Mengukur Fungsi Pengawasan DPR Melalui Wacana Hak Angket

Fungsi Pengawasan DPR Melalui hak Angket
DPR
banner 400x400

Sebagaimana diketahui, wacana pengguliran hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu dilontarkan oleh calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo, yang diusung oleh PDIP, Hanura, PPP, dan Perindo. Usulan tersebut kemudian disambut hangat oleh capres nomor urut 1, Anies Baswedan, yang diusung oleh NasDem, PKB, dan PKS.

Dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), hak angket diatur di Pasal 79 ayat 3. Pasal tersebut menjelaskan bahwa hak angket merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Pengamat Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengungkapkan, untuk mekanisme pengajuan hak angket diatur dalam UU MD3 Pasal 199. Ia menjelaskan bahwa hak angket dapat diusulkan dengan minimal dua fraksi dan 25 orang anggota DPR.

Firman menilai, hak angket dapat digulirkan dengan melihat komposisi fraksi yang ada di DPR saat ini, di mana partai pengusung paslon Ganjar dan Anies memiliki keinginan yang sama untuk menggulirkan hak angket untuk menyelidiki kecurangan pemilu.

Selama era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), hak angket tercatat baru dua kali digunakan oleh DPR. Pertama, penggunaan hak angket untuk menyelidiki pelanggaran yang dilakukan pemerintah terkait penetapan tersangka kasus penistaan agama, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok pada 13/2/2017 lalu. Hak angket ini diserukan oleh Fraksi Partai Gerindra, PKS, Demokrat dan PAN.

Selain itu, pada 19/4/2017, usulan hak angket juga digulirkan kepada KPK dengan maksud agar KPK membuka rekaman pemeriksaan anggota DPR dari Fraksi Hanura Miryam S Haryani.

Dalam wacana hak angket sekarang, Firman menyebut bahwa hak angket menjadi hak konstitusional untuk menunjukkan adanya masalah besar selama proses pemilu berlangsung. Sehingga, apa yang beredar di tengah masyarakat terkait dugaan kecurangan-kecurangan bisa dibuktikan.

Penyelidikan ini, kata dia, berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah yang berdampak pada pelaksanaan pemilu. Ia mencontohkan seperti dana bansos yang melonjak, dugaan pengerahan aparat desa, aparatur sipil negara, hingga aparat keamanan dan juga dugaan keterlibatan Presiden selama pemilu.

Menurut Firman, jika hak angket tidak disetujui, hal ini hanya menjadi ajang untuk menyampaikan pembuktian-pembuktian adanya pelaksanaan pemilu yang bermasalah. Namun, jika anggota dewan setuju untuk meneruskan ke hak berpendapat, ini berpotensi berujung pada pemakzulan presiden.

“Namun hal ini sulit dan tidak semua fraksi menghendaki adanya pemakzulan presiden,” tuturnya kepada Forum Keadilan, Selasa 5/3.

Potensi Pemakzulan Presiden

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menyebut, hak angket tidak akan memberikan dampak signifikan secara hukum. Apalagi, penyelidikan yang dimaksud dalam hak angket bukan penyeldikan sebagaimana lazimnya proses hukum.

Pria yang akrab disapa Castro menyatakan bahwa hak angket bisa memberikan jalan kepada hak pendapat yang berujung pada pemberhentian presiden.

“Tapi (angket) bisa menjadi jalan pembuka bagi pelaksanaan hak menyatakan pendapat yang bisa berujung pemakzulan kepada presiden. Tentu dengan hitungan matematis peta kekuatan suara di parlemen,” ucap Castro kepada Forum Keadilan, Selasa 5/3.

Hak menyatakan pendapat baru dapat terlaksana apabila mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR dan dihadiri paling sedikit sebanyak 2/3 dari total anggota. Keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/2 dari jumlah anggota DPR yang hadir.

Jika DPR menerima usul hak menyatakan pendapat, maka DPR baru membentuk panita khsus (pansus) yang terdiri dari seluruh unsur fraksi. Namun, jika tidak diterima, usul tersebut tidak bisa diajukan kembali.

Pada Pasal 213 ayat 2 UU MD3, jika dalam rapat paripurna DPR menerima laporan dari pansus yang menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maka DPR akan menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan.

Apabila MK memutus bahwa pendapat DPR terbukti, maka Dewan akan menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada presiden atau wakil presiden kepada MPR

Meski begitu, Castro mengatakan bahwa dengan digulirkannya hak angket tidak akan mempengaruhi hasil pemilu. Hal ini, kata dia, karena domain angket bukan pada wilayah hasil, melainkan pada kewenangan kekuasaan eksekutif.

Namun dia menggarisbawahi bahwa angket dapat memberikan implikasi politik, terutama pada citra buruk bagi Pemerintahan Jokowi, sekaligus menciptakan ketidakstabilan politik bagi pemerintahan selanjutnya. Alhasil, ada upaya-upaya yang dilakukan partai pendukung Prabowo-Gibran untuk menahan laju pelaksanaan angket.

Firman pun setuju jika hak angket ini terealisasikan dan bukan hanya sebatas wacana belaka, hal ini akan menunjukan bahwa DPR telah menjalankan fungsi pengawasannya terhadap pemerintah dengan semestinya.

“Saya setuju hak angket ini direalisasikan, karena ini pertanda fungsi pengawasan DPR berjalan. Kontrol berfungsi sebagaimana mestinya, dan itu akan menjadi asupan dan gizi yang sehat bagi demokrasi kita,” pungkasnya.

Sumber: forumkeadilan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *