Rahasia Ustad Abdul Somad Jadi Dai Kondang, Kesaksian Netizen

Ustadz Abdul Somad (dok)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id,- Tanggal 12 November 2019 yang lalu saya menghadiri Tablig Akbar di  Lapangan Merdeka Kota Sungai Penuh, Jambi.  Penceramahnya, Dai Kondang Ustadz Abdul Somad (UAS).

Acara itu dilaksanakan dalam rangka ulang tahun kota Sungai Penuh ke 11 sekaligus peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW  ke 1441.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Luar biasa. Ribuan umat Muslim memadati  area.  Bahkan membludak sampai ke jalan raya.

Jamaah berasal dari seluruh pelosok kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci. Tidak sedikit pula dari daerah tetangga Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu.

Saya dan cowok gantengku tidak kebagian tempat.  Padahal, Pukul  06.40  kami sudah berada di lokasi. Tiada pilihan, selain mendengar dari luar arena.

Menunggu kedatangan UAS jamaah sanggup berjemur di terik matahari.  Pukul  09.00 WIB, didampingi Wali Kota Sungai Penuh H. Asafri Jaya UAS dan rombongan  memasuki alun-alun.

Sontak,  pengunjung antusias  ingin mendekat  untuk bersalaman dan berswafoto.

Soal ceramah, subtansinya  lebih dapat melalui tontonan di youtube, ketimbang bertatapan dengan sosok UAS-nya. Namun, rasa penasaran lebih terjawab saat  melihat langsung figurnya.  Walaupun dari jarak kurang lebih 100 meter.

Sejatinya, materi dakwah yang disampaikan UAS  persis sama dengan kajian penceramah terkenal lainnya. Bahkan dengan beliau-beliau yang biasa bertaustiah di Musala dan Masjid desa.

Lalu apa yang membuat UAS begitu lengket di hati pengagumnya?

Kuncinya, selain ilmu agamanya banyak, Ustadz Abdul Somad (UAS) dikaruniai volume suara yang lantang dalam berdakwah. Nada dan gaya bicaranya enak. Bahasanya  sederhana dan komunikatif (mudah dipahami). Sesekali diselingi guyonan ringan. Sehingga apapun yang disampaikanya selalu menarik dan mengena. Ini menurut saya. Mudah-mudahan saya tidak keliru.

Apakah dai bersuara lembut (kurang lantang),  ceramahnya tidak disukai publik? Tidak juga. Perhatikan Ustadz KH Abdullah Gymnastiar (AA Gym). Justru beliau tak perlu mekak-mekik dalam berorasi. Aa Gym juga berhasil mencuri hati penggemarnya.

Maaf, bukan berarti saya menyepelekan keberadaan ustadz lain. Terutama peran  mereka dalam membina umat. Setiap pendakwah   memiliki kelebihan dan kekurangan.  Mereka punya langgam tersendiri dalam mengkomunikasikan gagasannya kepada publik, yang  tak bisa ditiru-tiru.

Mereka juga punya tempat di hati pengagumnya masing-masing.   Ini adalah sunatullah yang tidak bisa dibantah.

Katakanlah, masa sekarang UAS adalah dai idola banyak orang. Tetapi tidak sedikit pula yang kurang cocok dengan selera pemirsa. Ngomongnya terlalu cepat lah, terlalu ceplas-ceploslah, terlalu keraslah.

Selain itu, yang paling banyak dipersoalkan publik adalah kajian/pernyataannya yang cendrung kontroversial. Sehingga menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Karena dikhawatirkan akan mencemari rasa kebhinekaan.

Tak heran saat akan berdakwah, UAS juga mendapat penolakan oleh sejumlah pihak. Hal serupa hampir tidak dialami oleh dai lainnya yang, maaf, mungkin  belum semasyhur Ustadz  Abdul  Somad.

Terlepas dari itu, diakui atau tidak UAS  ditakdirkan lahir sebagai dai tersohor. Dia dikaruniai bakat berbicara khusus yang tidak bisa ditiru-tiru. Namanya dikenal luas, baik di dalam maupun di luar negeri.

Sebagai pembanding, saya ingin sedikit berbagi tentang karakter  dua pendakwah berikut ini.

Saya punya kenalan jebolan salah satu perguruan tinggi di Arab sana. Ilmu agamanya  tinggi. Ketika diminta berceramah, suaranya lembek, banyak jemaah yang mengantuk.

Sebaliknya sahabat yang lain lulusan Universitas Terbuka. Tetapi saat berpidato/berceramah, volume suaranya menggema seperti  orang berilmu tinggi. Sehingga dia berhasil mencuri perhatian audiensnya.

Kini dia menjadi salah satu penceramah yang terbilang masyhur di kabupaten kami. Padahal pengetahuan agamanya sekadar membaca buku, ditambah menuntut di taklim desa. Sementara Ustadz tempatnya berguru, buat mengisi mauludan/ israk musala desa  saja nyaris tidak dilirik.

Di sini terlihat jelas, sukses tidaknya seseorang dalam mentransfer ilmunya, bukan sepenuhnya tergantung pada “apa” yang dia katakan. Yang terpenting bagaimana “cara” dia mengatakannya.

Terakhir, apakah keseharian Anda adalah berinteraksi dengan publik karena tuntutan profesi? Kalau iya, apakah pesan yang Anda sampaikan sudah dimengerti dan disambut antusias oleh audiens. Kalau belum, mungkin  cara berkomunikasi Anda yang perlu dievaluasi. (Nursini rais/Kompasiana)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *