MUI Jatim Surati Kepala Daerah, Minta Masjid Difungsikan Kembali

Foto: Antara
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



SURABAYA, hajinews.id – Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur (MUI Jatim) menyampaikan hasil kajian dan evaluasi implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jatim. MUI berharap agar masjid-masjid segera berfungsi seperti sedia kala.

Alhamdulillah MUI Jatim tanggal 9 Ramadhan telah melakukan kajian dan evaluasi implementasi PSBB di Jatim, termasuk Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik,” ungkap  Sekretaris Komisi Dakwah MUI Jatim Fauzi Palestin,, Jumat (8/5).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dia menegaskan, jika hasil analisis dan evaluasi tersebut telah disampaikan kepada tiga kepala daerah wilayah PSBB meliputi Kota Surabaya, Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo serta Gubernur Jatim.

“Kita mengharapkan semoga masjid-masjid di Jatim segera berfungsi seperti sebelumnya, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, bahkan jamaah dari luar wilayah juga dapat masuk masjid dengan nyaman seperti sebelum masa Covid-19,” ujar Ustaz Fauzi.

Dengan demikian, umat Islam bisa kembali beribadah dengan khusyuk di seluruh masjid-masjid yang ada.  “Semoga para kepala daerah tersebut segera menindaklanjuti surat ini,” tandasnya.

Sebelumnya, selama pemberlakuan PSBB mulai 28 April 2020 telah dilakukan penghentian sementara kegiatan keagamaan di rumah ibadah dan pembatasan kegiatan tertentu.

Dalam surat edaran resmi MUI Jatim yang ditandatangani oleh Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur, KH.Abdusshomad Buchori tertulis jika pada tataran implementasi kebijakan PSBB, terdapat kasus-kasus di lapangan yang bisa kontra produktif dan memberikan citra yang tidak baik kepada pemerintah.

Misal, ketika dilakukan sweeping oleh aparat di tingkat bawah ke masjid dan mushalla. Langkah yang dilakukan oleh aparat di tingkat bawah ini justru menimbulkan ketakutan dan kepanikan masyarakat.

Berdasarkan survei dengan metode purposive sampling yang dilakukan oleh Satgas Covid-19 MUI Jatim terkait dengan poin 5 di atas, umumnya responden memandang bahwa kebijakan pemerintah menghentikan kegiatan ibadah di masjid/musala merupakan kegiatan yang tidak proporsional.

“Jalan berfikir mereka sederhana, kenapa kerumunan massa yang selalu jadi sorotan adalah rumah ibadah, di sisi lain di tempat-tempat kerumunan yang lain seperti pasar, pabrik, cafe, rumah makan terkesan masih longgar,” sambungnya.

Misal, suasana pasar masih tetap berjejal dan tidak ada peringatan signifikan yang dilakukan oleh aparat untuk mengingatkan, padahal tingkat risikonya justru lebih tinggi dibanding dengan rumah ibadah.

Sementara itu, di rumah ibadah seperti masjid /musala, justru telah menerapkan peraturan ketat untuk jamaahnya, seperti keharusan menggunakan masker, melakukan cuci tangan dengan sabun serta air mengalir, pengecekan suhu badan, telah mentoleransi pengaturan shaf dengan jarak (meskipun hal ini telah mentolerir hal yang penting).

Masjid juga telah membatasi jamaah hanya warga sendiri sehingga sampai-sampai ada masjid yang menerapkan absensi untuk jamaahnya.

Berdasarkan poin tersebut muncul benturan di tingkat lapisan bawah antara aparat termasuk perangkat desa, dengan warga masyarakat yang mencoba mempertahankan hak kebebasannya untuk menjalankan ibadah di rumah ibadah.

Tentu yang paling menjadi korban dalam hal ini adalah pejabat di tingkat paling bawah, yang dalam hal ini khususnya aparat yang ada di lapangan, termasuk kepala desa atau lurah.

Fakta lain yang juga menjadi temuan survei, banyaknya masjid di tepi jalan yang tutup, bahkan pagarnya pun terkunci. Sementara itu, kebijakan PSBB tidak bermaksud menghentikan sama sekali pergerakan orang.

Masih banyak orang berlalu lalang karena harus melakukan pekerjaannya sehingga masih tetap membutuhkan tempat untuk melakukan shalat di luar rumah.

Penetapan zona merah di suatu daerah dalam beberapa hal juga dipertanyakan, karena pada kenyataannya banyak fakta di daerah, begitu ada kasus positif di daerah tersebut langsung ditetapkan sebagai zona merah, sementara sebenarnya kasus positif masih dengan jelas dapat terlacak klasternya yang berasal dari luar daerah tersebut.

MUI Jatim menilai, jika fakta ini kemudian dijadikan alasan untuk menghentikan kegiatan di masjid, mushalla, surau, bisa menjadi blunder, dan mencederai nalar logis masyarakat.

Oleh karena itu, MUI Jatim menarik kesimpulan mengingat bahwa beribadah di masjid merupakan bagian dari hak dasar yang paling mendasar, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang hati-hati dan proporsional. Kebijakan yang tidak proporsional bisa batal demi hukum karena bisa dianggap melanggar konstitusi.

Terkait dengan kebijakan PSBB, Peraturan Bupati Sidoarjo No.32 tahun 2020 terlihat paling akomodatif dibandingkan dengan yang lain.

MUI Jatim memberikan saran agar penyelenggaraan kegiatan ibadah sebagaimana biasa, sedapat mungkin bisa tetap dilaksanakan dengan secara ketat memperhatikan protokol pencegahan penyebaran Covid-19 sesuai dengan ketentuan Fatwa MUI No. 14 tahun 2020 kecuali apabila ada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan dilaksanakan mengacu fatwa No. 14 tahun 2020.

Dalam keadaan tidak ada alternatif lain, misalnya dengan memperhatikan bahwa masjid yang dimaksud jamaahnya dari berbagai tempat yang sulit dikendalikan, sementara penyebaran virus susah diprediksi, sehingga perlu diterapkan kebijakan penghentian kegiatan ibadah di masjid untuk pencegahan penyebaran Covid-19, maka perlu pembicaraan dengan lembaga keagamaan, hal ini sesuai dengan klausul fatwa MUI No. 14 tahun 2020 poin 4.

MUI Provinsi Jawa Timur memberikan rekomendasi, jika dalam kondisi terpaksa hal ini harus dilakukan, masjid atau mushalla tetaplah dibuka untuk singgahan warga yang sedang ada di luar rumah karena masih bekerja, yang ingin menjalankan shalat, dan disediakan tempat untuk mereka serta disediakan fasilitas tempat cuci dengan sabun yang memadai.

Selain itu, seruan adzan sebagai tanda waktu masuk shalat masih tetap dilaksanakan, dan dilaksankan shalat berjamaah oleh orang-orang tertentu saja. Sementara pada masjid-masjid yang jamaahnya masih terkendali, yaitu masyarakat setempat, seyogyanya masih dapat dilakukan.

Mengingat pada kenyataannya masih banyak orang-orang yang karena suatu keadaan harus menjalankan tugas di luar rumah, namun karena seruan penghentian kegiatan ibadah di masjid-masjid, banyak masjid di jalan utama tidak hanya menghentikan kegiatan ibadah. Tetapi juga menutup rapat pagarnya sehingga orang-orang yang bekerja di luar rumah kesulitan menemukan tempat untuk menjalankan salat.

Hal ini tentu ironis di negara yang berdasarkan Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Karena itu, pemerintah perlu memberikan solusi terhadap masalah ini sebagai konsekuensi pelaksanaan pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Terakhir yang menjadi catatan dari evaluasi MUI, di Jatim terdapat kurang lebih 43.000 masjid dan 165.000 musala.

“Ini adalah potensi untuk media membangun kesadaran bersama mencegah penyebaran Covid-19. Jangan justru dimatikan dengan kebijakan menutup masjid mushalla, dan meredupkan syiarnya,” tegas Ustaz Fauzi.

Selanjutnya seruan gerakan bekerja di rumah dan beraktifitas di rumah, MUI Jatim berharap agar tetap dilakukan secara realistis. Artinya, jangan sampai seruan ini hanya dianggap apologi, karena faktanya masih banyak rakyat yang harus mengais rizki di luar rumah untuk menghidupi keluarganya. (wh/ti)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *