Perbedaaan Data Kematian, Kenapa Bisa Terjadi?

Chazali H. Situmorang. (Foto: Indopos)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh : Dr. Chazali H. Situmorang, APT, M.Sc* 

Media cetak harian nasional (Tempo)  yang terbit Kamis (16/4/2020), menulis berita “Dunia Kematian Jadi Akrab”. Intinya menyebutkan jumlah pemakaman dengan standar tata cara Covid-19 di Jakarta sejak awal Maret lalu  hingga pertengahan April telah mencapai seribu lebih. Angka itu jauh melampui data kematian nasional akibat  virus Corona. Sebagian besar pasien yang meninggal belum dites.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kondisi hari ini sejalan dengan analisis saya pada tulisan tanggal 27 Maret 2020, berjudul: Case Fatality Rate, bagaimana kecenderungannya?.  http://www.jurnalsocialsecurity.com/kebijakan-publik/case-fatality-rate-bagaiman kecenderungannya.html

Ternyata jumlah yang meninggal dan terinfeksi meningkat tajam, sedangkan yang sembuh sudah lebih tinggi  dari yang meninggal dunia.

Kita cermati ke belakang, Kamis 26 Maret 2020, terinfeksi 893 orang bertambah 103 orang (kenaikan 13 % dibanding sehari sebelumnya), dan meninggal 78 orang  bertambah 20 orang, dan 35 orang sembuh. CFR-nya 8,7% , naik lebih dari 1 digit dibanding hari Rabu sebelumnya.

Hari ini per 16 April 2020, terinfeksi 5.516 orang, bertambah 380 orang dalam tempo 1 hari kemarin yang terinfeksi 5.136 orang, kenaikan 7%, sudah menurun secara persentase dibandingkan 26 Maret 2020, yaitu 13%. Adapun, kumulatif terinfeksi dalam jangka waktu 20 hari sebanyak 4.623 orang atau rata-rata 230 orang per hari. Dengan catatan fluktuasi angka itu juga tergantung kapasitas laboratorium PCR yang melakukan swab terhadap Pasien Dalam Pengawasan yang saat ini berjumlah 11.873 orang.

Bagaimana dengan Case Fatality Rate-nya. Kemarin jumlah kematian 469 orang, dan saat hari Kamis 16 April 2020, menjadi 496 orang, bertambah 27 orang ( 6%), artinya CFR-nya menurun 2,7% dibandingkan 20 hari yang lalu yaitu sebesar 8,7%. Bagaimana dengan angka kesembuhan. Cukup menggembirakan per 16 April 2020, naik menjadi 9%, dibandingkan kemarin sebesar 8%, bahkan meningkat tajam dibandingkan 20 hari yang lalu, hanya 3%.

Apa makna data di atas, bahwa mereka yang sembuh bertambah karena kecepatan dan cakupan tindakan medis yang semakin meluas baik fasilitas maupun tenaga medis yang terlibat. Peningkatan ketersediaan ventilator, laboratorim PCR dengan ketersediaan reagensia, sudah didistribusikan ke faskes yang ditunjuk dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium PCR.

Memang laju kesembuhan dari 3% ke 9% dalam rentang 20 hari, tidak seimbang dengan angka penurunan CFR hanya 2,7% dalam rentang waktu 20 hari ( 8,7% ke 6%).

Bagaimana dengan jumlah angka mereka yang terinfeksi virus Corona. Dengan angka kematian menjadi 380 orang per hari ini, kenaikannya hampir 4 kali lipat dibandingkan 20 hari yang lalu. Angka itu sejalan dengan  semakin bertambahnya yang diketemukan terinfeksi lebih 5000 orang.

Hal tersebut memberikan makna, bahwa proses penularan virus Corona maih berjalan sangat masif, dan cepat. Lihat saja angka ODP 169 ribu lebih, dan PDP , sebanyak hampir 12 ribu orang.

Upaya PSBB model Indonesia dengan sebanyak 8 pengecualian, mohon maaf sampai hari ini, belum terlihat penurunan angka mereka yang terinfeksi. Usahkan turun, datar pun belum, masih menanjak naik menuju puncak gunung (kurva).

Di satu sisi, perjuangan mati-matian dokter dan tenaga para medis, dan relawan kesehatan untuk menurunkan angka kematian dan meningkatkan angka kesembuhan sudah menunjukkan tren keberhasilan. Tetapi itu semua akan sia-sia saja, jika jumah mereka terinfeksi dan upaya memutuskan mata rantai penularan virus Corona tidak maksimal, dan ugal-ugalan.

Sudah banyak dokter yang tewas, mungkin lebih 27 orang, belum lagi para medis. Apakah mereka harus mati sia-sia karena ketidaksadaran masyarakat untuk melakukan physical distancing, dan banyaknya kelonggaran yang diberikan pemerintah, terutama kementerian yang menangani urusan transportasi. Pada hal Menhub sendiri hampir jadi korban Covid-19. Alhamdulillah selamat. Tolong Pak BKS kembali mengantorlah, ambil alih lagi jabatan Menhub, supaya  tidak banyak menimbulkan konflik dan gesekan di antara lembaga pemerintah pusat dan daerah.

Prof Yusril sudah mengatakan, jika ternyata kebijakan PSBB tidak efektif, maka sesuai dengan UU 6/2018, harus dilakukan Karantina Wilayah. Apakah Presiden mau mendengar saran Yusril, kita sulit meramalkan, walaupun beliau pendukung berat Presiden Jokowi waktu Pilpres.

Perbedaan Data Kematian

Soal perbedaan di Indonesia bukanlah persoalan yang aneh tapi nyata. Baca semboyan kita: Walau Berbeda, Tetapi Tetap Satu. Jadi perbedaan itu sudah kodrat bagi kita. Termasuk juga perbedaan data.

Data-data yang saya uraikan di atas adalah berdasarkan data resmi yang disampaikan Jubir Covid-19 Pemerintah, Achmad Yurianto. Disampaikan setiap hari, setelah pukul 12.00 siang.

Perbedaan yang mencolok adalah DKI Jakarta, diikuti Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat yang dilansir media cetak harian Tempo(16 /4/2020). Yang sangat spektakuler adalah perbedaan angka kematian di DKI Jakarta.

Data resmi menyebutkan per 15 April 2020, di DKI Jakarta, terinfeksi Covid-19, 2.474 orang. Jumlah kematian 242 orang, sembuh 164 orang. Tetapi dari data pemakaman yang dilakukan dengan tata cara bagi mereka yang terinfeksi Covid-19 ada sebanyak 1.035 jenazah.

Yurianto menyebutkan korban yang meninggal sampai 15 April 2020, di DKI Jakarta ada 242 orang. Ada selisih 793 kematian yang masih menimbulkan tanda tanya besar. Gara-gara data seperti ini, Anies sempat di-bully oleh mereka yang “membenci” Anies sampai ke ubun-ubun, lahir-batin, dan dunia-akhirat.

Yurianto menyatakan perbedaan data itu bisa terjadi karena basis waktu pengumuman yang tak seragam antara pemerintah pusat dan pemda. Selama ini pemerintah pusat mengumumkan perkembangan informasi harian setiap pukul 12.00 WIB.

“Ada daerah yang irisan waktunya jam delapan pagi. Pasti datanya berbeda,” ujar Yurianto. Menurutnya, Kemenkes mengumpulkan data sesuai dengan prosedur, yaitu menerima data dari hasil pemeriksaan PCR harian yang dikirim Dinas Kesehatan provinsi.

Namun pertanyaan besarnya, untuk DKI Jakarta di mana Kemenkes itu berada di wilayah DKI Jakarta, mungkinkan karena perbedaan jam melapor, menimbulkan perbedaan angka kematian sampai hampir 800 jenazah?.

Perlu ada keterbukaan soal data korban Covid-19 secara transparan, seperti yang dikatakan Presiden Jokowi dalam sidang Kabinet 3 hari yang lalu. Tentu karena sudah perintah, Menkes dan Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 patuh dan taat.

Hasilnya terjadi lonjakan angka, baik  yang terinfeksi, kematian, maupun yang ODP dan PDP. Jadi selama ini siapa yang menyembunyikan data tersebut. Mari kita tanya pada si Corona yang menimbulkan kematian manusia. (*)

*Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS

(Cibubur, 16 April 2020)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *