Gratifikasi dalam Islam Sama dengan Ghulul

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, hajinews.id,- Menurut undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001, menerima gratifikasi adalah perbuatan yang dilarang sehingga dapat dipidana.

Menurut UU TPK, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.”

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pembahasan gratifikasi di tengah-tengah masyarakat pun beragam. Ada yang menyebutnya hadiah, ucapan terima kasih, tips, dan lainnya. Menurut pakar ekonomi Islam, Syafii Antonio, pemberian hadiah dinilai haram jika kondisi pemberi dan penerima pada posisi dari “bawah” ke “atas”. Misalnya, dari bawahan ke atasan, dari wajib pajak ke petugas pajak, dari rakyat ke pejabat, dan seterusnya.

Pemberian dari bawah ke atas ini dimaksudkan untuk mengharapkan suatu imbalan, baik secara materi atau non-materi. Misalnya, memperlancar kepentingan bisnis, naik jabatan, pemberian wewenang atau keputusan dari atasan, dan semua hal yang berkaitan dalam ruang lingkup bawahan ke atasan tersebut. Ia mengharapkan ada timbal balik dari atas ke bawah.

Tetapi, jika pemberian hadiah dari atas ke bawah atau kepada sesama, hal ini diperbolehkan. Misalnya, dari orang kaya ke orang miskin, dari bos kepada karyawan, atau sesama teman. Alasannya, tidak ada “udang di balik batu” dari pemberian tersebut. Pemberian hadiah didasarkan untuk memupuk persaudaraan, persahabatan, dan kasih sayang semata.

Rasulullah SAW sangat tegas melarang sahabat-sahabatnya untuk menerima gratifikasi. Riwayat dari Abu Humaid as-Sa’idi mengisahkan, salah seorang dari suku Al-Azdi bernama Ibnu Lutbiah ditugaskan memungut zakat. Setelah ia pulang, ia melaporkan dan menyerahkan zakat hasil pungutannya kepada Baitul Mal.

“Ini pembayaran zakat mereka, lalu yang ini adalah untuk saya karena ini pemberian dari wajib zakat kepada saya pribadi,” ujar Ibnu Lutbiah. Rasulullah SAW pun marah dan memerintahkan Ibnu Lutbiah untuk mengembalikan gratifikasi yang diterimanya. Rasulullah SAW bersabda, “Cobalah dia (Ibnu Lutbiah) duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya. Apakah akan ada yang memberikan (gratifikasi) kepadanya?” (HR Bukhari Muslim).

Rasulullah SAW dalam hadits Beliau menegaskan, menerima gratifikasi sama halnya dengan mengambil ghulul, yakni barang curian dari harta rampasan perang. Ancamannya sangat jelas, siapa yang memakan harta gratifikasi akan datang di Hari Kiamat dalam kondisi kesusahan. Di lehernya akan dipikulkan unta, sapi, dan kambing yang mengembik. (HR Bukhari Muslim).

Tidak bisa dimungkiri, pejabat berwenang yang menerima gratifikasi akan berpengaruh pada putusan dan kinerja apa yang diwewenanginya. Demikian juga pegawai pemerintahan. Ketika ia meminta atau menerima gratifikasi, ia akan cenderung melayani konsumen yang memberi gratifikasi.

Lama kelamaan, ia bahkan tak mau melayani orang yang tak mau memberi gratifikasi. Padahal, semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proporsional. Pegawai tersebut sudah digaji oleh negara atau perusahaan tempatnya bekerja untuk melayani konsumen secara umum.

Demikian juga seorang hakim, pasti akan terpengaruh dengan gratifikasi. Ia akan cenderung membenarkan atau membela orang yang memberi gratifikasi kepadanya. Inilah alasannya Imam Al-Baghawi dalam kitab Syarhu as-Sunnah secara keras mengharamkan para pejabat pemerintah dan hakim untuk menerima gratifikasi. (sumber: Republika).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *