Pertamina, Shell, Total, BP dan Praktik Layaknya Kartel

BBM di SPBU Pertamina. (Foto: Merdeka)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Iman Sulaeman, jurnalist TVOne.

Praktik layaknya kartel begitu terasa dalam penjualan BBM nonsubsidi di Indonesia, di tengah anjloknya harga minyak dunia saat ini.  Namun sayangnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU hanya bisa “mengendusnya” saja, tidak lebih!

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Lembaga ini memang selalu kesulitan membuktikan aksi itu, apalagi harus menjatuhkan “hukuman.” Sebut saja tahun 2009 dan 2014, semua berlalu begitu saja.

“Praktik kartel” dalam penjualan BBM nonsubsidi di Indonesia memang seperti “kentut.” Tercium bau busuknya, namun tak pernah terlihat wujudnya.

Apalagi kalau kita hanya mendefinisikan kartel menurut Samuelson dan Nordhaus (2001: 186), “Cartel is an organization of independent firms, producing similar products, that work together to raise prices and restrict outputs”.

Atau seperti yang disampaikan Richard Postner dalam “Economic Analysis of Law” (2007: 279),  “A contract among competing seller to fix the price of product they sell (or, what is the small thing, to limit their out put) is likely any other contract in the sense that the parties would not sign it unless they expected it to make them all better off”.

Jika hanya itu saja yang dijadikan “landasan,” tanpa keberanian lebih untuk masuk dan melihat “praktik kartel” dalam penjualan BBM nonsubsidi di Indonesia, maka dapat dipastikan hasil investigasi yang dilakukan akan sia-sia belaka.

Karena faktanya Pertamina, Shell, Total, dan BP, dan lain-lain sebagai penjual BBM nonsubsidi di Indonesia tidak pernah “bersepakat” untuk mengatur harga dan produk yang dijualnya. Walaupun terlihat sama-sama “kompak” untuk tidak buru-buru menurunkan harga jual BBM-nya, meski harga minyak dunia sudah sangat rendah.

Mereka berdalih semata-mata hanya menjalankan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020, yang diteken 28 Februari 2020 dan berlaku 1 Maret 2020 lalu. Aturan ini pun menghapus ketentuan batas bawah harga.

Kepmen ESDM ini sekaligus juga “membebaskan” para penjual BBM nonsubsidi di Indonesia dari jeratan-jeratan  pasal di Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha.

Intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar inilah yang membuat masyarakat sangat merasakan “praktik kartel” yang terjadi dalam penjualan BBM nonsubsidi di Indonesia, sehingga harus membayar lebih mahal untuk setiap liter yang dibelinya.

Penguasa yang kerap “ikut campur” terlalu dalam terhadap suatu kegiatan ekonomi sesungguhnya sedang memberi pesan kepada “dunia,” bahwa usaha yang sedang berjalan tidak kompetitif,  tidak efisien dan produktif,  tidak inovatif dan kreatif, dan segudang masalah lainnya. (*)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *