JAKARTA, hajinews.id – Pengusutan dugaan pidana yang melilit PT Asuransi Jiwasraya (Persero) diakui Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani bukan perkara yang mudah.
Keduanya blak-blakan memandang skandal perusahaan asuransi milik pemerintah itu sebagai persoalan yang sangat besar dan sangat serius.
Jaksa Agung ST Burhanudin juga menyebut kerugian yang dialami Jiwasraya sangat besar, mencapai lebih dari Rp 13,7 triliun. Artinya, kasus Jiwasraya merupakan skandal yang lebih besar ketimbang kasus Bank Century yang merugikan negara Rp 7,4 triliun.
Burhanudin pun mengingatkan, potensi kerugian sebesar Rp 13,7 triliun itu hanya perkiraan awal, dan diduga ini akan lebih dari itu.
Setelah sebanyak 89 orang saksi diperiksa untuk mengungkap kasus dalam perusahaan asuransi pelat merah itu, Burhanuddin mengatakan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak masih akan berlanjut, termasuk di antaranya yang akan diperiksa adalah mantan direksi PT Asuransi Jiwasraya. Kejagung sendiri harus mengerahkan tim berisi 16 jaksa untuk mengusut kasus ini.
Tak hanya ke ranah pidana, baik Jokowi, Sri Mulyani, maupun Burhanuddin, melihat kasus Jiwasraya ini dari semua segi. Dengan demikian juga ada dugaan pelanggaran dari sisi tata kelola perusahaan atau keputusan yang bersifat perdata.
Bakal sulitnya membongkar skandal Jiwasraya hingga tuntas diakui oleh mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu. Dia mengaku pesimistis masalah ini bisa dibongkar secara tuntas. Menurut Said setidaknya ada lima alasan yang menguatkan rasa pesimisnya itu.
“Pertama jumlahnya sangat besar. Kedua, terjadi saat puncak agenda politik,” tutur Said Didu.
Sementara alasan selanjutnya, karena salah satu mantan direksi yang diduga sebagai orang yang mengetahui banyak soal keuangan Jiwasraya merupakan orang dekat Istana alias pemerintah.
Pernyataan Said Didu ini seperti menjurus pada eks Direktur Keuangan Jiwasraya, Harry Prasetyo yang pernah membantu Moeldoko di periode pertama pemerintahan Jokowi.
Harry sempat menjabat sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian III bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Ekonomi Strategis di KSP.
Alasan keempat, Said Didu ragu dengan penegakan hukum Indonesia yang sedang dalam kondisi terpuruk dan cenderung tebang pilih. “Kelima, DPR sangat mudah diarahkan,” tegasnya singkat. (rah/rmol/pojoksatu)