menyala lagi.

Adu argumen sampai saling lempar komunikasi verbal tak nampak lagi, membuat bagian ini terasa datar-datar saja.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Pertanyaan panelis bidang kesehatan, TI, dan budaya, dijawab dan direspons antarkandidat tanpa letupan, apalagi kejutan berarti.

Jawaban yang diberikan relatif sama atas pertanyaan para panelis yang diberikan, hanya cara pandang dan pendekatannya saja yang tak seragam.

Kemasan jawaban terasa bervariasi, namun ditilik-tilik lagi, subtansinya seragam terutama atas pertanyaan bidang TI dan Kesehatan.

Khusus pertanyaan dan jawaban kebudayaan, “tumben-tumbennya” Anies dan Prabowo kali ini akur harmonis.

Anies menyebutkan perlunya dibentuk Kementerian Kebudayaan, agar semuanya lebih fokus ditangani, dan gayung bersambut, hal itu diamini oleh Prabowo.

Sementara Ganjar cukup berbeda, kali ini dengan mengaitkan apa yang dialami budayawan Yogyakarta, Butet Kertaredjasa, “Masa takut Butet, budayawan cukup difasilitasi, sehingga birokrasi itu tinggal duduk dan lihat awasi hasilnya.”

Untuk segmen kedua ini, ketiga kandidat relatif bisa mempraktikkan teori Joseph DeVito (2015) tentang teori pidato demonstratif.

Yakni jenis pidato yang lebih dalam memaparkan sisi “What, Where, Who, When, Why, dan How”, sehingga orator menyampaikan cara-cara melakukan sesuatu.

Ketiganya berpengalaman di pemerintahan, baik level pusat maupun pemerintahan daerah, sehingga jawaban mereka bisa bercerita bukan saja apa pangkal masalahnya, tapi juga bagaimana membereskannya.

Kesan membosankan, super datar terasa betul pada segmen ketiga dan kedua. Apa yang dijawab Anies dan Ganjar, cenderung disepakati Prabowo, dan demikian pula sebaliknya.

Padahal ini babak responsi, sesuatu yang bikin debat lebih hidup di dua debat mereka sebelumnya. Namun semalam, selain bilang sepakat, para kandidat cenderung hanya menambahkan jawaban sebelumnya.

Tak ada drama emosi mencuat, tak ada jargon unik debat sebelumnya yang dikenang sampai hari ini (Sorry Ye, Omon Omon, Wakanda No More Indonesia Forever, dst), juga tak ada serangan-serangan jab data seperti pupuk langka di Jateng hingga tanah ratusan ribu hektare milik Prabowo.

Walau mungkin dari sisi tontonan jelas “menurun” dibanding debat sebelumnya, tapi dari sisi tuntunan, debat semalam layak dirujuk.

Sebab, tak hanya berpengetahuan (logos), tapi juga kredibilitas (pathos) dan kematangan emosi (ethos), ketiganya itu relatif lebih baik dari dua debat sebelumnya.

Suasana adem, damai, dan saling mendukung pertanyaan, berhamburan dilakukan ketiga kandidat. Apa ada semacam konsensus di awal acara, dari KPU dan ketiga paslon, agar mencontohkan komunikasi publik yang lebih bersahabat? Wallahu a’lam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *