IGNAS KLEDEN: Postcript Sebuah Kesungguhan Intelektual

Ignas Kleden
Ignas Kleden

Tulisan itu, katanya, seperti menjanjikan hal-hal yang istimewa, seakan mau mengajak pembacanya menikmati steak yang enak, tapi ternyata hanya menyajikan makanan sehari-hari yang biasa saja.

Ketajamannya dalam mengidentifikasi pemikiran orang, dengan bahasa Indonesia yang sangat baik, tak tertara. Ia menulis pengantar panjang yang sangat bagus untuk antologi Soedjatmoko (“Etika Pembebasan”, LP3ES, 1984). Baginya, seluruh kerja intelektual Soedjatmoko bertumpu pada martabat manusia, dan dapat dirangkum dalam dua kata: otonomi dan kebebasan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Ia dengan gemilang mempertanggungjawabkan klaim itu, dengan secara konsisten menunjukkan dua pokok ide tersebut dalam begitu banyak tulisan Soedjatmoko yang tersebar di jurnal maupun sumbangan artikel di buku-buku yang kebanyakan disunting sarjana lain dan diterbitkan di luar negeri, selain tulisan-tulisan editorial di mingguan “Siasat” milik Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Soedjatmoko di tahun 1950an.

Temuannya seperti menjawab kebingungan Arief Budiman dalam menghadapi lanskap luas pemikiran Soedjatmoko, setidaknya yang terhimpun dalam antologi “Dimensi Manusia dalam Pembangunan” (LP3ES, 1981). Dalam resensi atas buku itu di majalah Tempo, Arief mengeluh bahwa ia gamang menghadapi Soedjatmoko. “Ia seperti melukis di kanvas besar, dengan sapuan-sapuan kuas yang juga besar-besar,” tulis Arief.

Maksud Arief: sebagai pemikir Soedjatmoko tidak menganut suatu mazhab atau pendekatan tertentu seperti lazimnya para sarjana di kancah ilmu-ilmu sosial, sehingga orang kesulitan untuk melacak dan menggeledah pikirannya.

Ignas Kleden menyanggahnya dan mengajukan dua kata kunci itu (otonomi dan kebebasan), sambil menunjukkan bahwa Soedjatmoko tampaknya banyak terpengaruh oleh Karl Jaspers, seorang psikiater-filosof Swiss-Jerman.

Ia juga menulis pengantar panjang yang kuat untuk kumpulan “Catatan Pinggir 2” karya Goenawan Mohamad (1989) — sebuah tinjauan brilian yang sangat mungkin tidak disukai penulis bukunya karena ulasannya yang tajam dan sulit dibantah.

Baginya, meskipun Goenawan menebar begitu banyak tema dalam esai pendek yang terbit setiap minggu di majalah Tempo itu, untuk memahaminya (tapi terutama memahami sikap dan gaya, bukan substansinya), pertama-tama Goenawan harus dilihat sebagai wartawan, dan kedua sebagai penyair.

Konsekuensi dari kedua predikat itu terlihat jelas pada pendekatan jurnalistisnya — yang serba sekilas dan terpotong-potong — dalam menangani isu apapun, dan pada semangat artistiknya dalam membahas isu apapun. Sikap Goenawan, katanya, tidak pernah jelas dalam hampir semua masalah, kecuali dalam soal kebebasan.

Sebab kedua profesi itu, wartawan dan penyair, sangat mementingkan kebebasan sebagai prasyarat — tapi tentang ini pun tidak ada elaborasi yang memadai yang ditawarkan Goenawan, berbeda dari semua isu lain yang disentuhnya, yang selalu ditandai dengan tendensi philosophizing; seakan-akan kebebasan tak memerlukan bahasan filosofis lagi karena sudah sangat jelas manfaatnya bagi manusia/warganegara.

Terhadap obsesi Goenawan pada keindahan bentuk, pada ketekunannya mendekorasi kalimat atau merumuskan proposisi ide dengan elan artistik khas penyair, Ignas berkomentar: Goenawan menebar begitu banyak kembang dalam esai-esainya, tapi susah ditebak apa jenis tanamannya.

Dengan kata lain: keluhan Ignas terhadap Goenawan Mohamad mirip keluhan Arief Budiman tentang Soedjatmoko, yaitu ketiadaan disiplin metodologis pada keduanya.

Esai-esai pendek Goenawan itu, setidaknya bagian-bagiannya, menurut Ignas, tidak dimaksudkan oleh penulisnya sebagai pernyataan diskursif yang bisa didiskusikan, melainkan sekadar cetusan keluar dari suatu perenungan batin yang intim.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *