Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan muslim
Apakah kemajuan teknologi bisa mengantarkan kita menemukan “rumah” (home) atau menjerumuskan kita ke “pengasingan” (exile)? Baiklah, pagi ini saya membaca ulang dua buku monumental.
Pertama, The Age of Surveillance Capitalism, karya Shoshana Zuboff (2019). Kedua, The Meritocracy Trap, karya Daniel Markovits (2019). Surveillance Capitalism secara sepihak mengklaim pengalaman manusia sebagai bahan mentah yang secara bebas bisa diubah menjadi data perilaku.
Meski sebagian data ini memang diterapkan pada perbaikan produk dan jasa, namun sisanya dideklarasikan sebagai surplus perilaku yang dituangkan ke dalam proses manufacturing bernama “machine intelligence”.
Akhirnya, produk-produksi prediksi ini diperdagangkan di pasar prediksi perilaku bernama “behavioral future market”. Dengan itu, surveillance capitalism terlahir sebagai bentuk ‘power” baru bernama instrumentarianism yang beroperasi secara asimetris.
Para penguasa surveillance capitalism tahu segala sesuatu tentang kita, sedangkan operasi mereka dirancang untuk tidak kita ketahui. Mereka mengakumulasi domain-domain pengetahuan baru dari kita, tapi tidak untuk kita. Mereka memprediksi masa depan kita untuk perolehan yang lain, bukan milik kita.
Surveillance capitalism tumbuh dengan dukungan tenaga-tenaga superskill, yang dilahirkan oleh lembaga pendidikan elite, yang kian didominasi anak-anak dari kalangan elite, yang kemudian melahirkan kompleks-kompleks pekerjaan elite.
Lahirlah semacam aristokrasi baru berbasis meritokrasi. Berbeda dengan aristokrasi lama yang membutuhkan bantuan middle class. Aristokrasi berbasis meritokrasi superskill ini mengerjakan sendiri urusannya, sehingga mengempiskan peran middle class. Inilah untuk pertama kali, meritokrasi jadi biang marginalisasi yang menyulut kemarahan kelas menengah. (*)