Muhammadiyah: Penghapusan Kewajiban Sertifikat Halal Bingungkan Umat

Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad. (Ist)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Pengurus Pusat Muhammadiyah menyesalkan Draf Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja yang menghapus kewajiban makanan harus bersertifikat halal.

“Kalau benar seperti itu patut disayangkan,”tegas Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (21/1/2020).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Selanjutnya Dadang menegaskan penghapusan aturan tersebut akan membuat umat Islam ragu dalam memilih makanan.

Dadang menekankan pentingnya perlindungan konsumen dalam UU Produk Jaminan Halal. “UU Produk Jaminan Halal memberi perlindungan kepada konsumen umat Islam yang 87 persen penduduk Indonesia dari makanan haram yang tidak boleh dikonsumsi karena larangan agama,” jelas Dadang.

“Dengan tidak ada lagi jaminan produk halam maka umat akan ragu ragu mengkonsumsi sesuatu sehingga pilih-pilih dan justru akan kontraproduktif sehingga akan sedikit membeli produk yang diragukan,” lanjut Dadang.

Untuk diketahui, rancangan undang-undang sapu jagad atau omnibus law mengenai Cipta Lapangan Kerja menghapus pasal-pasal yang tersebar di 32 undang-undang. Salah satunya adalah pasal-pasal di UU Jaminan Produk Halal.

Berdasarkan Pasal 552 RUU Cipta Lapangan Kerja, sejumlah pasal di UU Jaminan Halal akan dihapus yaitu Pasal 4, Pasal 29, Pasal 42, Pasal 44.

Pasal 4 UU Jaminan Halal mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal. Selengkapnya Pasal 4 berbunyi: Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Dengan dihapusnya Pasal 4 UU Produk Jaminan Halal, maka pasal yang menjadi turunan Pasal 4 juga dihapus. Yaitu:

Pasal 29
(1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH.
(2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen:

a. data Pelaku Usaha;
b. nama dan jenis Produk;
c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d. proses pengolahan Produk.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 42
(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.
(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 44
(1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sebelumnya, Sekjen MUI, Anwar Abbas, menegaskan bahwa politik dan ekonomi yang tak boleh bertentangan dengan ajaran agama.

“Di dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 dikatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya apa saja yang kita lakukan dan kebijakan apa saja yang kita buat apakah itu dalam bidang politik dan atau ekonomi dia tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan bahkan ia harus mendukung bagi tegaknya ajaran agama itu sendiri terutama agama Islam yang merupakan agama mayoritas dari penduduk di negeri ini (87,17%),” tutur Anwar Abbas  kepada wartawan, Selasa (21/1/2020). (rah/berbagai sumber)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *