Apakah Kita Akan Mengulangi Kesalahan Masa Lalu? Tirani Politik dan Otoritarian

Tirani Politik dan Otoritarian
Tirani Politik dan Otoritarian
banner 400x400

Subtansi kebenaran atau kebohongan tidaklah penting: yang esensial adalah efek politisnya. Bukan masalah kebenaran atau kebohongan yang menentukan hasil, melainkan efeknya yang berfungsi sebagai alat dalam pertarungan antar kekuatan politik.

Saya teringat ungkapan Boni Hargens bahwa Pemilu 2024 merupakan titik kritis yang menentukan arah maju atau mundur. Demokrasi di persimpangan yang mengalami pendangkalan makna, sesuatu kewajaran tanpa ada aturan main akan merusak distingsi yang sudah dijaga ketat baik secara epistemis maupun etis.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sementara Marcos dan Jokowi mungkin tidak memiliki hubungan kausal atau koneksi ideologis, fenomena keluarga politik dinasti yang memperkuat posisi mereka dalam pemerintahan menjadi penting untuk diperhatikan. Meskipun keduanya berasal dari konteks politik yang berbeda.

Namun, mengakui keberhasilan Jokowi, juga tak mungkin serentak berarti menambal lubang sejarah bangsa yang disebabkan rezim otoriter dulu mungkin saja berulang.  Bahwa fakta tak mungkin jadi flatus—Orang yang bijak tahu membaca sejarah.

Tetapi saya masih  meyakini ”Vox Populi Vox Dei” harus digerakkan dalam praksis untuk mewujudkan realitas politik yang demokratis. Sebab, dalam pemilu kita tak mencari yang terbaik, tetapi mencegah yang terburuk menang. Kita mungkin mendapat kambing, alih-alih domba, tetapi dalam pemilu kita mesti mencegah serigala berbulu domba menang.

Politik praktis sering kali menawarkan horizon pendek yang membuat orang mudah terjebak dalam harapan semu, dan biasanya yang selalu menjadi korban adalah rombongan yang tidak memiliki cukup informasi. orang-orang yang tidak cukup informasi, tidak cukup pengetahuan, selalu menjadi korban.

Hidup berbangsa dan bernegara membutuhkan sikap bijak agar dapat melihat dengan jelas transendensi yang lebih tinggi dari sekadar memenuhi hasrat dan ambisi yang dangkal. Dalam membangun demokrasi, penting untuk melampaui batasan-batasan kepentingan pribadi dan melihat gambaran yang lebih besar untuk kepentingan bersama dan keberlanjutan jangka panjang.

Di tengah situasi politik yang sering kali diwarnai pragmatisme, korupsi, dan rendahnya integritas, Saya selalu merindukan politisi yang mengedepankan keadaban bangsa. Sosok-sosok seperti Baharuddin Lopa, Hoegeng Iman Santoso, dan Mohammad Hatta menjadi teladan dalam hal ini.

Mereka lantang menyuarakan kebenaran, memegang teguh tanggung jawab moral sebagai elit, dan menunjukkan melalui tindakan bahwa berpolitik bukan semata-mata tentang kekuasaan atau kepentingan pribadi. Melainkan, tentang pengabdian kepada masyarakat dan keberpihakan pada kebenaran serta keadilan, sebagaimana dulu para pendiri bangsa kita berpolitik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *