Islam Indonesia: Role Model Bagi Dunia Islam

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Review Buku Denny JA: Jalan Demokrasi dan Kebebasan untuk Dunia Muslim

Oleh: Dr. Muhamad Syauqillah*

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Buku Denny JA bertajuk ‘Jalan Demokrasi dan Kebebasan Untuk Dunia Muslim: Indonesia Sebagai Model?’ pada halaman 2 mengutip Economist Inteligence Unit yang menyatakan bahwa Indonesia berada pada kluster ‘demokrasi setengah matang. Uniknya skor Indonesia (6,48), berada di bawah Tunisia (6,72). Angka ini menurut saya agak sedikit mengherankan, mengingat permufakatan kelompok nasionalis dan sekuler dalam pembahasan konstitusi secara intesif baru terjadi pada masa setelah Musim Semi Arab (Arab Spring) 2011.

Sistem demokrasi yang dianut oleh Tunisia pun ternyata masih menyisakan kerapuhan secara ekonomi. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonominya berkisar pada 1-3 persen selama tiga tahun terakhir.

Sedangkan di  Indonesia, pemufakatan berbagai kelompok ideologis telah ada sejak kemerdekaan. Dalam satu dekade terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada rata-rata 5 persen.

Lalu apakah Indonesia layak disebut sebagai model demokrasi di dunia Islam, padahal skor menurut Economist Inteligence Unit berada pada demokrasi setengah matang?

Kategorisasi seperti ini menarik apabila disandingkan dengan fakta kesejarahan. Setidaknya Indonesia memiliki kemampuan beradaptasi dengan kebudayaan lain.

Ini fakta yang sangat penting mengingat dibutuhkannya dialog kebudayaan dalam konteks demokrasi.

Ada beberapa pengalaman sejarah yang bisa kita uraikan. Ia merefleksikan karakter masyarakat Indonesia yang terbuka (open minded), antara lain;

Pertama, sejak Islam masuk ke Indonesia dan hingga saat ini menjadi agama mayoritas, selain karena keberhasilan metode penyebaran ajaran agama (dakwah), kemampuan menerima hal baru (ajaran) oleh masyarakat nusantara adalah faktor lain penentu keberhasilannya.

Kedua, selaras dengan penyebaran Islam di Nusantara, pencarian khazanah pengetahuan keislaman juga terjadi sejak berabad silam. Santri nusantara sudah belajar ke Mekah dan Madinah pada abad ke-17.

Bahkan pola pendidikan Islam di nusantara diinspirasi dan dipengaruhi juga oleh model pendidikan Islam dari Timur Tengah. Sebut saja Madrasah Nizamiyah, Khanqahs (tempat sufi), yang dalam tradisi Usmani dikenal medrese, tekke dan hanne.

Ketiga, ekspedisi pengetahuan masyarakat nusantara. Warga Indonesia juga menjadikan Barat sebagai negara tujuan belajar. Oei Jan Lee asal Banda Neira, Gondowinoto dan Soeroso kakak beradik, sebelumnya ada beberapa nama seperti Marcus de Royn (putra raja Kielang), Andrea de Castro, Laurens de Fretis dan Lauren Queljo, termasuk Raden Saleh. Mereka berpendidikan barat.

Mohammad Hatta pada kisaran tahun 1921-1932, salah satu tokoh proklamasi juga pergi ke Belanda guna menempuh pendidikannya, sekaligus mengatur strategi melawan kolonialisme.

Keempat, kontribusi sejarah. Abad 20 menjadi masa kelam Usmani karena kekuasaannya harus jatuh di masa itu. Kegagalannya memproyeksi kegemilangan kekuasaan melalui era Tanzimat (reformasi) pada abad ke-19 dan kekalahan Perang Dunia I, memaksa Usmani melepaskan sejumlah wilayah kekuasaannya, termasuk wilayah Hijaz.

Disintegrasi wilayah-wilayah koloni Usmani tak terelakkan. Koalisi Bani Saud bersama Wahabi (kelompok yang melakukan pemberontakan di Nejad pada era Usmani), mendirikan sebuah kerajaan, Arab Saudi.

Imbasnya, Raja memberlakukan aturan berdasarkan ideologi Wahabi. Salah satu amar putusannya adalah meniadakan makam Nabi Muhammad.

Melihat situasi Hijaz ini, para ulama nusantara bermusyarawarah, lalu diutuslah KH. Wahab Chasbullah untuk melobi Raja Arab Saudi dengan nama delegasi diplomatik ‘Komite Hijaz.’ Lobi berhasil dan hingga saat ini makam Nabi Muhammad masih bisa didatangi peziarah dari berbagai dunia.

Kelima, kemampuan Indonesia dalam melakukan sintesa produk peradaban lain. Tesvir Efkar, majalah Usmani yang didirikan oleh Ibrahim Sinasi pada 1862, menginspirasi KH. Wahab Chasbullah mendirikan Tashwirul Afkar, pada perkembangannya menjadi organisasi Nahdlatul Ulama. Selain Teşvir Efkar, terdapat Al Manar, jurnal yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridho pada 1898.

Majalah ini berisi tentang gagasan pembaharuan Islam dan modernisasi di dunia Islam. Majalah ini bersirkulasi hingga ke Indonesia, maka tidak heran jika gagasan Al Manar berpengaruh pada Perserikatan Muhammadiyah.

Interaksi yang bukan hanya sekadar interaksi semata, tetapi memberikan pengaruh pula pada pola gerakan sosial di Indonesia.

Keenam, sebagaimana halnya KH. Wahab Chasbullah melakukan sintesa peradaban, Sukarno dalam sejarah pembentukan negara Republik Indonesia, juga mengambil inspirasi Mustafa Kemal Ataturk (lihat buku Di Bawah Bendera Revolusi) yang menjadikan Altı İlke (enam prinsip-Republikan, Nasionalisme, Kerakyatan, Sekularisme, Kenegaraan dan Revolusioner) sebagai basis pijakan negara bangsa pasca Usmani.

Jika Republik Turki menggunakan Altı Ilke, di Indonesia pasca kolonialisme, Sukarno menawarkan Pancasila (lima prinsip), rumusan ideologi berbangsa berdasarkan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial.

Indonesia dan Turki; Perbandingan Politik

Perjalanan sejarah Republik Turki dalam konteks demokrasi, memiliki dinamika tersendiri. Sistem multi partai baru dimulai sejak tahun 1946. Sebelumnya, partai politik hanya tunggal, yaitu Cumhuriyet Halk Partisi, partai yang berpedoman pada doktrin Ataturk.

Sistem multipartai membuat CHP harus merelakan kekuasaan dominasinya terbagi ke dalam beberapa partai politik. Ini berbeda dengan Indonesia yang telah mengenal sistem multipartai persis di masa pasca kemerdekaan.

Pemilu Indonesia tahun 1955 telah diikuti 36 partai politik. Agak berbeda, saat Indonesia dipimpin Orde Baru, di mana fusi partai politik hanya menyisakan 3 partai politik, dan era reformasi kembali dalam praktik sebelumnya, lebih dari 3 partai politik.

Ada dua hal yang menarik menilik sistem kepartaian dan pemilu di Turki; Pertama, sistem kepartaian dan pemilu memiliki ambang batas parlemen sebesar 10 persen, jauh dibandingkan Indonesia yang hanya 4 persen. Hal ini berdampak pada stabilitas politik di parlemen dan peta koalisi dan oposisi pemerintahan. Berbeda dengan Indonesia, di mana terdapat koalisi pelangi.

Kedua, kekuatan oposisi. saat ini kubu oposisi utama adalah Partai Rakyat Republik (CHP-Partai berhaluan Kemalisme), dengan koalisi partai penguasa, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan Partai Gerakan Nasionalis (MHP).

Sejak 2002 AKP berkuasa, CHP setia pada haluan oposisi. Pemandangan berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, sejarah politik pasca-reformasi di Indonesia, partai politik silih berganti memegang kekuasaan, tidak ada satu partai pun bersedia menjadi oposisi sejati (permanen) di luar pemerintahan.

Sebagai contohnya adalah Partai Gerindra dan PKS. Gerindra pasca Pemilu 2019, bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo, dan PKS, sebelum 2014 ikut menjadi bagian pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, namun saat ini menjadi oposisi kritis pemerintahan Jokowi.

Konstalasi politik yang demikian menyehatkan bagi demokrasi, karena demokrasi membutuhkan check and balances.

Sirkulasi elite di Turki bukan hanya menggunakan mekanisme pemilu, beberapa kali terjadi kudeta-uji coba kudeta juga pernah terjadi di Era Usmani, Jennisari berusaha mengambil kekuasaan Sultan Abdul Azis pada abad 19.

Sepanjang sejarah Republik Turki, kudeta tercatat terjadi pada tahun 1960, 1970, 1980, 1997 dan terakhir percobaan kudeta militer terjadi di tahun 2016. Sebagaimana juga Turki, Indonesia memiliki sejarah kelam, pemberontakan Gerakan 30 September 1965.

Proses transfer kekuasaan dari Sukarno ke Suharto berlangsung secara tidak normal, tidak menggunakan pemilu.

Dari sisi pelembagaan infrastuktur politik, Turki telah mengubah sistem pemerintahannya dari parlementer ke presidensial melalui referendum pada 2017, setelah sebelumnya yakni pada 2014 menggelar pemilihan presiden secara langsung. Sistem presidensial Turki memberikan kewenangan luas bagi Presiden sebagai eksekutif pemerintahan.

Sebelum diberlakukannya Sistem Presidensial di sana, salah satu lembaga think tank, yang berafiliasi dengan Erdogan, menjadikan Indonesia sebagai salah satu rujukan studi menyoal implementasi sistem presidensial.

Selain dinamika politik, partai politik dan pelembagaan infrastruktur politik, Turki dan Indonesia juga diwarnai dengan isu self determination, Indonesia berhasil melokalisir masalah Aceh sebagai masalah internal pasca Tsunami Aceh dengan perjanjian damai Helsinki.

Demokrasi Indonesia diramaikan oleh partai lokal dan pemberlakuan hukum Islam di Aceh. Namun sayangnya, jika kita melihat isu self determination di Turki, konflik Turki dengan Partai Pekerja Kurdi (PKK) masih belum usai hingga saat ini, kendati upaya damai (Barıs Süreci-masa damai) pernah diupayakan pada 2013.

Surplus Demokrasi Indonesia

Meminjam istilah Alfred Stepan, Indonesia telah berhasil mempraktikkan apa yang disebut dengan twin toleration, di mana agama dan negara dapat hidup berdampingan dan saling berinteraksi tanpa harus menegasikan antara satu dengan lainnya. Indonesia, sejak awal berdiri sebagai negara, tidak mengesampingkan peran agama dalam negara.

Berbanding terbalik dengan Turki yang sama sekali memisahkan urusan agama dengan urusan negara (sekularisme). Meski hari ini telah berubah, dari sebelumnya bercorak laicite ala franca, dua dekade terakhir, Turki mengubah langgam sekularismenya, dari aktif sekularisme menjadi pasif sekularisme.

Betapapun demikian, Turki memiliki catatan demokrasi saat ini, di mana kekuasaan terpusat pada Erdogan dan keterlibatan keluarganya di pemerintahan serta isu Fetullah Gulen dan pengikutnya yang diduga terlibat dalam percobaan kudeta 2016.

Finally, mengacu pada penjabaran fakta di atas, Indonesia dinilai telah memenuhi syarat untuk menjadi role model demokrasi di dunia muslim. Tak berlebihan jika kelak Indonesia dijadikan rujukan oleh negara-negara muslim dunia, terkhusus untuk demokrasi dan kebebasan.

Sisi pengalaman dan sejarah masa lalu Indonesia sebagai entitas, telah dengan jelas menunjukkan kemampuan Indonesia berikut rakyatnya dalam beradaptasi dan mensintesakan peradaban lain.

Kemapanan institusi politik Indonesia juga menjadi hal yang tak kalah penting sebagai faktor penunjang kelayakan Indonesia menjadi model dunia muslim.

At last, Indonesia telah berhasil memosisikan dirinya sebagai aset dalam pembangunan negara dan bangsa. Itu artinya Indonesia telah sukses menjawab pertanyaan klasik namun sulit dijawab, yaitu bersandingnya negara dan agama.

***

*Dr. Muhamad Syauqillah

Doktor Alumni Ilmu Politik pada Universitas Marmara Istanbul Turki, lulusan tahun 2016 ini adalah alumni Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia dan juga Alumni Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saat ini selain menjadi dosen tetap Kajian Timur Tengah dan Islam, Syauqi begitu sapaan akrabnya, merupakan Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *