Kemesraan Kiai Said-Anies dalam Situasi Intoleransi Ekonomi

Foto: tribun
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh:

Imam Jazuli, Lc., M.A

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

 

PADA saat menyampaikan pidato sambutan acara groundbreaking pembangunan kantor baru PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Sirajd memuji gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sebagai “Gubernur Indonesia”. Namun, pujian itu menjadi lebih religius karena memberikan gelar pada Anies sebagai “sayyidul habib”, yang artinya “tuannya keturunan para habib”.

Selain itu, Kiai Said menegaskan bahwa Anies Baswedan adalah cucu dari pahlawan nasional, Bapak Abdurrahman Baswedan, dari Kuningan. Abdurrahman Baswedan sendiri seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan, diplomat, mubalig, dan sastrawan Indonesia.

Gagasan Abdurrahman Baswedan ini, salah satunya, mengajak persatuan seluruh keturunan Arab, baik yang lahir di Indonesia maupun di Hadramaut, Yaman. Karena itulah, gelar “sayyidul habib” dari Kiai Said untuk Anies Baswedan memiliki akar historis yang panjang. Salah kaprah apabila memaknai kemesraan Kiai Said dan Anies ini dalam konstelasi politik kontemporer.

Gelar “sayyidul habib” untuk Anies Baswedan sejatinya untuk mengajak beliau agar jangan sampai lupa melanjutkan tongkat estafet yang sudah dipelopori oleh kakeknya sendiri, yakni Abdurrahman Baswedan.

Persatuan keturunan Arab itu sangatlah penting, apalagi di zaman “kolo-bendu” ini; suatu zaman di mana semua orang yang tidak kuat imannya mudah terombang ambing, mudah diadu-domba, dan mudah dikompori untuk saling bermusuhan. Apalagi sampai terjadi permusuhan dan perpecahan antar Habaib di Indonesia, hal itu sungguh di luar impian pahlawan nasional kita, Abdurrahman Baswedan.

Pemberian gelar “sayyidul habib” menandai suatu masa dimana Islam Tradisionalis yang diwakili PBNU memungkinkan untuk menjalin kerja sama dengan Islam Modernis-Kanan yang diwakili atau direpresentasikan oleh para pendukung Anies Baswedan.

Keharmonisan Kiai Said-Anies dapat disebut bentuk keharmonisan Tradisionalis-Modernis Kanan. Harapannya, ujaran simbolik dari Kiai Sa’id tersebut dimengerti dengan baik oleh bapak Anies beserta pendukungnya, bahwa persatuan umat Muslim merupakan keniscayaan.

Memang belakangan ini gubernur Jakarta itu tampak sedang menjadi sasaran tembak para punggawa Jokowi, mulai dari kasus penanganan banjir sampai renovasi Monas. Dan, yang terpenting adalah kritik Erick Thohir (Menteri BUMN) yang menyebut Anies tidak mendidik dengan program cicilan 0 persen untuk pengadaan rumah bagi kaum milenial. Tetapi, kritik lingkaran Jokowi terhadap Anies bisa ditarik lebih jauh ke belakang.

Publik tahu bahwa Prabowo adalah rival utama Jokowi di Pilpres. Tapi, Prabowo memilih tunduk pada Jokowi. Kini tinggal Anies seorang diri, sebagai satu-satunya orang yang belum ditaklukkan oleh kemauan Jokowi.

Ketika marwah Prabowo redup di kalangan pendukungnya sendiri, maka tersisa Anies Baswedan yang bersinar terang. Serangan menteri Jokowi atas segala kebijakan politik Anies Baswedan dapat dimengerti dari sudut pandang ini.

Sementara posisi Kiai Said sebagai Ketum PBNU, yang tampak sangat mesra dengan Anies, menandai perjumpaan kepentingan yang sama; yakni memperjuangkan keadilan ekonomi. Program cicilan 0 persen Anies Baswedan yang ditolak Menteri BUMN sangat masuk akal, karena spirit pemerintahan hari ini adalah spirit oligarkis dengan sistem kapitalis. Nalar 0 persen sangat tidak mendidik mental generasi milenial, menurut Erick Thohir terhadap Anies Baswedan.

Persoalan apa yang mendidik dan tidak mendidik, sebenarnya, persoalan sudut pandang. Jika logikanya untung-rugi, maka apa pun yang tidak menguntungkan pasti dianggap tidak mendidik, sekalipun rakyat akan mendapatkan manfaatnya.

Peristiwa ini masih sama dengan pernyataan Menkeu Sri Mulyani tempo hari, yang menyebut jutaan calon kreditor Nahdliyyin banyak tidak cukup syarat untuk pick-up dana kredit dari pemerintah. Polanya sama: segala yang tidak menguntungkan bisnis kapitalis dianggap tidak mendidik dan tidak cukup syarat.

Kiai Said mengerti kekuatan pengusaha Arab. Dalam sejarah Nusantara, kelas pengusaha di Nusantara itu adalah orang China dan orang Arab. Bedanya, sejak dulu, orang Arab yang berbisnis ke Nusantara sekaligus menyebarkan agama Islam.

Sekalipun satu dua orang China datang ke Indonesia untuk misi dakwah Islam, tetapi jumlah orang Arab yang berdagang plus berdakwah jauh lebih banyak. Kiai Sa’id memberi gelar “sayyidul habib” kepada Anies Baswedan agar beliau ingat soal sejarah ini dan juga soal niat mulai kakeknya sendiri.

Akhir kata, kemesraan Kiai Said dan Anies adalah kemesraan Islam Tradisionalis-Modernis Kanan, yang akar-akarnya dapat ditarik ke perjalanan panjang masyarakat muslim Nusantara.

Kiai Said juga berharap agar bapak Anies kembali ingat cita-cita luhur kakeknya untuk mempersatukan semua keturunan Arab, baik muwalid maupun totok; kelahiran Nusantara maupun Hadramaut. Persatuan dan kekompakan umat muslim, tanpa memandang ormas dan aliran mazhab, adalah kekuatan besar yang dibutuhkan di masa depan, secara politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya.(*)

 

Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *