In Memoriam Djoko Santoso: IPHI adalah Pasukan Elite Umat Islam

H. Djoko Santoso saat memberikan sambutan di Rakernas IPHI Jakarta 2019
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



HAJINEWS.ID-Kita baru saja kehilangan salah satu putera terbaik bangsa yang juga Ketua Dewan Pembina Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia(IPHI),  Jenderal (Purn) TNI H. Djoko Santoso. Mantan Panglima TNI era Presiden SBY ini meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto Jakarta pada Ahad (10/5).

Ketika mendapat amanah sebagai Pembina IPHI, Pak Djoksan- begitu akrab dipanggil- pernah menyatakan bahwa para pengurus IPHI adalah pasukan elite umat Islam.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pasukan elite inilah yang hendaknya mampu membawa kehidupan umat Islam Indonesia menjadi umat yang benar-benar merdeka, meningkat harkat dan martabatnya serta kesejahteraannya. Perjuangan IPHI dengan ilmu agama dan ilmu dunianya diharapkan menjadi berkah dan membawa kemabruran haji di tengah-tengah masyarakat. “IPHI harus memerangi kemiskinan dan kebodohan,” katanya ketika itu.

Harapan inilah yang kemudian diterjemahkan Ketua Umum IPHI H. Ismed Hasan Putro dengan mengembangkan program ekonomi dana keumatan. Fokusnya adalah kesehatan dan pangan. Antara lain membangun 100 klinik di berbagai daerah untuk para alumni haji dan masyarakat umum lainnya, juga 100 warung haji untuk mengamankan pangan umat. Saat ini yang sudah berjalan adalah pemenuhan beras haji dan air mineral.

Apa yang dicita-citakan H. Djoko Santoso melalui IPHI, terkait dengan latar belakangnya sebagai tentara. Ia menjabat Panglima TNI sejak 28 Desember 2007 hingga 28 September 2010. Sebelumnya Djoko pernah menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat dari 18 Februari 2005 hingga 28 Desember 2007.

Almarhum Djoko Santoso, lahir 8 September 1952 (usia 67 tahun), di Surakarta.Isterinya Angky Retno Yudianti, dengan putra Pratama Ardya Setyawati dan Puragabaya Pandu Andika. Djoko Santoso juga menulis buku Menggagas Indonesia Masa Depan.

Jend Purn TNI H. Djoko Santoso (Kolase)

Sebagai anak  sulung dari sepuluh bersaudara, yang lahir dari pasangan Djoko Soejono (Alm) dan Soelani, ini memang dikenal beretos kerja tinggi sejak remaja. Lahir pada 8 September 1952, di tengah keluarga besar dengan penghasilan pas-pasan, membuat Jenderal TNI (Purnawirawan) Djoko Santoso tegar dan sadar diri sejak dini.

Sebagai seorang guru SMA, ayah Djoko terbilang sukses mendidik ke sepuluh anaknya hingga menjadi panutan banyak keluarga di desanya, atau bahkan di negeri ini. Ibunya yang pedagang gerabah juga berhasil menanamkan jiwa kemandirian dan wirausaha bagi anak-anaknya. Djoko kecil pernah memanfaatkan orang antri di kantorpos dengan berdagang kartu lebaran.

Keprihatinan hidup keluarga itu pulalah yang mendorong Djoko Susanto untuk masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) yang kini berganti nama menjadi Akademi Militer (Akmil). Selepas SMA pada tahun 1975, Djoko berhasil masuk Akabri, dan mulai mendedikasikan hidupnya untuk Negara.

Cermin Reformasi TNI

Di sela pengabdiannya di dunia militer, Djoko Santoso juga sempat mengenyam pembelajaran politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tahun 1992- 1995, Djoko ditugaskan menjadi Anggota DPR RI dari Fraksi ABRI. Saat itu Rezim Orde Baru memang memberi kuota khusus bagi kalangan militer, untuk memiliki perwakilan di DPR.

Untuk mematangkan visi politiknya, Djoko pun menyempatkan diri kuliah di Jurusan Sospol Fisip yang dilanjutkan di Magister jurusan Manajemen. Selepas berkarier di DPR, Djoko Santoso kembali ke barak dan bertugas di bidang intelijen ketentaraan, hingga menjadi Wakil Asisten Sosial Politik Kepala Staf Territorial TNI pada tahun 1998.

Dalam lingkaran sosial keagamaan dan kependidikan, ayah dua anak ini pernah menjabat Ketua Umum Persatuan Bulutangkis Indonesia (PBSI), Pandu Petani Indonesia (PATANI) hingga Wakil Ketua Dewan Penasihat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI). Selain itu banyak organisasi dan lembaga sosial yang dipimpinnya sebagai ajang pengabdian.

Bahkan ketika menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD), tahun 2005 lalu,  Djoko  mendirikan Patriot Leadership Development Centre (PLDC). Lembaga itu, kata Djoko, merupakan sebuah pusat pengembangan calon pemimpin pada tingkat nasional yang memiliki keunggulan dan diapresiasi secara internasional.

Humanis dan Bersih KKN

Humanisme suami dari Angky Retno Yudianti ini memang tertanam sejak dini. Riwayat hidup sang Jenderal yang penuh keprihatinan, membuatnya peka terhadap pentingnya membela hak dan keadilan masyarakat. Dalam rekam jejaknya sebagai ADC PANGDAM I/Bukit Barisan (1978), hingga Panglima TNI (2007), Djoko dikenal piawai menyelesaikan konflik antara sesama masyarakat sipil, maupun antara sipil-militer dengan pendekatan yang arif dan berkeadilan.

Saat ia ditugaskan menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Konflik di Maluku (2002-2003) misalnya, ia berhasil meredam perang berbau SARA, dengan pendekatan tradisi masyarakat setempat. Pun ketika terjadi perebutan tanah antara warga dengan TNI, yang notabene berada di wilayah kekuasaanya, Djoko tak menggunakan kekuatan militernya untuk menundukkan masyarakat sipil. Bahkan, setelah terbukti bahwa tanah itu memang tanah warga, ia rela membayar ganti rugi bagi warga setempat.

“Baru kali ini dalam hidup saya melihat seorang jenderal menangis! Saya bisa melihat air mata beliau yang keluar secara spontan dan tidak dibuat-buat karena di tempat itu hanya ada saya dan beliau. Mana Ibu itu? Itu pak di sana. Tanpa babibu dan basa basi dikeluarkannya uang  dari dompetnya dan dikasih ke Ibu itu. Ibu… Ini ada sedikit uang untuk membantu biaya operasi anak Ibu… Terus Pak Djokonya turun tangga,” papar sang Mahasiswa dalam blognya, http://arifrohmansocialworker.blogspot.com.

Kesahajaan Djoko dan sikap Humanisnya itu juga diceritakan banyak tokoh lain, seperti DR HM Attamimy, Mantan Ketua Satgas Amar Na’ruf Nahi Munkar Muslimin Maluku, dan Uskup Amboina, Mgr.P.C Mandagi, hingga Mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Attamimy yang kini menjabat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Maluku bahkan sempat menuliskan buku khusus tentang kepiawaian Djoko Santoso dalam mendamaikan konflik SARA di Ambon (2001-2003). Buku berjudul Merajut Harmoni di Bumi Raja-Raja, yang ditulisnya tahun 2004 lalu itu mengulas keteladanan Djoko Santoso yang dinilainya telah mencetak sejarah di negeri ini, dengan meletakkan dasar-dasar perdamaian di Maluku dan Maluku Utara.

Selaku Panglima Perang, ketegasan Djokowi juga tak diragukan. Seperti Umar Bin Khattab, Ia bahkan tak segan menghukum anak buahnya yang terbukti turut serta dalam mengobarkan konflik berdarah di Ambon. Ia juga rela naik gunung bersama stafnya, untuk mencarikan sumber air bagi masyarakat yang kekeringan.

Belas kasihnya yang selembut Sahabat Nabi Abu Bakar Siddiq itu kemudian, membuat masyarakat terhenyak dan merasa sedih ketika Djoko meninggalkan Maluku untuk mengemban Panglima Kodam Jaya (Pangdam Jaya). Keteladanan Sang Jenderal ini pula yang menginspirasi Hikmat Israr, seorang Kolonel yang sempat turut serta mendampingi Djoko Santoso di Maluku, untuk menulis sebuah buku berjudul Meninggalkan Ambon dengan Kepala Tegak.

Sejumlah pengamat militer dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) pun mengakui, bahwa sepanjang kariernya sebagai Panglima Komando di berbagai daerah Konflik, hingga karier puncaknya di Militer sebagai Panglima TNI, Djoko Santoso dinilai bersih dari isu pelanggaran HAM. Teristimewa lagi, Djoko juga jauh dari persoalan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Komitmennya terhadap Reformasi TNI juga ditunjukkan ketika ia menjabat sebagai KASAD dan Panglima TNI. Ia memastikan netralitas TNI dalam Pemilu tahun 2009, menegaskan sikap anti KKN nya dengan melarang keluarganya bergelut di dunia bisnis di lingkungan TNI. Ia juga  menelurkan konsep Trisula, sebagai pengganti Dwitunggal ABRI, yang menitikberatkan peran TNI sebagai penjaga pertahanan NKRI yang bertumpu pada kepentingan rakyat.

Selamat jalan Pak Djoksan! Semoga perjuangan almarhum Jenderal Purnawirawan TNI H.Djoso Santoso diterima di sisi Allah SWT, diampuni dosanya dan mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT, aamiin.

Rumah duka: Jl.Bambu Apus No.100 Cipayung, Jakarta Timur.

(fur/dari berbagai sumber).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *