Relaksasi Dalam Tekanan Covid-19, Siapa Lebih Membutuhkan?

Ilustrasi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr.Abidinsyah Siregar*)

Kata “Relaksasi” tiba-tiba riuh mencuat dalam era keprihatinan serangan virus Covid-19.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Petinggi-petinggi negeri minta relaksasi perdagangan, relaksasi pasar, relaksasi transportasi, relaksasi wisata, relaksasi dan relaksasi.

Tidak ada yang ingat apakah Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Kesehatan perlu relaksasi.
Tidak ada juga yang ingat apakah keluarga-keluarga yang “dirumahsaja” butuh relaksasi.
Bahkan apakah Rumah Ibadah perlu relaksasi agar rindu ummat kepada rumah ibadah bisa terobati.

Apakah relaksasi itu? KBBI memberi makna singkat relaksasi adalah pengenduran, pemanjangan (otot).
Dari berbagai sumber, relaksasi ditujukan umumnya kepada manusia, agar tubuh manusia menjadi lebih tenang, rileks dan santai menghadapi stres berkepanjangan.

Relaksasi Moda Transportasi

Selain adanya relaksasi permintaan pembukaan Mal, Taman Wisata Ancol, yang terkini ramai relaksasi adalah Menteri Perhubungan yang “sekonyong-konyong” melakukan relaksasi transportasi yaitu pengurangan pengetatan operasi moda transportasi matra darat, laut dan udara dengan “cover” dilaksanakan sesuai protokol kesehatan.

Yang langsung bereaksi adalah 32 Pimpinan MUI Provinsi se Indonesia. “Lagi melawan virus tiba-tiba pemerintah membuka dan melonggarkan moda transportasi, ulama sudah mengajak umat mematuhi Fatwa MUI, tapi mau dimentahkan lagi (oleh pemerintah), masyarakat jadi bingung,” kata KH Munahar, Ketua MUI DKI Jakarta (Republika, Jumat (8/5).

Apa yang Terjadi?

Gubernur Jawa Barat, menemukan enam penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) Bogor ke Jakarta positif virus (Kompas.com, 7 Mei) dan minta KRL dihentikan. Para Bupati dan Walikota wilayah Bogor, Depok dan Bekasi minta dihentikan operasi KRL.

Kemarin, baru sehari bandara Soetta dibuka ditemukan 11 orang positif covid-19 dari 579 orang penumpang dari luarnegeri pada 4 penerbangan yang tiba hampir bersamaan.

Kesebelas kasus positif berasal dari Italia, yang dikenal sebagai Red zone dengan resiko tertinggi di Eropah. Dari Italia pesawat charter membawa 341 orang penumpang, umumnya ABK Indonesia. 71 orang lainnya lanjut ke Denpasar Bali. 3 pesawat lainnya dari Singapura, Kuala Lumpur dan Qatar. Ke 11 orang positif Covid-19 langsung dari Terminal 3 diantar ke Wisma Atlet sebagai tempat rujukan.

Tidak ada khabar bagaimana Protokol Ksehatan terhadap 568 orang penumpang lainnya yang sempat berkumpul antri untuk periksa kesehatan di Terminal 3. Terutama bagi 330 penumpang pesawat charter dari Italia yang selama lebih 16 jam berada dalam CABIN TERTUTUP dan DINGIN dari Italia bersama ke 11 orang positif Covid-19.

Ke 4 pesawat tersebut semua berasal dari Negara yang terdampak Covid-19. Bahkan Italia merupakan negara dengan tingkat infeksius Covid yang sangat aktif dan fatalitasnya tinggi. Jika mengikuti ketentuan Kekarantinaan, maka semua pelintas tersebut harus masuk mekanisme isolasi 14 hari di Pulau Galang atau Pulau Seribu. tidak boleh pulang.

Semua sudah tahu, sering diberitahu Juru bicara Covid-19 Nasional Dr.Achmad Yurianto, bahwa penularan virus covid-19 adalah melalui mobilitas dan kontak antar manusia.

Khusus Indonesia, infeksi kasus covid-19 berasal dari imported cases. Maknanya semua pihak harus menekan sekecil mungkin mobilitas manusia dari luar Indonesia.

Upaya menekan pergerakan manusia sudah dilakukan semakin ketat, dimulai dengan himbauan bapak Presiden Jokowi pada 2 Maret. Diikuti dengan Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang semakin ketat dan semakin meluas ke banyak wilayah dan daerah di Indonesia. Belakangan diikuti dengan kebijakan tidak ada mudik atau pulang kampung.

Tujuannya menekan mobilitas manusia, sembari jaga jarak, tidak berkerumun, pakai masker dan cuci tangan pakai sabun. Ini pilihan sulit, apalagi bagi pekerja harian, tapi tidak ada pilihan. Ini pengorbanan mulia.

Upaya Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui mekanisme PSBB sudah sangat serius, masyarakat melihat kesungguhan Daerah, masyarakat percaya sebaran infeksi virus ini akan menurun dan berakhir dalam beberapa bulan kedepan.

Mulai Ada Harapan

Sebagaimana tulisan terdahulu (tulisan ke-17 edisi Covid-19) dibawah judul “Bukan Kedua#Dirumahkan Covid-19, Kita Harus Lebih Kuat, bahwa menurunnya jumlah kematian dan meningkatnya jumlah kesembuhan adalah pertanda Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan sudah “mengendalikan situasi” didalam ruang-ruang perawatan.

Dan itu dicapai dengan pengorbanan sangat besar, bukan hanya pengadaan infrastruktur dan perbekalan kesehatan yang sangat banyak, tetapi juga pengorbanan nyawa dari puluhan Profesor/Spesialis/Dokter/Dokter Gigi/Perawat/Petugas kesehatan lainnya yang dimakamkan dengan sebab virus Covid-19 dalam kesendirian tanpa disaksikan keluarga.

Sebahagian Petugas mendapat sedikit relaksasi, dengan akomodasi di Hotel bintang 4 dengan fasilitas yang cukup baik dan pemenuhan kebutuhan primernya, namun tetap tidak boleh pulang.

Problem Besar Mendasar

Yang masih menjadi problem besar kita dalam penanganan wabah Covid-19 ini adalah pertambahan kasus yang masih sangat tinggi. Kita termasuk yang tertinggi dalam pertambahan kasus positif baru perharinya. Kemarin mencapai pertambahan tertinggi lebih 500 orang.

Akarnya sudah dibahas pada tulisan ke-15 berjudul “Jalan Pintas Tumpas  Tuntas Covid-19 ” pada 25 April 2020.
Yaitu semua target imported suspect yang masuk sejak Februari 2020, yang menurut Bapak Presiden pada Ratas akhir Maret dan Bapak Menkumham pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) secara Virtual dengan DPR RI Komisi II pada 1 April 2020, disebutkan ada jutaan pelintas masuk melalui 135 pintu masuk Indonesia.

Semua pelintas masuk (berdasarkan pasport) ditempatkan sebagai sasaran kasus, selanjutkan dilakukan pencaharian kasus sesuai kriteria WHO (case finding). Berikutnya dilakukan tracing dan test untuk memastikan siapa dan berapa banyak orang terpapar virus Covid-19 di Indonesia. Dari sini didapatkan Pendataan dan Pemetaan.

Tanpa data dan pemetaan kasus membuat kita bekerja bagai di ruang gelap, meraba-raba dalam keraguan dan penuh kekhawatiran, termasuk kepada diri sendiri.

Keadaan saat ini semakin berat, karena perkembangan kasus sudah menyebar antar warga antar komunitas, yang bisa terpapar dimana saja. Inilah gelombang ketiga dari paparan virus, yakni Community Spread (penyebaran di kalangan masyarakat).

Rekasasi Apa yang Dibutuhkan?

Sampai saat ini para Mikrobiolog dan Epidemiolog dari berbagai Perguruan Tinggi maupun Lembaga Riset, masih berdebat tentang karakter Virus Covid-19 di Indonesia, apakah masih turunan langsung dari Wuhan (yang cuaca dan lingkungannya berbeda dengan Indonesia), atau sudah mutasi baru yang adaptif terhadap lingkungan Indonesia.

Pertanyaan seperti ini, menuntut komitmen bersama, agar para ahli bisa mempelajari dengan cermat karakter sang virus dan tren mutatif nya sehingga bisa menemukan Obat yang tepat dan Vaksis yang tepat. Virus dikenal sangat mudah bermutasi.

Solusi antara yang paling efektif, adalah pengaturan tata laku manusia nya.

Sementara itu, tekanan Covid-19 secara persis belum diketahui berakhirnya. Banyak analis dengan beda pendekatan beda waktu. Ada yang meramalkan Maret, kemudian diperbaiki April dan diperbaiki lagi berakhir Mei.

Rekan saya Profesor.Dr.Salamun dari Bandung, seorang Epidemiolog melihat bahwa puncak serangan covid-19 akan melewati akhir masa darurat Kesehatan Masyarakat yang ditetapkan Kepala BNPB yaitu 29 Mei. Sebahagian ahli menghitung kemungkinan berakhir pada pertengahan September.

Tetapi para epidemiolog luar, mengkhawatirkan prilaku masyarakat Indonesia yang “susah disiplin” di luar rumah dan “Kebandelannya” (Community Stupidity) yang bisa membawa Indonesia dalam tekanan wabah ini sampai 1-2 tahun ke depan.

Dan virusnya sendiri tidak hilang tetapi hanya diam sebagai endemik yang sewaktu-waktu bisa muncul, seperti virus lainnya. WHO menginformasikan bahwa imunitas paska terinfeksi tidak sepenuhnya terjadi, karena umumnya penderita yang sembuh telah mengalami gangguan organ yang cukup luas.

Kita harus waspada terhadap re-infeksi gelombang kedua seperti yang terjadi di Singapura. Di samping adanya variabel under-reported, di samping terjadinya under treatment pada pasien yang punya comorbid (pengidap penyakit kronis seperti Penyakit Jantung dan Pembuluh darah, Penyakit paru, asma, diabetes, dll) yang luput dari pengobatan karena tidak datang kontrol atau obatnya habis.

Disamping itu masyarakat juga dipertontonkan dengan kurangnya kordinasi dalam pencegahan, penanganan dan penanggulangan virus Covid-19 dan dampaknya.

Ribut soal data penerima bantuan sosial karena data tidak akurat (ini jelas bukan salah masyarakat) yang berdampak keributan ditengah masyarakat, belum lagi saling menyalahkan diantara petinggi dan pembuat kebijakan, yang membuat publik masygul.

Rekasasi itu perlu. Tetapi sangat bergantung waktu dan momentumnya. Salah memilih Relaksasi dan menetapkan moment Relaksasi akan mengembalikan kita ke titik nol, diikuti kehilangan kepercayaan masyarakat, dengan kondisi masyarakat sudah capek dan sang virus semakin resisten atau kuat.

Suasana Masyarakat

Masyarakat mulai menuntut agar “cepatlah Covid-19 dihentikan” apapun caranya agar bisa hidup dan berusaha lagi.
Empaty dan Saling peduli sangat dibutuhkan dari semua unsur.

Membangun suasana yang fokus dan mengutamakan kesehatan adalah relaksasi paling rasional dalam fase Pandemik Covid-19.

Tampak nyata dua aspek perlu dikedepankan, yaitu perlunya satu kesatuan komando dan menjadikan Kesehatan dan Determinannya sebagai prioritas tim Gugus Tugas Nasional. Pilihan ini mengantarkan kita pada relaksasi bersama.

Jakarta, 10 Mei 2020, Jam 16.00

 

Dr.Abidinsyah Siregar, Ahli Utama BKKBN dpk Kemenkes/ Ketua PP Ikatan Persaudaraan Haji Indonsia (IPHI).

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *