Cerita Haris Amir Falah: Pernah Jadi Napi Teroris, Kini Jadi Pendidik

Foto: Jawa Pos/Radar Solo
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Solo, hajinews.id-Selama 27 tahun, Haris Amir Falah atau yang akrab dipanggil Ustad Haris terjebak pada pemikiran radikal. Gara-gara pemikirannya itu, Haris harus merasakan pengapnya penjara karena berencana makar. Kini dia telah sadar dan berubah total.

Ustadz Haris sebenarnya berasal Jakarta.  Pembawannya yang kalem, sungguh tidak menyangka jika dia pernah menghabiskan waktunya selama 4,5 tahun di balik penjara. Proses panjang mengenali Islam sebagai agama pembawa rahmat dan toleran ditemui saat dia di dalam penjara.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pemikiran radikal mulai dikonsumsi Haris sejak dia duduk di bangku kelas 2 SMA. Pada 1984, Haris mulai dikenalkan dengan pemikiran radikal dari guru matematikanya. Alhasil, Haris memantapkan hati bergabung dengan sebuah kelompok.

“Setelah diajak, saya lantas mengikuti pengajian mereka dengan pembinaan utama selama tiga hari. Setelah itu saya mendapatkan doktrin-doktrin radikal secara terus menerus. Hingga pada hari ketiga saya memutuskan untuk hijrah ke dalam kelompok tersebut,” ungkap Haris kepada Jawa Pos Radar Solo, Selasa (18/2).

Sejak itu, Haris aktif dalam kegiatan kelompok tersebut. Dia bahkan sempat disebut-sebut belum menjadi Islam karena belum pernah bersyahadat. Untuk membuktikan ke-Islamannya, Haris kemudian mengambil sumpah syahadat bersama anggota kelompok tersebut.

“Dan sejak itu, sikap saya terhadap orang yang tidak bersyahadat bersama saya, meski dia muslim, adalah kafir. Saya selalu menarik garis pada mereka, bahwa meski mereka Islam, namun, mereka bukan Islam menurut saya,” katanya.

Memaki orang kafir mulai dianggap biasa bagi Haris. Tak segan pula karena berbeda golongan Haris berani mengkafirkan. Bahkan hal ekstrem pernah dilakukan oleh Haris. Pandangan dia lantas menyempit dengan menganggap harta orang selain kelompoknya halal. Sehingga tidak segan Haris mengambil barang-barang orang lain.

“Saya biasa mengambil harta orang dan menjadikannya sebagai kekayaan jamaah. Karena pandangan saya saat itu saya merampas dari orang kafir. Dan hal tersebut saya lakukan sampai sekitar akhir 2009,” katanya.

Kilas baliknya mulai mengenal Islam yang toleran bermula ketika dia mengikuti Kongres Mujahidin di Jogjakarta sekitar 2010. Di mana konsep berjuang menegakkan syariat lebih pada lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan konsep yang dilakukan adalah dengan dialog dan diplomasi. Ternyata hal tersebut lebih menggugah dirinya. Bahwa berjuang dengan konsep radikal justru mendatangkan lebih banyak mudharat.

“Sekarang orang akan lebih tertarik. Bahwa Islam itu tidak seperti sebagaimana yang saya pelajari dulu. Islam menjadi agama pembawa rahmat dan toleran,” katanya.

Namun, di tahun yang sama Harus nekat mengikuti pelatihan militer di Aceh. Akibat mengikuti kegiatan yang diduga untuk melakukan makar, Haris lantas diamankan oleh aparat keamanan setempat. Dan dia divonis penjara selama 4,5 tahun lamanya.

Selama menjalani bui itulah dia mengenal berbagai macam orang dan juga didatangi aparat keamanan negara. Di sana Haris menemukan nilai-nilai Islam yang lebih toleran bagi NKRI.

“Semangat saya tetap sama. Bagaimana cara mencegah berkembangnya pemikiran-pemikiran radikalisme yang akhirnya memunculkan sikap intoleran terhadap keadaan yang ada,” katanya.

Haris optimistis, meski sudah ada masyarakat yang terpapar, masih bisa berubah menjadi lebih toleran dan moderat. Dan perubahan tersebut bisa diusahakan oleh masing-masing orang. Haris bahkan tak patah arang. Meski stigma miring masyarakat masih melekat terhadapnya, Haris tetap konsisten menyebarkan kebaikan. Baik melalui forum diskusi ilmiah maupun bedah buku.

“Saya mencoba menulis perubahan pemikiran dan sikap saya tentang ajaran Islam. Dari paham yang ekstrem dan radikal menjadi moderat,” katanya.

Haris mengamini jika dia pernah menjadi ketua Lajnah Perwakilan Jakarta, Majelis Mujahidin Indonesia pada 2001-2008, Amin Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pada 2008-2010, Amin Jamaah Ansharut Syariah (JAS) Jakarta pada 2013-2016. Selain itu dia pernah menjadi pembina Lembaga Dawah Thoriquna 2017 hingga sekarang menjadi pendidik di SMP Darul Ma’arif Jakarta dan SMA Negeri 46 Jakarta.

Terpisah, pengamat pergerakan Islam Amir Mahmud mengatakan jika radikal bisa dikategorikan dalam tiga hal. Yakni lisan dengan ujaran kebencian, perilaku dengan melakukan kekerasan, dan bentuk ekstrem yang ingin mengubah tatanan nilai bangsa.

“Radikalisme itu seseorang atau kelompok yang melakukan paham radikal. Mereka bukan Islam dan Islam bukan radikalisme,” katanya. (wh/jpr)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *