Taqdir Korona

ilustrasi wabah thaun
banner 400x400

Oleh: Dr. Muh. Nursalim

“Apakah engkau lari dari taqdir ?” tanya Abu Ubaidah bin Jarrah kepada Umar bin Khaththab

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Ya, saya lari dari taqdir Allah yang satu menuju kepada taqdir yang lain”. Jawab Umar tegas.

Lebih lanjut Amirul Mukminin itu memberi misal. “Jika ada dua lembah, satu lembah rumputnya hijau yang satu rumputnya kering. Maka jika anda menggembalakan unta di lembah yang berumput kering itu adalah taqdir. Kemudian jika berpindah ke lembah yang berumput hijau itu juga taqdir.”

Haekal dalam bukunya, Al Faruq Umar menulis satu bab khusus yang berjudul Kelaparan dan Wabah. Karya dengan tebal 867 halaman ini cukup detail menggambarkan pribadi Umar bin Khaththab. Termasuk di dalamnya, saat paling krusial dalam kepemimpinannya. Yaitu terjadinya wabah yang membunuh tidak kurang dari 25 ribu penduduk hanya dalam satu bulan.

Wabah itu terjadi di Amawas, daerah Syam. Setelah tentara Islam mengalahkan Romawi di daerah tersebut. Mereka terserang wabah yang sangat mematikan. Siapapun yang terkena pasti mati. Begitu tulis pengarang biografi tersebut.

Saat itu Umar bin Khaththab bermaksud mengunjungi Syam untuk mengurus segala sesuatu terkait daerah yang baru saja dibebaskan. Akan tetapi ketika baru sampai di Sar’ dekat Tabuk. Rombongan Amirul Mukminin diberitahu bahwa di Syam sedang terjadi wabah. Setelah bermusyawarah dengan beberapa sahabat, Umar memutukan untuk kembali ke Madinah.

Abu Ubaidah yang menjadi panglima perang bersikukuh tetap tinggal di Syam. Beliau sangat sayang dengan pasukannya. Tetapi kemudian ia terkena wabah dan wafat. Pimpinan lalu diambil alih Muaz bin Jabal, tetapi sahabat yang pernah diutus Rasulullah ke Yaman ini juga terkena wabah dan wafat. Kemudian tongkat diambil alih Amr bin Ash. Beliau kemudian membawa pasukannya menyebar naik ke puncak-puncak bukit untuk menghindari wabah.

Sejumlah sahabat top wafat terkena wabah amawas. Selain kedua panglima di atas ada lagi Yazib bin Abi Sufyan, Haris bin Hisyam, Suhail bin Amr dan Utbah bin Suhail. Bahkan 40 anak Khalid bin Walid semua wafat terkena wabah. 70 anggota keluarga Haris bin Hisyam yang dibawa dari Madinah hanya tersisa empat.

Wabah itu tidak mengenal korban. Mukmin maupun kafir sama saja. Jika mereka berada pada posisi rentan penularan maka akan terkena juga. Tidak peduli sedang di tempat ibadah atau tempat maksiat.
Korona juga begitu.

Pada awal penyebarannya di Wuhan, banyak diantara kita memberi kutukan. “Mampus kau China, ini balasan Allah karena kalian menindas kaum muslim Uighur. Lalu ketika merambah Iran, muncul juga kutukan. “Mampus kau kaum Syi’ah, ini akibat kalian membantai muslim sunni di Suriah”. Kemudian ketika meloncat ke Arab Saudi tak kurang pedasnya, “Mampus kau Pangeran Muhammaad bin Salman, ini akibat Anda melakukan liberalisasi agama di Arab Saudi”. Terus ketika menyebar di Indonesia, muncul kalimat, “Ini karena pemimpin dari hasil pemilu yang curang”.

Bukan. Bukan karena itu semua penyebab korona menjadi wabah di sebuah wilayah dan mengenai warganya. Tetapi, meminjam logika Umar. “Karena mereka berada di lembah yang berumput kering”. Padahal ada lembah hijau yang menyelamatkan.

Di medsos, beredar fatwa Syeikh Ahmad al-Kury dari Mauritania. Menjawab pertanyaan, “Bolehkah kaum muslimin meninggalkan sholat jama’ah dan shalat jum’ah untuk menghindaari virus korona.?”

Inti jawabannya, tidak boleh.

Dengan sejumlah argumen. Diantaranya adalah, pertama virus itu karena kemaksiatan hambanya. Kedua, kita itu beriman dengan qodho dan qodar. Dengan kata lain, terkena virus atau tidak itu taqdir Allah.

Logika Syeikh Al Kury itu sama persis dengan yang disampaikan Abu Ubaidah bin Jarrah. Menurut sahabat kenamaan ini, wabah amawas menyebar akibat dari perilaku kaum muslimin yang melanggar syari’ah.

Seperti diceritakan Haekal. Setelah meraih kemenangan dan berhasil merebut Syam dari tentara Heraklius, banyak tentara muslim yang minum minuman keras. Mereka sudah diingatkan berkali-kali oleh sang panglima tetapi tidak mau berhenti. Bahkan sampai beliau berkirim surat kepada Amirul Mukminin di Madinah. Agar Umar memberi hukuman kepada para pelanggar syari’ah.

Abu Ubaidah juga percaya dengan qadha dan qadar secara fatalistik. Jika Allah menghendaki kena wabah ya akan kena, jika tidak ya tidak. Karena itu walaupun Umar bin Khaththab membujuknya agar meninggalkan Syam, beliau tidak bersedia. Ia tetap tinggal bersama tentaranya di tengah-tengah wabah yang sedang merajalela.

Umar menangis ketika mendengar berita Abu Ubaidah bin Jarrah wafat. Terkena wabah amawas. Tetapi Amirul Mukminin tidak mencela keputusan sang panglima yang gagah berani itu. Berani melawan tentara Romawi juga berani melawan wabah, meskipun akhirnya ia wafat. Kalah melawan wabah.

Sejumlah pesantren saat ini melakukan lockdown. Isolasi total dari dunia luar. Pondok Gontor melarang santri dan gurunya keluar komplek. Juga malarang kunjungan dari para wali. Bahkan juga melarang pengiriman paket. Sampai batas waktu yang belum ditentukan. Pondok Ngruki Solo juga melakukan kebijakan sejenis. Langkah seperti itu juga dijalankan oleh ponpes Arwaniah Kudus. Dan juga sejumlah pesantren lain.

Para kyai dan pengasuh pondok pesantren itu sangat paham akan taqdir. Mereka mengikuti logika Umar, lari dari taqdir Allah yang satu menuju kepada taqdir yang lain. Jika ada lembah berumput hijau mengapa mesti ke lembah yang gersang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *