Hikmah Pagi: Pandangan Syariah Terhadap Waria dan Sanksinya

Pandangan Syariah Terhadap Waria
Pandangan Syariah Terhadap Waria

Hajinews.co.id – Dalam Islam dijelaskan ada dua kategori dalam golongan waria atau banci. Definisi ini berangkat dengan hadis shahih Imam al-Bukhari:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَقَالَ: «أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ» قَالَ: فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَنًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا

Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah. Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusir si Fulan, sedangkan Umar mengusir si Fulan

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Lantas bagaimana tinjauan atau aturan syariat tentang kedudukan waria dalam kehidupan sehari-hari ini? Menurut Ustaz Sufyan bin Fuad Baswedan, MA dalam tulisan dakwahnya di almanaj, jika yang bersangkutan adalah waria alami, maka ia sah menjadi imam salat. Dan ia tetap diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sikap banci-nya secara kontinyu dan bertahap. Bila ternyata belum bisa juga, maka tidak ada celaan baginya.

Adapun jika ia pura-pura banci, maka ia dianggap fasik, dan orang fasik hukumnya makrûh menjadi imam menurut ulama Hanafiyah, Syâfi’iyah, Zhâhiriyah, dan salah satu riwayat dalam mazhab Mâliki.

Adapun menurut Ulama Hanabilah dan Mâlikiyah dalam riwayat lainnya, orang fasik tidak sah menjadi imam salat. Ini didasarkan pendapat Imam az-Zuhri rahimahullah yang mengatakan, “Menurut kami, tidak boleh salat bermakmum di belakang laki-laki banci, kecuali dalam kondisi darurat yang tidak bisa dihindari lagi”, sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-Bukhâri.

Bolehkah Seorang Banci Memandang Wanita Ajnabiyah?Dijelaskan Ustaz Sufyan, masalah ini tak lepas dari dua kondisi; Pertama, orang banci tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita. Dalam kondisi seperti ini tidak ada khilaf diantara para Ulama bahwa ia diharamkan dan termasuk perbuatan fasik.

Kedua, ia seorang banci alami yang tidak memiliki kecenderungan terhadap wanita. Maka ada dua pendapat dalam hal ini:

Ulama Mâlikiyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah memberi rukhsah baginya untuk berada di tengah kaum wanita dan memandang mereka. Dalilnya ialah firman Allâh Azza wa Jalla ketika menjelaskan siapa saja yang boleh melihat wanita, dan siapa saja yang kaum wanita boleh berhias di hadapannya, yaitu :

أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الِإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ

… atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak bersyahwat (terhadap wanita)…[20]

Ulama Syâfi’iyah dan mayoritas Hanafiyah, berpendapat bahwa lelaki banci meskipun tidak bersyahwat terhadap wanita, tetap tidak boleh memandang kepada wanita. Dalam hal ini ia tetap dihukumi sebagai lelaki normal.

Dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah Radhiyallahu anha berikut :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَفِي الْبَيْتِ مُخَنَّثٌ، فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ أَخِي أُمِّ سَلَمَةَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، إِنْ فَتَحَ اللَّهُ لَكُمْ غَدًا الطَّائِفَ، فَإِنِّي أَدُلُّكَ عَلَى بِنْتِ غَيْلَانَ؛ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ! فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُنَّ

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersamanya dan saat itu di rumahnya terdapat seorang banci. Maka si banci tadi berkata kepada Abdullâh saudara Ummu Salamah Radhiyallahu anha, “Hai Abdullâh, jika besok Allâh Azza wa Jalla menaklukkan kota Thâif bagi kalian; maka akan kutunjukkan kepadamu puteri Ghailân yang dari depan menampakkan empat lipatan sedangkan dari belakang terlihat delapan!”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sekali-kali mereka (orang-orang banci itu) masuk ke tempat kalian (kaum wanita)”.

Akan tetapi hadits ini menunjukkan bahwa banci yang dilarang untuk masuk ke tempat wanita adalah banci yang memiliki kecenderungan (bersyahwat) terhadap wanita, sebab ia bisa menceritakan keindahan tubuh wanita yang pernah dilihatnya kepada lelaki ajnabi (bukan mahramnya). Sehingga dikhawatirkan ia akan membongkar aurat wanita Muslimah bila dibiarkan keluar masuk ke tempat mereka. Adapun banci alami yang tidak bersyahwat sama sekali terhadap wanita, tidak akan melakukan hal tersebut.

Kesimpulannya, pendapat yang rajih adalah pendapat pertama yang sesuai dengan zhahir al-Qur’ân.

Sanksi Bagi Waria

Lelaki yang sengaja bertingkah seperti wanita (pura-pura banci) tak lepas dari dua keadaan:

Pertama. Orang yang sengaja bertingkah sebagai banci tanpa terjerumus dalam perbuatan keji, tergolong maksiat yang tidak ada had maupun kaffaratnya. Sanksi yang pantas diterimanya bersifat ta’zîr (ditentukan berdasarkan pertimbangan hakim), yang sesuai dengan keadaan si pelaku dan kelakuannya.

Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjatuhkan sanksi kepada orang banci dengan mengasingkannya atau mengusirnya dari rumah. Demikian pula yang dilakukan oleh para Sahabat sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Adapun ta’zir yang diberlakukan meliputi:

1. Ta’zir berupa penjara

Menurut madzhab Hanafi, lelaki yang kerjaannya menyanyi, banci, dan meratapi kematian pantas dihukum dengan penjara sampai mereka bertaubat.

2. Ta’zir berupa pengasingan

Menurut madzhab Syâfi’i dan Hambali, seorang banci hendaknya diasingkan walaupun perbuatannya tidak tergolong maksiat (alias dia memang banci asli). Akan tetapi pengasingan tadi dilakukan dalam rangka mencari kemaslahatan.[27]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Termasuk siasat syar’i yang dinyatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, ialah bahwa banci hendaknya diasingkan; sebab orang banci hanya menimbulkan kerusakan dan pelecehan atas dirinya. Penguasa berhak mengasingkannya ke negeri lain yang di sana ia terbebas dari gangguan orang-orang. Bahkan jika dikhawatirkan keselamatannya, orang banci tadi boleh dipenjara”.

Kedua. Orang banci yang membiarkan dirinya dicabuli dan disodomi. Orang seperti ini sanksinya diperselisihkan oleh para Ulama. Banyak fuqaha’ yang berpendapat bahwa ia pantas mendapat hukuman seperti pezina. Sedangkan Imam Abu Hanîfah rahimahullah berpendapat bahwa hukumannya adalah ta’zîr yang bisa sampai ke tingkat eksekusi, dibakar, atau dijungkalkan dari tempat yang tinggi. Sebab para Sahabat juga berbeda pendapat tentang cara menghukumnya.

“Karena itu kepada siapa saja yang tergolong banci, agar segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Kami nasehatkan pula agar tekun belajar ilmu syar’i yang mendorongnya untuk taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan menghindari maksiat. Kami himbau juga agar ia berteman dengan orang-orang yang baik agar mereka mendorong dan menolongnya dalam kebaikan,”pungkas Ustaz Sufyan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *