2020 Ekonomi Indonesia Berat. Bahkan Berat Sekali

Ekonomi global bermasalah, semua melambat. (Foto: CNBCIndonesia)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Tahun 2020 sudah di depan mata. Sulitnya perekonomian global dan juga Indonesia di sepanjang 2019 ini masih akan terus menghantui di tahun depan. Ekonomi Indonesia pada 2020 diprediksi bakal berat, bahkan akan berat sekali, melebihi beratnya di 2019.

Dana Moneter Internasional (IMF)  telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 0,1 persentase poin menjadi 3,2%. IMF juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 menjadi hanya 3,5% saja.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Masuk ke regional, Bank Dunia atau The World Bank meramalkan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang turun ke level terendah dalam empat tahun sebesar 4% pada 2019. Dari semua itu poinnya, ekonomi global bermasalah. Semua melambat!

Sejumlah negara berupaya mengatasi dampak tekanan finansial dan ketidakpastian politik, termasuk Indonesia. Hambatan tersebut membuat pertumbuhan perdagangan global juga menjadi yang terlemah pada 2019 sejak krisis keuangan satu dekade yang lalu.

Perang dagang menjadi masalah utama saat ini. China dan AS sebagai dua kekuatan ekonomi dunia tengah ‘berperang’. Hal ini membuat negara lain mendapatkan sentimen buruk dalam proses ekspor-impor.

Sementara hampir setiap ekonomi menghadapi angin sakal karena perang dagang tersebut, negara-negara termiskin menghadapi tantangan yang paling menakutkan karena kerapuhan, isolasi geografis, dan kemiskinan yang mengakar.

Indonesia Loyo, Data Tak Bisa Bohong

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2019 berada di level 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY). Hal ini diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (5/8/2019).

Angka pertumbuhan tersebut jauh melambat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (kuartal II-2018) yang sebesar 5,27% YoY. Ini juga merupakan laju pertumbuhan ekonomi yang paling kecil sejak kuartal II-2017.

Berdasarkan data BPS, sudah sejak kuartal II-2018, perekonomian RI berada dalam tren perlambatan. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi kali ini mendapat hambatan dari komponen Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTB). Pasalnya, pertumbuhan PMTB di kuartal II-2019 hanya sebesar 5,01% YoY, atau jauh lebih lambat dibanding pada kuartal II-2018 yang mencapai 5,85% YoY. Perlambatannya sebesar 0,84 persentase poin.

Bahkan, hanya bangunan saja yang tercatat mengalami kenaikan pertumbuhan, dari 5,02% YoY (kuartal II-2018) menjadi 5,46% YoY (kuartal II-2019). Hal itu terjadi karena maraknya proyek pembangunan infrastruktur di beberapa daerah. Sisanya melambat atau terkontraksi.

Kontraksi paling dalam terjadi pada barang modal jenis Peralatan Lainnya, yaitu sebesar 0,65% YoY. Padahal pada kuartal II-2018, komponen ini masih bisa tumbuh hingga 7,21%.
Sementara itu barang modal jenis kendaraan juga terkontraksi sebesar 0,04% YoY, berbalik arah dari kuartal II-2018 yang mana mampu tumbuh hingga 8,01%.

Penurunan pertumbuhan barang modal jenis kendaraan juga dipengaruhi oleh angka penjualan kendaraan yang lesu sepanjang kuartal II-2019. Penjualan mobil terkontraksi lebih dari 10% YoY pada periode tersebut. Perlu diketahui bahwa komponen PMTB erat kaitannya dengan investasi dan ekspansi usaha.

Masalah Krusial Indonesia

Masalah terberat bagi Indonesia saat ini adalah memaksimalkan pembangunan infrastruktur secara masif yang sudah dieksekusi di era Jokowi. Semenjak mengambil tampuk kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014 silam, Jokowi rajin menggenjot pembangunan infrastruktur. Hal ini terlihat jelas dari alokasi dana dalam APBN/APBNP untuk bidang infrastruktur yang terus menggelembung di era kepemimpinannya.

Pada 2014, pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp 154,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Ingat, anggaran untuk 2014 masih disusun oleh SBY dan bukan Jokowi lantaran Jokowi baru menjabat pada Oktober atau hanya beberapa bulan sebelum tutup tahun. Pada 2015 kala anggaran sudah disusun oleh Jokowi, alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur melejit hingga 65,5% menjadi Rp 256,1 triliun. Pada tahun-tahun berikutnya, anggaran pembangunan infrastruktur terus meningkat.

Selain anggarannya yang besar, pembangunan infrastruktur yang dieksekusi Jokowi juga terbukti tak Jawa-sentris. Sayangnya, pembangunan infrastruktur nan-megah di era Jokowi tak bisa diterjemahkan menjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, kalau keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.

Melansir data Refinitiv, pada 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.

Kalau dibilang Indonesia terdampak perlambatan ekonomi global, sejatinya hal itu memang benar. Namun yang menjadi masalah, kala perekonomian global membaik, pertumbuhan ekonomi Indonesia, ya segitu-gitu saja.

Pada 2017, IMF mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,789% (dari yang sebelumnya 3,372% pada tahun 2016), menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011. Jika dihitung, pertumbuhan ekonomi global dari tahun 2016 ke tahun 2017 mengalami lonjakan sebesar 0,42 persentase poin. Di sisi lain, tambahan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode yang sama (2016 ke 2017) hanya sebesar 0,05 persentase poin, dari 5,02% menjadi 5,07%. Terlihat jelas bahwa perekonomian Indonesia tak bisa memanfaatkan momentum yang ada kala perekonomian global melaju dengan pesat.

Deindustrialisasi menjadi penyebab perekonomian Indonesia jalan di tempat kala pembangunan infrastruktur sudah begitu dikebut. Di era kepemimpinan Jokowi, sektor manufaktur (industri pengolahan) terus saja tumbuh melambat. Untuk diketahui, sektor manufaktur merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.

Kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) masih yang terbesar, yaitu sekitar 20% (per tahun 2018). Namun, dari tahun ke tahun tulang punggung ini seakan terserang osteoporosis, begitu rapuh, begitu renta, dan daya topangnya semakin menurun.

Selain karena deindustrialisasi, masalah lesunya penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) juga menghambat laju perekonomian Indonesia di era kepemimpinan Jokowi. Minimnya insentif perpajakan serta kebijakan maju-mundur yang acap kali kita lihat di era Jokowi menjadi faktor yang melatarbelakangi lesunya PMA.

Kata Mereka Ekonomi Berat

CNBC Indonesia mengumpulkan beberapa jawaban dari pernyataan yang sama kepada beberapa analis, pengamat ekonomi, hingga CEO.

“Menurut Bapak/Ibu apa ekonomi kita saat ini berat dan penuh tantangan?”

Ini jawabannya:

Direktur Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah:

Hampir semua negara saat ini menghadapi tantangan yang sama beratnya, yaitu ekonomi dan pasar keuangan global yang semakin sulit diprediksi arahnya. Oleh karena itu pertahanan pertama adalah menjaga stabilitas, tetapi pada saat yang sama perlu memanfaatkan ruang (policy space) untuk memitigasi dampak perlambatan ekonomi global melalui peningkatan stimulus dari moneter dan fiskal.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja:

Kalau bermain sepak bola lapangan sedang becek karea habis hujan jadi harus berhati-hati agar tidak jatuh terpeleset karena licin. Jadi saat ini tidak boleh dipaksa kredit growth yang tinggi di tengah kondisi makro yang jelek terutama karena situasi dunia yang tidak menentu, meletupnya banyak kredit macet menandakan dampak negatif bisa selalu ada pada dunia usaha jadi harus alon-alon asal kelakon.

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro:

Dari pasar finansial, ketidakpastian global yang tinggi bisa membawa dampak yang signifikan bagi perekonomian dalam negeri. Ekonomi Indonesia memang kuat secara domestik, ditopang oleh konsumsi dan investasi, namun “outlook” kedepan juga dipengaruhi dari arus modal.

Karena ketegangan geopolitik maupun perang dagang, banyak investor, atau fund manager global, yang memilih mengamankan asetnya dalam bentuk “cash” daripada menginvestasikan ke sektor riil. Perusahaan yang memiliki uang lebih tidak menginvestasikan dalam bentuk “capex”, namun memilih melakukan “buyback” saham di pasar modal. Harga aset seperti saham menjadi “overvalued”, “volatile”, dan rentan terhadap koreksi. Hal ini menimbulkan “risk-aversion” di pasar global yang kemudian menyebabkan ketatnya likuiditas ke seluruh negara, apalagi negara berkembang seperti Indonesia.

Karena porsi kepemilikan asing yang tinggi di pasar saham dan obligasi (sekitar 40%), Indonesia cukup dipengaruhi oleh sentimen eksternal. Ketatnya likuiditas dapat menyebabkan perusahaan domestik kesulitan untuk mendapatkan dana untuk mengembangkan bisnisnya. Hal ini bisa memengaruhi kondisi makro Indonesia. Pemerintah dan Bank Indonesia harus tetap waspada terhadap resiko global.

Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati:

Berat. Karena di triwulan II sebenarnya momentum atau peluang besar dan berbarengan uang harusnya dimanfaatkan pemerintah. Misalnya dopping atau amunisi, yakni ada pemilu dan lebaran. Biasanya kalau ada lebaran aja pasti tingkat konsumsi naik, apalagi ada pemilu serentak di seluruh Indonesia.

Terjadi di triwulan II-2019 semua momentum itu tapi di triwulan II-2019 kita dikejutkan dengan hasil yang melambat. Artinya kalau tidak ada amunisi itu bakal lebih menurun, sehingga kalau liat tren itu, kita secara kalkulasi dipastikan di triwulan III-2019 dan triwulan IV-2019 menurun.

Lalu, sumber-sumber pertumbuhan dalam ekonomi yang mampu sebagai penggerak selain konsumsi rumah tangga adalah investasi. Tapi justru sumber pertumbuhan dari investasi malah menurun karena investasi dan konsumsi rumah tangga sangat bergantung dengan stimulus. Tapi stimulus signifikan ke konsumsi rumah tangga ya hanya belanja pemerintah.

Memang stimulus tidak harus dari sisi belanja terutama bagaimana pemerintah relaksasi kebijakan fiskal seperti insentif. Tapi bagaimana efektifnya yang perlu kita liat. Menurut saya selama ini insentif tidak tepat.

Tantangan eksternal, datang dari perang dagang yang tidak terlihat ada tanda-tanda berhenti. Kita liat Trump dan Jinping terus saling membalas yang pastinya memberikan dampak negatif bagi negara berkembang termasuk Indonesia. Tapi tantangan lebih besar saya liat datang dari domestik.

Ekonom CORE Piter Abdullah:

Iya berat dan penuh tantangan, itu sudah pasti. Makanya menteri sekelas Sri Mulyani Indrawati saja tidak mampu mengatasinya dengan tuntas.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede:

Tentunya berat dan ya saya pikir semua negara mengalami karena memang global tidak mendukung. Memanasnya kembali tendensi dagang dan itu dampaknya sudah kita rasakan dalam dua kuartal terakhir, dimana kinerja ekspor melambat. Bahkan di semester I-2019 kemarin belum memberikan andil ke pertumbuhan ekonomi. Ekspor masih tertekan dibandingkan tahun lalu.

Sebenarnya tantangan dalam jangka pendek bagaimana menghadapi dan mengantisipasi perang dagang saat di sisi lain tetap berupaya tumbuhkan investasi untuk gerakkan pertumbuhan ekonomi.

Tapi saya pikir shocknya lebih besar dari eksternal yaitu trade war. Kalau dari dalam negeri ada CAD yang terus melebar tapi kan CAD juga berdampak dari global.

Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta:

Pada level global kita saat ini menghadapi kebijakan ekonomi politik saling mengunci atau zigzag policy. Misal trade war, currency war dan quantitative easing. Model kebijakan zigzag ini ternyata tidak membawa prospek perbaikan perekonomian global yang semakin baik. Respons kebijakan dalam Negeri harus dimulai dari mikro yaitu sektor riil.

Tujuan utamnya harus satu yaitu job creation, dengan adanya pekerjaan orang berpenghasilan. Ada penghasilan ada daya beli, ini menyebabkan ekonomi bergerak. Kemudian, sektor rill yg dikembangkan/dijalankan harus didasarkan sumber daya lokal.

Orang mau berusaha harus dipermudah, bukan dipersulit. Apalagi usaha pemula. Harus ada affirmacy policy. Karena kalau hanya mengandalkan model perekonomian saat ini, itu sudah pareto optimum. Harus berani melakukan transformasi struktural. Transformasi struktural ditandai transfirmasi pelaku ekonomi, kedepankan UMKM, yang besar berkompetisi di regional/global.

Ekonomi 2020 Akan Buram

Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan gambaran perekonomian tahun 2020 mendatang bakal buram. Kepala BPS Suhariyanto menyatakan buruknya perekonomian tak hanya di Indonesia, tapi di seluruh negara-negara di dunia.

Menurut Suhariyanto, di Indonesia sendiri salah satu tekanan yang paling berat adalah merosotnya harga komoditas. “Gambaran (ekonomi) 2020 akan buram. Semua negara. Perang dagang, ekonomi global, harga komoditas anjlok gila-gilaan. Batu bara saja merosot harganya sampai 45 persen, kemudian CPO (crude palm oil/minyak kelapa sawit),” kata Suhariyanto di Jakarta, Kamis (12/12/2019).

Suhariyanto berpandangan bahwa dalam jangka pendek akan sangat sulit bagi Indonesia untuk memperbaiki kinerja ekspor. Menurut dia, akan jauh lebih baik jika Indonesia memperkuat konsumsi domestik yaitu dengan menjaga inflasi, kemudian dengan menggerakan industri manufaktur dengan hilirisasi.

“Yang nantinya kita akan menciptakan tenaga kerja. Misalnya saja turunan produk sawit kalau dibanding negara lain turunannya bisa lebih banyak lagi atau agroindustri. Itu meningkatkan daya tambah,” tutur Suhariyanto menjelaskan.

Sementara itu pemerintah pada 2020 mendatang menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional berada di angka 5,3 persen. Angka ini sama dengan target pertumbuhan ekonomi pada tahun ini. “Pertumbuhan ekonomi akan berada di tingkat 5,3 persen dengan konsumsi dan investasi sebagai motor penggerak utamanya,” ujar Presiden Joko Widodo di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Jumat (16/8/2019).

BPS pada Oktober 2019 baru saja merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang sebesar 5,02 persen. Angka tersembut melambat jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,17 persen.

Kepala BPS Suhariyanto menegaskan, Indonesia perlu mewaspadai kinerja perekonomian dalam beberapa waktu ke depan. Pasalnya, pencapaian pertumbuhan PDB yang sebesar 5,02 persen tersebut adalah yang terendah dalam dua tahun terakhir.

Menurutnya, sangat mungkin ekonomi Indonesia tumbuh di bawah 5 persen ke depannya. “Kita memang harus ekstra hati-hati. Sangat mudah kita tergelincir di bawah 5 persen. Banyak hal perlu diperbaiki,” ujar dia di kantor BPS, Jakarta, Jumat (15/11/2019). (rah/cnbcindonesia/kompas)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *