Merindukan Jusuf Kalla

Foto: Antara
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Anwar Saragih

Tepat pada hari ke-47, sejak Indonesia mengumumkan kasus infeksi virus corona pertama pada 2 Maret 2020 lalu. Pikiran dan memori saya kembali pada Muhammad Jusuf Kalla, wakil presiden terpilih dua kali tidak berturut Indonesia untuk periode 2004-2009 dan 2014-2019.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Jusuf Kalla (JK) adalah sosok politisi serbabisa yang piawai dalam menangani situasi kritis yang berkaitan dengan kemanusiaan. Entah itu untuk mendamaikan konflik atau mengatasi persoalan bencana.

Begitulah JK, bila kita membaca utuh curriculum vitae-nya yang dipenuhi agenda-agenda kemanusiaan.

JK adalah sosok dibalik suksesnya Perjanjian Malino I yang melibatkan orang-orang Kristen dan Muslim yang bertempur di Poso dalam konflik komunal dari tahun 1998 hingga 2001 (kerusuhan Poso). Kala itu, JK menyelesaikan persoalan Poso dengan kapasitasnya sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Kemudian JK dalam kapasitas Wakil Presiden RI pula, menjadi sosok di balik suksesnya Perjanjian Helsinki tahun 2005 sebagai jalan keluar perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Republik Indonesia. Waktu itu JK memakai argumen demi kemanusiaan dan kontruksi Aceh pasca Tsunami maka perdamaian harus segera terjadi.

Tidak hanya dalam kapasitas sebagai pejabat negara, pada tahun 2012 lalu sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI), JK bersama delegasi OKI bertemu Presiden Myanmar, U Thein Shein untuk membantu meredakan konflik yang terjadi antara masyarakat etnis Rohingya dan Rakhine, di Istana Kepresidenan di Nay Pyi Taw, Myanmar. Pun selanjutnya JK merupakan tokoh Asia pertama yang langsung melihat persoalan Rohingya.

Di masa mendampingi Presiden Jokowi (2014-2019), JK menjadi tulang punggung diplomasi luar negeri Indonesia dengan kehadirannya secara rutin dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama 5 (lima) tahun berturut.

Sehingga tidak berlebihan pula, jika ia meninggalkan legacy di memori kita bersama ; bahwa JK adalah “Bapak Perdamaian Indonesia”.

Kritik Jusuf Kalla

Sejak sebulan yang lalu, JK secara terbuka aktif melancarkan kritik pada pemerintah soal penanganan Covid-19 di Indonesia. JK menilai pemerintah terlalu lambat dalam memetakan masalah hingga berujung pada terlambatnya pula proses penanganan infeksi virus corona dengan baik dan tepat.

Pada bahasa dan komentarnya di media, JK terlihat gemas dengan tindakan pemerintah dalam merespon pandemi ini yang seolah ragu-ragu dalam memutuskan kebijakan yang menjadi prioritas, “apakah mendahulukan ekonomi atau kemanusiaan ?”.

Kritik terbaru JK ihwal kebijakan pemerintah soal berlangsungnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dinilainya tidak terlalu berpengaruh pada masyarakat. Yang mana hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang beraktivitas di luar dan situasi juga masih terlihat normal dengan penuh keramaian.

Hal ini pula yang menjadi kritik seorang JK, dengan logika dasar bahwa jarak memang tidak bisa diatur dengan sekadar imbauan. Perlu ketegasan pemerintah dalam pengaturan jarak fisik (physical distancing).

Pun maju-mundur kebijakan pemerintah soal larangan mudik di masa pandemi menjadi kritik JK lainnya, menunjukkan wajah kekuasaan yang semakin abu-abu dan tidak tegas soal penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.

Wajar JK terlihat meradang pada cara-cara pemerintah dalam mengatasi bencana ini. Sebab, ia tidak terbiasa dengan cara kerja yang tidak terukur dan lambat.

Alasannya JK dengan segudang pengalamannya dalam mengatasi krisis merupakan tipikal pemimpin yang mengambil keputusan dengan berpikir out of the box.

Pendekatan itu sering ia praktikkan dengan mencoba cara-cara baru dan inovatif kala mengatasi situasi sulit. JK kerap mengambil pendekatan yang berbeda dari yang biasa dilakukan dan tidak pernah dipikirkan oleh banyak orang.

Pendekatan ala JK itu sejatinya memang sangat diperlukan saat ini, dalam upaya menemukan ide-ide segar yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya terkait penanganan korban infeksi virus corona di Indonesia dengan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Merindukan Jusuf Kalla

Tanpa mengurangi rasa hormat pada eksistensi Kiyai Maruf Amin yang duduk di kursi nomor 2 kekuasaan tertinggi Indonesia. Sesungguhnya sekarang, kita sedang merindukan Jusuf Kalla untuk terlibat langsung mengatasi pandemi ini. Bukan sekadar memberikan kritik atau nasihat (advise) pada pemerintah tapi dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara.

Selain bisa mengambil langsung kebijakan, JK bisa menjadi sosok penyeimbang dalam tubuh kekuasaan yang hari-hari ini mulai banyak dikelola oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP).

Sebagai sesama senior dan satu partai pula di Golkar. JK adalah sosok sepadan sebagai alarm kebijakan yang diambil oleh LBP yang beberapa waktu terakhir mendapat sorotan publik karena dianggap mengambil porsi agak dominan.

Kehadiran JK bukan hanya untuk menyeimbangi sosok LBP, tapi juga untuk menambah energi bagi Presiden Jokowi yang mulai terlihat kelelahan mengatasi persoalan di istana; mulai dari saling bantah diantara menteri di kabinet, mengatasi kritik atas dirinya sendiri sebagai presiden yang dianggap lambat soal mitigasi Covid-19, kebijakan pembebasan Napi oleh menteri Yasonna Laoly hingga staf milenial presiden yang berulah dengan penyalahgunaan kekuasaan.

Kerinduan pada JK semakin memuncak saat banyak kebijakan yang deadlock di pemerintah pusat. Utamanya terkait relasi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam keputusan-keputusan strategis penanganan Covid-19.

Sesungguhnya JK merupakan sosok negarawan pemecah kebuntuan atas situasi yang amat sukar ini. Angka infeksi korban infeksi terus meninggi, pun jumlah kematian korban pandemi ini dari hari ke hari terus bertambah.

Memang benar, yang paling jauh saat ini adalah masa lalu dan yang paling dekat itu adalah kematian.

Mungkin mustahil berharap JK ada di kursi pemerintahan sebagai pejabat publik untuk ikut mengatasi pandemi ini. Terlalu jauh. Karena tak sedikit pula orang menganggap bahwa JK adalah masa lalu. Tapi konsekuensi atas dampak pandemi ini yaitu bertambahnya masyarakat yang meninggal semakin hari semakin banyak terwartakan.

Bukan bersikap pesimis, tapi begitulah fakta politik yang ada. Bahwa tanpa kehadiran JK, situasi pemerintahan Jokowi terlihat ada yang kurang. Utamanya dalam penanganan manajemen krisis bencana.

Sekali lagi, sesungguhnya saat ini kita sedang merindukan Jusuf Kalla.

Anwar Saragih adalah Penulis Buku Berselancar Bersama Jokowi

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *