Mengapa KPK “Kesulitan” Melawan PDIP?

(Foto: kolase tribunnews)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Munculnya perkara suap yang melibatkan komisioner Komisi Pemlihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang menyeret kader  PDI Perjuangan Harun Masiku dan staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menjadi ujian bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dengan terkuaknya kasus itu kini keberanian KPK untuk mengadili para pencuri uang negara tanpa peduli latar belakang pelaku tengah diuji. Sebab, KPK harus berhadapan dengan partai politik, PDIP yang notabene mendominasi kekuasaan, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Bukan cuma itu, sejumlah pos-pos strategis juga ditempati oleh kader-kader dari partai banteng moncong putih itu yang semakin mempersulit gerak KPK. Ditambah lagi revisi undang-undang KPK yang dinilai melemahkan lembaga yang terbentuk sejak tahun 2002 itu.

Demikian disampaikan Direktur LP3ES center for Media and Democracy, Dr. Wijayanto dalam diksusi daring bertema “Hukum Politik dan Politik Hukum KPK”, Ahad (19/1/2020).

Wijayanto mencermati bahwa apa yang terjadi dengan KPK hari ini bukanlah hal baru, melainkan imbas dari gejolak panjang yang mengiringi KPK sebelumnya. “Kita tahu bahwa tahun lalu revisi UU dilakukan dengan paksaan, banyak korban luka dan 2 mahasiswa meninggal. Kita menolak revisi karena akan memperlemah KPK dan hari ini rupanya kita menuai hasilnya,” papar Wijayanto menegaskan.

Dosen Fisip Universitas Diponegoro ini mencatat setidaknya terdapat lima hal terkait “nasib” KPK yang kesulitan menghadapi partai penguasa, PDIP. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Firli terpilih menjadi Ketua KPK.

Sejak awal, terpilihnya Firli Bahuri menjadi Ketua KPK sudah dipertanyakan. Ia pernah dinyatakan memiliki masalah kode etik oleh KPK sebelumnya.

Sosoknya pun dinilai terlalu dekat dengan PDIP sehingga integritasnya dalam pemberantasan korupsi pun menjadi dipertanyakan. “Waktu itu Firly membantah semua tuduhan. Namun, lambannya KPK dalam melanjutkan penyidikan terhadap kader PDIP yang terjadi hari ini justru membuktikan kekhawatiran itu memang beralasan,” tutur Wijayanto.

Selain itu, tindakan KPK mengumumkan kepada media akan melakukan penggeledahan kantor PDIP juga dianggap tidak masuk akal. “Sangat penting agar rencana penggeledahan dirahasiakan. Jangan sampai bocor kepada satu pihak pun, tapi ini malah dimumkan kepada media,” ujar Wijayanto sembari menekankan bahwa waktu sepekan sangat amat cukup untuk pihak-pihak berkepentingan menyembunyikan atau menghilangkan bukti-bukti penting yang ada.

2. Keberadaan Dewan Pengawas KPK.

Keberadaan Dewan Pengawas KPK, hasil dari revisi UU KPK juga diperdebatkan lantaran dianggap akan memperlambat penanganan kasus korupsi di negeri ini. Terkait dengan penggeledahan sepekan mendatang di kantor PDIP, salah satu alasan yang dikemukakan juga terkait dengan perizinan dari Dewas KPK.

“Patut dicatat bahwa dalih penundaan penggeledahan KPK adalah belum adanya izin dari dewan pengawas. Di sini terbukti bahwa Dewas justru dijadikan penghalang dari pemberantasan korupsi,” ujar Wijayanto.

Bahkan, Wijayanto menyarankan Dewas untuk mengundurkan diri untuk kebaikan semangat pemberantasan korupsi di Tanah Air. Setidaknya jika dalam 3 bulan ke depan, kinerja KPK masih saja jalan di tempat, pengunduran diri ini dirasa penting untuk menjaga integritas dan nama baik mereka sendiri.

3. Menkumham Yasonna Laoly.

Salah satu kasus yang menjadi perhatian publik adalah suap yang menimpa Komisioner KPU, Wahyu Setiawan dan menyeret politisi PDIP, Harun Masiku.  PDIP membentuk tim hukum untuk melawan KPK karena menganggap Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlidik) kepada Harun tidak sah.

Tim hukum tersebut terdiri dari 12 pengacara yang dipimpin oleh Teguh Samudera. Dalam daftar anggota tim tersebut, terdapat nama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Yasonna Laoly merupakan seorang kader PDIP dan menjabat posisi Menteri Hukum dan HAM di 2 periode kepemimpinan Joko Widodo.

“Keberadaan dia dalam tim hukum PDIP membuat kita bertanya tentang komitmen dan etika politiknya sebagai menteri,” tegas Wijayanto. Yasonna, lanjut Wijayanto, harus memisahkan dua kepentingan yang berbeda sebagai Menkumham dan kader PDIP.

4. Presiden Joko Widodo.

Di tataran Eksekutif, PDIP memiliki Joko Widodo. Bahkan, Ketua Umum Megawati pernah menyebut Jokowi sebagai petugas partai yang ia pimpin. Integritas Jokowi sebagai Presiden kembali diuji lantaran ia harus memimpin gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia secara menyeluruh, tidak hanya pada kasus Harun Masiku saja.

“Pernyataan Presiden yang justru membiarkan menterinya menjadi tim hukum yang membela PDIP dengan dalih dia adalah juga kader PDIP adalah sesuatu yang sangat mengecewakan,” kata Wijayanto.

Jokowi, sambung Wijayanto, harus memberi ketegasan pada semua menteri yang membantunya di kabinet agar meninggalkan keanggotaannya di partai politik manapun. “Tanpa ketegasan ini maka konflik peran yang serupa akan tetap terjadi di masa depan.”

5. Orkestrasi KPK oleh PDIP.

Terakhir, Wijayanto melihat apa yang terjadi pada KPK saat ini adalah hasil orkestrasi yang dilakukan oleh PDIP. Partai tersebut memiliki banyak berperan dalam perjalanan KPK hingga saat ini. KPK didirikan pada masa Megawati menjadi Presiden RI, ketika itu tahun 2002.

Kini, PDIP juga menjadi salah satu pihak terbesar yang melemahkan KPK dengan mengusulkan dan menyetujui revisi UU KPK. “Kali ini UU diubah dan ini mungkin terjadi karena DPR dan Presiden sama-sama menyetujuinya. Jadi, KPK menjadi demikian lemah, karena ada kolaborasi antara DPR dan istana. Dan di kedua tempat itu, PDIP lah penguasanya,” ujar Wijayanto menekankan kembali. (rah/kompas)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *