Faisal Basri: Pemerintah Jokowi Salah Diagnosis Masalah Omnibus Law

Ekonom senior Faisal Basri. (Foto: Tempo)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Ekonom senior Faisal Basri mengamati ada kesalahan diagnosis yang dilakukan pemerintah terkait masalah Omnibus Law. Faisal dalam blognya di faisalbasri.com, menyoroti sejumlah kekeliruan menyangkut soal investasi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini.

Dikutip, Senin (20/1/2020), Faisal menyampaikan Presiden Joko Widodo kerap mengeluhkan investasi sebagai biang keladi dari pertumbuhan yang tak beringsut dari level 5% di mana kebijakan selama ini belum ada yang “nendang”.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Presiden juga mengeluhkan tidak ada satu pun perusahaan yang merelokasikan pabriknya dari China ke Indonesia sebagai imbas dari perang dagang Amerika Serikat dengan China. “Kenyataan bicara lain. Kinerja investasi Indonesia tidak buruk-buruk amat. Pertumbuhan investasi yang diukur dengan pembentukan modal tetap bruto dalam lima tahun terakhir masih di atas pertumbuhan PDB,” ujar Faisal.

Faisal mengemukakan, bahkan pertumbuhan investasi Indonesia jika dibandingkan dengan beberapa negara lain lebih tinggi. Misalnya, Malaysia, Afrika Selatan dan Brazil. “Dibandingkan dengan China sekalipun, pertumbuhan investasi Indonesia masih lebih tinggi,” ungkap dia.

Menurut Faisal, di ASEAN sumbangan investasi dalam PDB tak ada yang mengalahkan Indonesia, bahkan Singapura  dan Vietnam sekalipun. Memang Indonesia kalah dengan China, namun China sudah mengalami kecenderungan menurun. “Mereka kelebihan investasi sehingga harus repot-repot menciptakan proyek-proyek besar di luar negeri lewat “One Belt, One Road” initiative,” jelas Faisal.

Faisal juga menguraikan, jika omnibus law bertujuan untuk menggenjot investasi agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, boleh jadi jauh api dari panggang. Jika investasi asing yang hendak disasar, justru belakangan ini investor asing banyak yang “diusir”.

“Malahan pemerintah mendorong pelaku dalam negeri untuk mengambil alih investasi asing: saham Freeport diambil alih BUMN (PT Inalum), Blok Mahakam dan Blok Rokan diambil alih PT Pertamina, Holcim juga diambil alih oleh BUMN (PT Semen Indonesia),” paparnya.

Begitu pun, asing masih saja cukup antusias berinvestasi di Indonesia. Di Asia, Indonesia paling diminati setelah China dan India.

Faisal lantas menyodorkan sejumlah data. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia masuk dalam top-20 penerima investasi langsung asing (foreign direct investment). Bahkan, peringkat Indonesia naik dari posisi ke-18 (2017) menjadi ke-16 (2018). Pada 2018, posisi Indonesia dua peringkat di atas Vietnam.

Investasi dari China mengalir cukup deras, sedemikian kasat mata. Data terbaru menunjukkan posisi Indonesia naik tajam dalam China Going Global Investment Index.

Sejak Indonesia merdeka, investasi langsung asing tidak pernah menjadi andalan. “Karena memang Indonesia cenderung menutup diri dengan membangun tembok tinggi, penuh kawat berduri. Jadi, solusinya bukan dengan omnibus law,” paparnya.

Rendahnya investasi asing itulah yang mebuat Indonesia tidak menjadi bagian menarik dari global supply chains dan membuat perekonomian Indonesia relatif semakin tertutup.

“Investasi di sektor migas cenderung merosot sehingga produksi turun terus, mengakibatkan impor minyak membengkak. Biang keladinya adalah karena pemerintahlah yang menghambat,” tuturnya.

Faisal menekankan, tantangan terbesar Indonesia adalah bagaimana meningkatkan kualitas investasi. Selama ini kebanyakan investasi dalam bentuk bangunan. Sedangkan investasi dalam bentuk mesin dan peralatan hanya sekitar 10%. “Bagaimana hendak meningkatkan ekspor kalau investasi mesin dan peralatan relatif rendah. Bandingkan dengan negara emerging market lain yang investasi mesin dan peralatannya jauh lebih tinggi,” urainya.

Dia juga menegaskan bahwa investasi akan seret jika pemanfaatan kapasitas produksi masih rendah. “Ketika pemanfaatan kapasitas terpasang di atas 90%, tak usah didorong-dorong pun investasi akan dilakukan oleh dunia usaha,” kata Faisal.

Lebih lanjut Faisal menilai, investasi masih terbuka lebar jika pemerintah melakukan konsolidasi perbankan. Pertumbuhan kredit perbankan bisa dipulihkan dari kecenderungan yang terus menurun, setidaknya menembus dua digit.

“Perbankan dan lembaga keuangan lainnya berfungsi sebagai jantung bagi perekonomian. Bagaimana perekonomian hendak berlari lebih cepat jika detak jantung lemah,” tegasnya.

Faisal menyarankan, pemerintah harus menghilangkan penyumbatan pembuluh darah di jantung terlebih dulu. “Jangan lagi terjadi dana puluhan triliun rupiah yang dihimpun dari darah dan keringat rakyat diinvestasikan di perusahaan-perusahaan yang tidak punya reputasi baik, yang digelayuti oleh para elit penguasa seperti terjadi pada kasus Jiwasraya dan Asabri. Benahi pula regulatornya, terutama OJK, yang kebobolan berulang kali,” papar dia lebih jauh.

Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja disusun dengan mengutamakan kepentingan rakyat atau buruh melalui kemudahan membuka lapangan kerja.

“Jadi begini, harus dipahami dahulu secara lengkap bahwa omnibus law itu bukan untuk investasi, melainkan tentang cipta lapangan kerja,” kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (20/1/2020). Hal tersebut disampaikan Mahfud menanggapi masih adanya aksi buruh yang menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Sejauh yang diikutinya, kata Mahfud, pembahasan RUU  Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja justru lebih mengutamakan buruh, bukan investasinya. Menurut Mahfud, omnibus law cipta lapangan kerja dimaksudkan agar lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia itu makin terbuka lebar.

Salah satu caranya, ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, dengan mempermudah dan menyederhanakan perizinan terkait dengan investasi. “Investasi itu bukan hanya investasi asing. Investasi dalam negeri pun selama ini sering terkendala oleh perizinan karena banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang-tindih,” katanya.

Makanya, tambah Mahfud, perlunya omnibus law cipta lapangan kerja untuk mempermudah perizinan dalam berinvestasi “Jadi, bukan investasinya yang ditekankan, melainkan penciptaan lapangan kerjanya yang selama ini agak terhambat oleh perizinan investasi,” ucap Mahfud. (rah/berbagai sumber)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *