Menghadapi Ketidakpastian

Ilustrasi penyebaran virus corona dari China ke berbagai negara di dunia. (Foto/istockphoto)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Arif Satria, Rektor IPB

Saat ini kita merasakan apa itu ketidakpastian. Covid-19 yang menjadi pandemik global benar-benar membuat penjuru dunia dihantui ketidakpastian. Kecemasan kolektif terus meningkat. Kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi hari ini dan kejutan-kejutan lain di waktu mendatang. Ketidakpastian terjadi ketika kita tidak mampu memprediksi tindakan-tindakan kita. Tugas kita adalah membuat ketidakpastian menjadi kepastian. Kapasitas dan kapabilitas adalah kunci mentransformasi ketidakpastian menjadi kepastian. Ketidakpastian akan berlangsung lama di kala sesuatu itu baru dan kita tidak punya pengetahuan tentangnya. Sebaliknya ketidakpastian segera berlalu di kala kita memilliki pengetahuan dan kemampuan menghadapinya. Ini persis rumus menghadapi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) yang harus diubah menjadi VUCA (Vision, Understanding, Clarity, Agility). Satu kata kunci menghadapi ketidakpastian adalah dengan “Understanding”, yang tentu menuntut sejumlah informasi dan pengetahuan sehingga kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Covid-19 adalah sumber ketidakpastian. Orang tahu virus ini, namun belum tahu vaksin untuk mengatasinya. Inilah pemicu kecemasan atas ketidakpastian ke depan. Di sinilah kita dituntut untuk cepat paham apa dan mengapa terjadi. Kecepatan pemahaman ini akan menentukan kecepatan kita menciptakan kepastian. Karena itu ada beberapa kata kunci yang penting untuk kita kembangkan menghadapi ketidakpastian pasca Covid-19 ini.

Pertama, menjadi pembelajar yang lincah (agile learner). Untuk mendapatkan “understanding”, simaklah kata-kata futurolog Alvin Toffler, “the illiterate of the 21st century will not be those cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn”. Menghadapi dunia yang volatile seperti ini diperlukan kelincahan tersendiri sebagai pembelajar. Orang bermental pembelajar yang lincah akan cepat tahu apa yang terjadi dan cepat memberi solusi. Pembelajar yang lincah akan memiliki growth mindset dan bukan fixed mindset. Konsep growth mindset menggambarkan cara berpikir yang terus tumbuh berkembang mengikuti perkembangan situasi, termasuk keberanian meninggalkan cara berpikir lama. Karena yang dihadapi adalah situasi baru maka harus disikapi dengan cara berpikir baru. Sebaliknya fixed mindset menggambarkan stagnasi cara berpikir karena tidak ada perubahan cara berpikir ketika menghadapi situasi yang berubah dengan cepat. Jadi, cara berpikir lama dipaksakan untuk melihat sesuatu yang baru yang tentu kurang pas. Ibarat orang sekarang memaksakan disket ke orang lain di kala semua orang sudah menggunakan cloud. Fixed mindset tidak berkembang sementara cakupan dan kedalaman masalah selalu berkembang.

Kita beruntung karena kini para ilmuwan banyak yang telah menjadi pembelajar yang lincah. Dalam waktu 3 bulan, banyak penemuan baru untuk atasi Covid-19. Padahal Covid-19 adalah baru. Pembelajar yang biasa-biasa saja tidak akan mampu secepat ini. Pembelajar yang lincah adalah pembelajar yang selalu respon terhadap perubahan. Menurut Charles Darwin orang seperti itulah yang akan bisa bertahan. Darwin mengatakan, “It is not the strongest species that survive, nor the most intelligent, but the ones who are most responsive to change“. Pembelajar yang lincah berpotensi menjadi kelompok inovator yang siap merespon perubahan. Inilah yang saat ini menjadi inti dari perubahan kurikulum IPB 2020 (K2020) yang diharapkan menghasilkan banyak pembelajar yang lincah.

Kedua, mental pembelajar adalah modal untuk membentuk masyarakat pembelajar, yang dicirikan suasana saling menginspirasi. Inspirasi adalah proses menggugah orang lain untuk berpikir dan bertindak. Bayangkan bila kebanyakan orang memiliki ide dan karya yang inspiratif, yang artinya membuat orang lain tergugah melakukan hal yang sama. Bila masyarakat pembelajar terwujud maka bangsa ini akan kaya inovasi, dan inovasi ini modal pemecahan masalah dan pilar penting ekonomi masa depan. Ciri masyarakat pembelajar akan terlihat dari narasi-narasi yang dibangun di media sosial: apakah berisi narasi-narasi inspiratif yang membangun optimisme ataukah berisi narasi-narasi menebar ketakutan dan membangun pesimisme. Tentu masyarakat pembelajar akan cenderung mengisi ruang publik dengan menebar optimisme. Optimisme merupakan energi positif yang mampu mendorong perubahan dari ketidakpastian menuju kepastian.

Dalam situasi pandemik Covid-19 ini semangat untuk saling menyemangati dan menginspirasi sangat diperlukan. Ini merupakan energi sosial yang dahsyat untuk mengatasi Covid-19. Tubuh saja secara biologis sangat tergantung dari mindset dan sugesti. Mindset yang berujung pada pesimisme, kecemasan, dan ketakutan akan menurunkan daya tahan tubuh. Sebaliknya mental positif, imajinasi positif dan optimisme akan menyumbang kekuatan tubuh. Begitu pula kondisi masyarakat, yang semestinya diperkuat dengan semangat dan ide-ide optimistik sehingga ketahanan sosial akan semakin tinggi. Ketahanan sosial akan menjadi pilar dalam melawan sumber-sumber ketidakpastian, seperti Covid-19 ini. Karena itu berbagai upaya teknis mengatasi Covid-19 harus dilengkapi dengan penguatan modal sosial.

Ketiga, membangun kekuatan kolaborasi. Menghadapi ketidakpastian tidak bisa sendiri-sendiri. Ketidakpastian bisa berubah menjadi kepastian kalau kolaborasi seluruh komponen tercipta. Menghadapi Covid-19 dokter tidak bisa sendiri, perlu ahli biofarmaka, ahli kesehatan masyarakat, ahli bioinformatika, perawat, dokter hewan, ahli komunikasi, psikolog, ekonom, dan lain sebagainya. Pemerintah pusat juga tidak bisa sendiri, perlu pemprov, pemkot, pemkab, DPR RI, BPK, Polri, TNI, akademisi, LSM, tokoh agama, dan swasta. Kolaborasi adalah cara menyatukan potensi dan kekuatan, apalagi dalam dunia yang penuh kompleksitas dimana masalah tidaklah mengandung satu variable lagi tapi multi variabel. Menghadapi masalah yang multi variabel dan terkait satu sama lain memerlukan kolaborasi yang lebih kuat. Contoh yang baik adalah inisiasi BRIN untuk memperkuat konsorsium riset Covid-19, dimana IPB berkolaborasi dengan UI berusaha menemukan obat herbal untuk mengatasi Covid-19. Persisnya adalah riset dalam bidang bioinformatika untuk menemukan bahan herbal sebagai kandidat potensial untuk antivirus bagi coronavirus melalui analisis big data dan machine learning serta metode pemodelan molekuler. IPB pun di dalamnya terdiri dari para ahli lintas disiplin ilmu dari Pusat Studi Biofarmaka dan Departemen Ilmu Komputer. Saatnya riset interdisiplin dan transdisiplin semakin diperkuat, dan lagi-lagi memerlukan prasyarat kolaborasi.

Keempat, siap dengan fleksibilitas. Rumus menghadapi ketidakpastian adalah fleksibilitas. Salah seorang pakar pernah mengatakan “strategy is a journey”. Tidak ada strategi yang sifatnya permanen, lebih-lebih di era VUCA ini. Strategi bisa berubah di tengah jalan. Perubahan yang begitu cepat memerlukan fleksibilitas. Apa yang sekarang kita lakukan melalui pembelajaran jarak jauh akibat kebijakan kampus close down akibat Covid-19 adalah bentuk fleksibilitas. Pakemnya mahasiswa masuk ruangan kelas, dosen berdiri di kelas dengan LCD dan papan tulis dengan jadwal yang ketat. Semua harus synchronous. Namun, saat ini kita dipaksa untuk berubah dengan pola pembelajaran yang sama sekali berbeda. Kegiatan belajar mengajar bisa synchronous atau asynchronous. Tidak perlu papan tulis dan Tidak perlu LCD. Yang diperlukan adalah akses internet. Ini tidak mudah karena pola bisa berubah tapi learning outcome harus tercapai. Sebelum ada kasus Covid-19, introduksi blended learning dilihat sebelah mata. Bahkan tidak sedikit yang menentang. Namun kini mau tidak mau dan suka tidak suka pola online harus dilakukan. Begitu pula kampus terpaksa close down dan dosen dan tenaga kependidikan bekerja dari rumah. Kini dipaksa rapat secara online. Rapat tidak lagi harus kumpul di satu ruangan. Rapat bisa dimana saja dan kapan saja. Jadi fleksibilitas yang kita alami sekarang adalah by accident dan bukan by design. Namun demikian, dalam konteks ini, hikmah yang bisa diambil dari kasus Covid-19 adalah kerelaan kita semua untuk berada dalam dunia yang fleksibel.

Keempat kata kunci di atas adalah upaya minimal untuk menghadapi ketidakpastian. Keempat hal tersebut harus dilengkapi dengan skill manajemen risiko. Risiko adalah potensi masalah yang akan muncul di kemudian hari. Karena itu identifikasi risiko menjadi penting agar dipersiapkan langkah-langkah untuk menjamin bahwa tujuan dan target bisa kita capai. Pencapaian tujuan dan target ini adalah ikhtiar mewujudkan kepastian. Namun demikian, kepastian dan stabilitas bersifat relatif dan sementara. Bukan tidak mungkin muncul sumber-sumber baru ketidakpastian karena memang hal ini bukan hal yang bisa kontrol. Apapun bentuk dan sumber ketidakpastian, yang penting adalah kesiapan kita untuk selalu optimis menghadapinya dan mampu mentransformasi ketidakpastian menjadi kepastian. Optimisme ini penting, karena Tuhan akan bertindak sesuai prasangka hamba-Nya. (*)

(Bogor, 27 Maret 2020)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *