Nasib Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk, Quo Vadis?

Nasib Demokrasi Indonesia
Jokowi dan Prabowo
banner 400x400

Sederhananya, dalam analisis demokrasi illiberal, mekanisme demokrasi nampak bekerja, seperti ada kebebasan pers, kebebasan sipil yang meluas, pemilu berkala, namun struktur ekonomi politik yang bekerja adalah untuk kepentingan akumulasi kapital karena adanya relasi atau aliansi kekuasaan ekonomi politik di antara penguasa dan pengusaha.

Akibatnya, terjadi marjinalisasi dan atau ekslusi terhadap kelompok-kelompok rentan. Namun, fenomena belakangan yang terjadi, menunjukkan kemunduran yang nyata dan telanjang, yang artinya pelabelan “demokrasi” terhadap sistem yang bekerja sekarang patut kita pertanyakan ulang, dan bahkan sekalipun pelabelan demokrasi tersebut dalam arti minimalis, illiberal dan sebagainya.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Lalu label apa yang lebih cocok untuk rezim yang bekerja saat ini? Menurut hemat penulis, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ada gejala dan atau indikasi yang menunjukkan kita sudah mengarah dan atau bahkan mempraktikkan apa yang disebut sebagai rezim otoriterisme kompetitif.

Dalam rezim otoriterisme kompetitif, sebagaimana yang dijelaskan oleh Levitsky dan Way (2002), bahwa meski oposisi bisa mengikuti pemilu dan bisa saja pertarungannya berlangsung sengit, akan tetapi petahana bisa melakukan kecurangan, melecehkan oposisi, dan membuat peliputan media yang bias.

Secara teoretik, penyebutan demokrasi minimalis dan atau konvensional pun, yang bila kita mengacu pada teori standar Schumpetarian sudah tidak memadai lagi. Schumpter menyebut bahwa pertararungan politik harus didasarkan pada fairness, yang bila kita tafsirkan lebih lanjut, selama pertarungan politik berlangsung, instrumen-instrumen kekuasaan tidak boleh digunakan untuk mempertahankan ataupun memperluas kekuasaan.

Sementara kita tahu, kontestasi kemarin ada masalah-masalah seperti personalisasi bantuan sosial yang sistemik dan masif, dan sebelumnya independensi dan otonomi lembaga peradilan, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi pun sangat diragukan seiring ketuanya yang juga masih kerabat presiden memiliki andil atas diloloskannya aturan yang memungkinkan Gibran, sang anak presiden aktif yang sebelumnya tidak memenuhi kualifikasi untuk maju tapi kemudian bisa mengikuti kontestasi.

Bila kita melihat pada putusan MK yang sangat kontroversial itu saja, dan bila kita mengacu pada landasan konseptual yang lain dalam menilai kualitas demokrasi, semisal Larry Diamond dan Leonardo Molino dalam “Assesing the Quality of Democracy” (2004), maka aspek prosedural demokrasi pun tidak terpenuhi.

Aspek prosedural demokrasi mensyaratkan rule of law, akuntabilitas dan lain sebagainya. Dan sekali lagi, putusan MK di atas jelas menciderai independensi lembaga peradilan yang sarat akan nuansa kepentingan politik, itu artinya ada noda hitam dalam rule of law maupun akuntabilitas lembaga yang bersangkutan.

Otoriterisme kompetitif pun bisa dilihat dengan gaya politiknya Pak Jokowi yang sangat taktis dalam mengonsolidasikan kekuasaan. Selama pemerintahannya, terlebih lagi dalam periode keduanya, gaya akomodatifnya dan atau bahkan hyperpragmagtisnya membuat opoisisi terutama di lembaga formal (seperti di DPR) nyaris tidak terlihat. Akibatnya, checks and balances yang menjadi keharusan dalam demokrasi pun tidak berjalan. Dan gaya berpolitik ini bisa kita sebut sebagai pelecehan terhadap pentingnya keberadaan oposisi dan keharusan check and balances.

Dan nampaknya, gaya berpolitik yang diwariskan oleh Pak Jokowi akan terus berlanjut. Hal ini juga yang menguatkan hipotesis saya bahwa kita perlu mempertimbangkan untuk menanggalkan penyebutan demokrasi terhadap rezim yang bekerja sekarang, dan mulai menggunakan “otoriterisme kompetitif”.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar