Peran Ulama Pada Sertifikasi Halal Dihilangkan Dalam Omnibus Law

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah (tengah). (Foto Antara)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah, mengkritik Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) yang berpotensi menghilangkan peran ulama dalam proses sertifikasi halal.

“Omnibus Law pada pasal 1 angka 10 berpotensi terjadi pengambilalihan fatwa produk dari ulama kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal,” kata Ikhsan kepada wartawan di Jakarta, Senin (17/2/2020).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ikhsan menyebutkan pada pasal tersebut berbunyi, “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal.”

“Maka kami berpandangan bahwa hukum agama telah dikooptasi oleh hukum negara. Sejak kapan BPJPH diberikan hak oleh negara menjadi komisi fatwa? Bukankah itu ranah dan kewenangan ulama?” jelas Ikhsan.

Sementara pada UU 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pasal 1 angka 10 menyebut, “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.

“Ketentuan UU yang sudah diterima dan berlaku di masyarakat harusnya diperkuat lagi oleh negara bukan dicerabut,” tegas dia

Menurut Ikhsan bila RUU Cipta Lapangan Kerja itu mengesahkan ketentuan pasal satu angka 10 maka sama halnya BPJPH, Kementerian Agama dan Negara mendelegitimasi peran-peran lembaga keagamaan khususnya Majelis Ulama.

Sementara terminologi halal dan haram, lanjut Ikhsan, adalah hukum agama yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi keulamaan.

Ikhsan menekankan, fatwa produk halal harus ditetapkan oleh Majelis ulama Indonesia bukan diserahkan kepada ormas-ormas Islam apalagi oleh orang-perseorangan.

Lebih lanjut dia mengatakan, untuk menghindari perbedaan fatwa sudah tepat bahwa penetapan fatwa atas produk halal dilakukan MUI. Jika diberikan kepada negara, segelintir ormas atau perseorangan justru dapat memecah belah umat Islam itu sendiri.

Ikhsan menambahkan, MUI adalah tempat bernaungnya ormas Islam, berhimpunnya ulama, zuama (pimpinan organisasi Islam) dan cendekiawan Muslim, dari Nahdhlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar dan 59 ormas Islam lainnya.

“Justru dalam rangka menentramkan konsumen dan umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, maka ketentuan kehalalan produk harus berdasarkan ketentuan fatwa MUI dan bukan dari yang lain,” jelas dia.

MUI sebelumnya meminta umat Islam terus memantau dan mengawal pembahasan Omnibus Law di DPR karena dinilai banyak kepentingan dalam UU tersebut.

“Omnibus Law itu harus dipantau oleh umat Islam, karena banyak kepentingan, pertama kepentingan para pengusaha besar ya,” kata Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas saat dihubungi, Sabtu (15/2/2020).

MUI tidak ingin ada peraturan yang menimbulkan polemik di masyarakat ketika Omnibus Law disahkan sehingga umat Islam diminta terus mengawal pembahasan RUU Omnibus Law.

“Oleh karena itu umat Islam harus memantau terus jangan sampai lewat Omnibus Law ini ada penunggang gelap, sehingga apa yang ingin menjadi keinginan sebagian besar rakyat, kalah oleh keinginan oleh segelintir orang itu para pemilik kapital,” jelas Anwar.

Anwar mengaku belum melihat draft tersebut. Ia juga mengatakan MUI masih berpegangan dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. “Belum tahu, kalau kita belum tahu drafnya seperti apa kan dibuat pemerintah kemudian diberikan ke DPR untuk dibahas, saya belum tahu konsep yang dibuat seperti apa,” tutur Anwar.

“Saya binggung juga ini, kan sudah ada UU produk halal, bagaimana pula itu datang? Bagi saya selama belum ada UU yang baru, UU lama yang dipakai,” lanjut dia.

Meski begitu, Anwar mengatakan sudah ada pembicaraan dengan BPJPH terkait sertifikasi produk halal. Namun ia belum mengetahui rencana sertifikasi produk halal ke depan jika RUU Omnibus Law telah disahkan. “Saya enggak ngerti, sekarang yang jelas ada konsep di Omnibus Law tapi sudah sejauh mana saya belum tahu,” ucap Anwar.

Sebelumnya pemerintah telah menyerahkan draf RUU Omnibus Law tentang Cipta Kerja. Dalam draf yang beredar sebelumnya, RUU ini menghapus jaminan produk halal. Di draf resmi yang sudah diserahkan ke DPR, jaminan produk halal tetap ada. Namun, standarnya diturunkan dari semula harus berdasarkan fatwa MUI, kini bahkan bisa berdasarkan pernyataan pengusaha pemilik produk.

Format RUU Omnibus Law disusun berdasarkan revisi atas 79 UU yang sudah ada. Ada ketentuan UU yang dihapus, diedit, atau ditambahkan dari 79 UU itu di Omnibus Law Cipta Kerja. (rah/ berbagai sumber)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *