UAS Berikan Mut’ah 50 Juta Kepada Melly Juniarty, Ini Hukumnya

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, hajinews.id,- Putusan perceraian Ustadz Abdul Somad (UAS) dengan Mellya Juniarti telah selesai diketuk Pengadilan Agama, Kampar, Riau.

Berdasarkan hukum yang berlaku merujuk pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam hal perceraian Ustadz Abdul Somad, yang bersangkutan wajib membayar uang mut’ah. Diputuskan jumlahnya senilai Rp50 juta. Sebagaimana diketahui apabila suami menalak istrinya, maka wajib membayar uang mut’ah.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ustadz Abdul Somad berdakwah

Jumlah tersebut melingkupi tiga bagian, yakni mut’ah, iddah dan kiswah dan masing-masing memiliki jumlah berbeda. Di antaranya mut’ah Rp 30 juta, iddah Rp 15 juta, kiswah Rp 5 juta.

Lalu, apa sebenarnya pengertian uang mut’ah, iddah dan kiswah?

Pengurus Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Masjid Agung Sunda Kelapa Ustadz Agustin Amirudin, mengatakan, nafkah mut’ah merupakan pemberian seorang suami kepada istri yang ditalaknya.

“Pemberiannya berupa uang atau barang sesuai dengan kemampuan suami,” katanya (Okezone, 13/12/2019).

Kemudian, iddah adalah kewajiban suami memberi nafkah kepada istrinya yang ketika masa iddah dan dalam talak bain. Berbeda denga iddah, uang kiswah merupakan pemenuhan kebutuhan pakaian istri yang telah ditalaknya. Semua itu hukumnya wajib.

Sementara itu, dikutip dari situ NU Online, secara bahasa Mut’ah artinya kesenangan. Hal ini merujuk pada pandangan Imam Syafii, berarti istilah penyebutan harta benda yang wajib diberikan suami yang telah menceraikan istrinya.

الْبَابُ الْخَامِسُ فِي الْمُتْعَةِ — هِيَ اسْمٌ لِلْمَالِ الَّذِي يَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ دَفْعُهُ لِامْرَأَتِهِ بِمُفَارَقَتِهِ إيَّاهَا

Artinya: “Bab kelima tentang mut’ah. Mut’ah adalah nama untuk menyebut harta-benda yang wajib diberikan seorang (mantan) suami kepada (mantan) isterinya karena ia menceraikannya” (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarhu Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, 3, h. 319).

Jika dilihat penjelasan di atas, maka dalam madzhab Syafii pemberian mut’ah hukumnya wajib. Namun ada pengecualian, tidak semua cerai mendapat mut’ah. Misalnya dalam kasus cerai mati. Seorang istri ditinggalkan suaminya meninggal dunia, sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syarf an-Nawawi:

اَلْفُرْقَةُ ضَرْبَانِ فُرْقَةٌ تَحْصُلُ بِالْمَوْتِ فَلَا تُوجِبُ مُتْعَةً بِالْإِجْمَاعِ

“Perpisahan itu ada dua macam, pertama perpisahan yang terjadi sebab kematian. Maka dalam kasus ini menurut ijma’ para ulama tidak mewajibkan memberikan mut’ah” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Raudlah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Bairut-al-Maktab al-Islami, 1405 H, juz, 7, h. 3, h. 319).

(ful)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *