“Yang Penting Menang”

Yang Penting Menang
ilustrasi
banner 400x400

Dapat dikatakan, lobi-lobi internal antarpartai ataupun perseorangan semacam inilah yang sebenarnya luput dari perhatian masyarakat dan sangat berbahaya.

Mengapa? Karena pembicaraan ini tidak dilaksanakan secara terbuka dan hanya melibatkan pertemuan tertutup antar elite. Akibatnya, kepentingan rakyat dan masyarakat luas luput dalam pembahasan pembentukan koalisi.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Seringkali, yang dibicarakan dalam pertemuan dan lobi-lobi ini hanya sekadar masalah angka: elektabilitas, hasil survei, jumlah suara tiap dapil, kekuatan relawan di daerah dan sebagainya.

Apakah ada hal-hal yang sifatnya kepentingan publik secara luas dibicarakan dalam forum transaksional semacam ini? Sayang seribu sayang, sejak 2019 dan kini 2024, penulis melihat hal tersebut sangat langka untuk didengar.

Suara masyarakat seolah hanya diukur dari segi angka persentase keterpilihan daripada substansi yang harusnya menjadi pokok persoalan masyarakat yang diwakilinya.

Keberadaan konsultan politik yang menaungi berbagai survei, namun juga ikut membantu pemenangan suatu koalisi tertentu, seolah semakin mengalihkan fokus bagi apa yang idealnya dilakukan bagi seorang wakil rakyat untuk kemaslahatan masyarakatnya. Hal ini tentunya jauh dari kondisi yang “ideal” bagi negara demokrasi.

Parahnya, idealisme kadang hanya menjadi komoditas politik, bukan cita-cita luhur yang ingin dicapai.

Sebagai contoh, partai-partai Islam yang seharusnya mewakili suara-suara masyarakat yang diwakilinya, justru memanfaatkan doktrin dogmatis keagamaan demi mendulang suara dan meraih kekuasaan.

Doktrin-doktrin keagamaan yang tadinya dianggap sebagai nilai-nilai luhur di masyarakat, justru dimanfaatkan oleh para politisi sehingga turun derajatnya menjadi doktrin dogmatis yang sarat akan kepentingan.

Berbagai partai berhaluan non-agama yang juga turut memanfaatkan situasi seperti ini turut berkampanye di area komunitas keagamaan seperti pesantren, padepokan, ataupun madrasah demi memanfaatkan “doktrin” keagamaan yang diyakini oleh para masyarakat di sekitarnya.

Akibatnya, suara komunitas-komunitas tersebut akhirnya terpecah secara politik, dan menimbulkan fragmentasi cara pandang antarinternal komunitas keagamaan.

Kedua, mengapa dicengkram plutokrasi? Sebagai informasi, plutokrasi berarti kekuasaan yang digenggam oleh sekelompok orang yang memiliki kekayaan luar biasa.

Hampir sebagian besar politisi kita pasti memiliki latar belakang bisnis. Sehingga, politik menjadi suatu ranah yang accessible bagi pebisnis karena mahalnya biaya yang diperlukan untuk terjun ke dunia politik.

Dalam menggerakan mesin partai dan pengerahan massa serta atribut saat kampanye, uang seakan-akan menjadi modal politik yang paling diperlukan dan merupakan bentuk power yang paling dominan dibanding citra lembaga ataupun individu.

Maksud penulis, siapa orang di dunia saat ini yang tidak butuh uang?

Money politics memang ada dan nyata di mana-mana. Namun layaknya elite yang menghalalkan segala cara, masyarakat kita pun tidak benar-benar mengkritik hal ini di dunia nyata. Tidak peduli halal atau haram, asal cuan, terima saja tidak masalah.

Istilah “serangan fajar” ataupun bagi-bagi hadiah menjadi hal yang lazim untuk diterima dan bukan hal yang patut untuk dikritisi.

Budaya demokrasi yang cenderung feodal ini memang menargetkan kaum-kaum yang memang terbelakang secara ekonomi dan pendidikan, sehingga membuat si pemberi terasa sebagai seorang malaikat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *