Mengingat Kembali Tragedi Serangan PKI ke Pondok Pesantren Gontor

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id-”Pondok Bobrok, langgar Bubar, santri mati,” inilah yel-yel penuh kebencian yang diteriakkan PKI Madiun pada tahun 1948.

Sejak 18 September 1948, Muso memproklamirkan negara Soviet Indonesia di Madiun. Slogan itu terus berkumandang dari seluruh anggota sipil PKI Muso dan tentara Muso yang bernama Front Demokratik Rakyat (FDR).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Melalui slogan itu, PKI merusak bangunan pondok pesantren, langgar dibubarkan dan santri dibantai di luar batas kemanusiaan.

Lebih ngeri lagi, sebelum slogan itu dikumandangkan di berbadai desa, kota, jalan, dan gang-gang. Para anggota PKI sudah menyiapkan lubang-lubang untuk membantai para kyai dan santri. Di berbagai lubang itulah, para kyai dan santri disembelih secara masal. (Anab Afifi dan Thowaf Zuharon, 2016,Ayat-ayat yang disembelih, Jakarta : Jagat Publising. Hal. 109)

September 1948, Muso telah menguasai daerah karesidenan Madiun, meliputi Madiun, Ponorogo, Magetan, Pacitan, dan Ngawi. Pondok Modern Darussalam yang berada di Gontor Ponorogo juga tidak lepas dari ancaman PKI.

Hijrah atau Melawan PKI

Kyai Sahal dan Kyai Imam Zarkasyi berembug sangat serius dengan santri senior. Setelah lama berembug, akhirnya ditetapkan bahwa melawan PKI yang lengkap dengan senjata sangatlah tidak mungkin. Akibatnya akan banyak santri yang menjadi korban. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah menyelamatkan diri dengan cara mengungsi.

Ada sebuah kisah menarik siapa yang akan tinggal menunggu pondok. Kedua kyai ini benar-benar mengajarkan ’Itsar’, bagaimana mereka tidak rela saudaranya menderita.

Kyai Imam Zarkasyi berkata,  ”Sudah, pak Sahal, kamu saja yang berangkat mengungsi dengan para santri. Karena, yang diketahui Kyai Gontor itu ya kamu. Biar saya yang menjaga pesantren, tidak akan dikenali saya ini.”

Namun, mendengar kalimat itu Kyai Sahal malah gantian menyanggah, ”Tidak, bukan saya yang harus mengungsi, tapi kamu saja Zar. Kamu lebih muda, ilmumu lebih banyak, pesantren ini lebih membutuhkan kamu dari pada saya. Saya sudah tua, biar saya hadapi PKI-PKI itu.”.

Kedua Kyai itu berusaha meminta salah satu dari mereka untuk pergi mengungsi. Sungguh bukan nasib mereka yang dipikirkan, tetapi nasib saudaranya dan para santrinya. Akhirnya diputuskanlah para kyai berdua pergi mengungsi dengan para santri.

Penjagaan pesantren diberikan kepada KH. Rahmat Soekarto. Lurah Gontor sekaligus Imam Salat Jumat di Gontor. Belum sampai melakukan pengungsian, ternyata Pesantren Gontor sudah didatangi utusan PKI yang membawa sepucuk surat.

Isi surat tersebut perintah dari pasukan PKI Muso agar seluruh warga Pesantren Gontor tidak meninggalkan tempat. Jika meninggalkan tempat, akan terjadi bencana besar yang dibuat oleh para tentara PKI Muso.

Menerima surat itu, Kyai Sahal dan Kyai Zarkasyi hampir saja mengurungkan niatnya untuk mengungsi. Namun, karena ajakan yang cukup kuat dari para santri untuk mengungsi, akhirnya kedua kyai tersebut berangkat mengungsi bersama para santri.

Berangkatlah rombongan Hijrah Kyai Gontor kearah timur menuju Gua Kusumo, saat ini dikenal dengan Gua Sahal di daerah Suren. Mereka menempuh jalur utara melewati gunung Bayangkaki. Dengan untaian air mata karena meninggalkan pondok tercinta.

Saat itulah tercetuslah ucapan dari Kyai Sahal, ”Labuh bondo, labuh bahu, labuh pikir, lek perlu sakyawane pisa” (Korban harta, korban tenaga, korban pikiran, jika perlu nyawa sekalian akan aku berikan”.

Kebiadaban PKI yang Tak Terlupakan

Sehari setelah santri-santri mengungsi, akhirnya para PKI betul-betul datang. Mereka langsung bertindak ganas dengan menggeledah seluruh Pesantren Gontor.

Tepat pukul 15.00 WIB, PKI mulai menyerang pondok. Sejumlah letusan senjata, mewarnai ketegangan situasi itu dibeberapa tempat. Mereka sengaja memancing dan menunggu reaksi orang-orang di dalam pondok. Setelah tak ada reaksi, mereka berkesimpulan bahwa Pondok Gontor sudah dijadikan markas tentara.

Pukul 17.00 WIB, mereka akhirnya menyerbu ke dalam pondok dari arah timur, kemudian disusul rombongan dari arah utara. Tak lama kemudian datang lagi rombongan penyerang dari arah barat. Jumlah waktu itu ditaksir sekitar 400 orang.

Dengan mengendarai kuda putih pimpinan tentara PKI berhenti di depan rumah pendopo lurah KH. Rahmat Soekarto. Mengetahui kedatangan tamu, lurah Rahmat menyambut tamunya dengan ramah, serta menanyakan maksud dan tujuan mereka.

Tanpa turun dari kuda, pimpinan PKI ini langsung mencecar lurah Rahmat. ”Pertama, kami datang untuk menemui pimpinan pondok. Kedua, kami mohon diizinkan untuk meriksa seluruh isi pondok” sergahnya kasar.

Kemudian mereka meninggalkan rumah lurah Rahmat, nekat masuk tempat tinggal santri, lalu berteriak-teriak mencari kyai Gontor. ”Endi kyai-ne, endi kyai-ne? Kon ngadepi PKI kene …” (Mana Kyainya, mana kyainya? Suruh menghadapi PKI sini…).

Mengacak-acak Isi Pesantren

Karena tak ada sahutan, mereka pun mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri terbuat dari bambu dirusak. Kasur-kasur dibakar, buku-buku santri dibakar habis. Peci, baju-baju santri yang tidak terbawa, mereka bawa ke pelataran asrama.

Mereka menginjak-injak dan membakar sara peribadatan, berbagai kitab dan buku-buku. Termasuk beberapa kitab suci Alquran mereka injak dan bakar.

Suasana begitu mencekam. PKI pun kembali ke rumah lurah Rahmat, lalu berusaha masuk ke rumah untuk membunuh KH. Rahmat Soekarto. Mereka sambil teriak “Endi lurahe? Gelem melu PKI po ra? Lek ra gelem, dibeleh sisan neng kene…!” (Mana lurahnya? Mau ikut PKI apa tidak? Kalau tidak mau masuk anggota PKI, kita sembelih sekalian di sini).

Namun, tak berapa lama sebelum mereka bisa masuk kerumah lurah Rahmat. Datanglah laskar Hizbullah dan pasukan Siliwangi. Pasukan itu dipimpin KH. Yusuf Hasyim, putra bungsu KH. Hasyim Asy’ari.

Pasukan PKI itu akhirnya lari tunggang langgang, karena serbuan itu. Mereka meninggalkan apa yang mereka bawa dan akhirnya membiarkan Gontor dalam keadaan porak poranda.

Kejahatan, kezaliman PKI itu bukan hanya isu semata. Tetapi fakta sejarah di negeri ini. Bagaimana dengan kata-kata dan perbuatan mereka membuat berbagai kerusakan. Bahkan mereka banyak melakukan kezaliman terhadap kaum muslimin di negeri ini.

Generasi muda merupakan pelanjut estafet perjuangan ini. Sudah selayaknya untuk memahami sepak terjang kejahatan PKI. Orang bijak adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari kejadian di masa lalu. Agar Jangan sampai terjerumus kedalam lubang yang sama. Wallahu Ta’ala ‘Alam (*)

Sumber: Majalah An-Najah

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *