Rakyat Menolak Perppu Corona No.1/2020

Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara. (Foto: Petrominer)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Bagian (4): Menggugat Sikap Hipokrit Menkeu Sri Mulyani

 

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Oleh: Marwan Batubara, Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK)

Meskipun telah ditetapkan DPR pada Sidang Paripurna 13 Mei 2020, berbagai ketentuan dalam Perppu Corona No.1/2020 tetap valid digugat ke MK. Sambil menunggu Presiden Jokowi membubuhkan tanda tangan atas UU (Corona) baru tersebut, Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) siap untuk kembali menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Berbagai ketentuan UU baru yang akan digugat ke MK, minimal sama dengan yang telah digugat pada Perppu Korona No.1/2020, yakni terkait Pasal 2a angka 1,2 dan 3, Pasal 27 dan Pasal 28. Pada tulisan Bagian (4) ini dijelaskan mengapa rakyat menolak Pasal 28 Perppu No.1/2020.  Tulisan ini juga menanggapi pernyataan Menkeu Sri Muliyani terkait moral hazard saat menyerahkan rancangan Perppu No.1/2020 kepada Pimpinan DPR pada 2 April 2020.

Pasal 28 Perppu No.1/2020 antara lain berbunyi: Pada saat Perppu ini mulai berlaku, maka sejumlah ketentuan dalam 12 UU yang saat ini berlaku, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu tersebut.

Pasal 28 Perppu akan mengeliminasi sejumlah pasal dalam 12 UU yang saat ini berlaku, jika terkait dengan kebijakan dan pelaksanaan Perppu. Dengan begitu, banyak peraturan perundangan yang disusun puluhan tahun oleh sejumlah pemerintahan dan DPR sebelumnya, termasuk hasil kesepakatan reformasi, dinyatakan tidak berlaku! Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter.

Kondisi di atas otomatis menjadikan kewenangan Presiden sangat besar dan tidak terbatas, sehingga berpotensi menimbulkan penyimpangan kekuasaan (abuse of power). Dengan Perppu yang berlaku otomatis saat disahkan Presiden, telah terjadi perubahan sistem tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter dengan jangka waktu yang tidak pasti. Ini terjadi karena batas waktu berlaku Perppu sesuai Pasal 28 dan 29 yang bersifat fleksibel tanpa batas waktu.

Karena tidak memiliki batas waktu berlaku, maka rencana penanggulangan pandemi korona tidak memiliki rencana waktu dan target yang jelas sebagai pedoman. Akibatnya pertanggung-jawaban atas anggaran yang disediakan APBN menjadi bias dan tidak terukur. Selain itu, puluhan ketentuan dalam 12 UU yang dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 28 Perppu menjadi tidak bisa digunakan entah sampai kapan, sepanjang UU baru (perubahan Perppu) masih berlaku!

Bersamaan dengan dibatalkannya puluhan ketentuan dalam 12 UU yang berlaku, risiko moral hazard sangat potensial terjadi karena perbuatan abuse of power akan bebas dari ancaman hukuman atau sanksi, akibat adanya status kebal hukum pada Pasal 27 Perppu. Kombinasi Pasal 27 dan Pasal 28 Perppu akan membuka peluang terjadinya moral hazard dan bebasnya pelaku kesalahan pelaksana kebijakan Perppu dari jerat hukum.

Hipokrisi Sri Mulyani

Saat menyerahkan rancangan rancangan Perppu Korona No.1/2020 kepada Pimpinan DPR 2 April 2020 Menkeu sebagai wakil pemerintah mengatakan: “Pemerintah dalam hal ini KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) bekerja sama dengan Kejaksaan, Kepolisian, dan bahkan KPK agar potensi moral hazard atau penyalahgunaan Perppu ini bisa dihindari”.

Sehari sebelumnya, Sri Mulyani mengatakan: “Anggota KSSK tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana jika melakukan tugas sesuai Perppu. Sepanjang dilakukan bukan tindakan konflik kepentingan, korupsi, menghindari moral hazard. Jadi, itu memberikan perlindungan hukum,” kata Sri Mulyani melalui video conference, Rabu (1/4/2020).

Pada 4 Mei 2020, menanggapi gugatan Perppu ke MK, Sri Mulyani mengatakan jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai aturan, maka segala tindakan dan keputusan yang diambil berdasarkan Perppu bukan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dikatakan kebijakan bukan dilakukan semena-mena tapi dengan itikad baik dan berdasar aturan, sehingga hal tersebut bukan immunitas penuh.

Tanggapan KMPK atas sikap Sri Mulyani di atas adalah sebagai berikut. Pertama, secara legal konstitusional iktikad baik tidak bisa menjadi jaminan seseorang bebas proses hukum. Moral kekuasaan tidak valid hanya diserahkan pada niat, ataupun sifat pribadi seseorang yang sedang menjabat. Betapapun baiknya seseorang, kekuasaan tetap harus diatur dan dibatasi. Hasil kerja pejabat beriktikad baik yang berpotensi merugikan negara tetap harus diuji melalui proses hukum yang adil dan terbuka. Iktikad baik tidak bisa didasarkan pada penilaian subyektif penyelenggara pemerintahan sendiri, kemudian bisa bebas proses hukum.

Kedua, seluruh pejabat negara otomatis harus bekerja dengan iktikad baik. Kalau tidak, pejabat tersebut sudah sepantasnya dipecat, in the first place. Dengan demikian, pencantuman frasa “iktikad baik” dalam Perppu menjadi redundant, tidak perlu, tidak relevan dan bisa menjadi dalih dan alat untuk bebas dari proses hukum meskipun terjadi moral hazard.

Ketiga, segala tindakan dan keputusan diambil didasarkan pada iktikad baik dan sesuai aturan, pelaku dan objek tindakan dan kebijakan tetap dapat diajukan ke PTUN. Hal ini sesuai prinsip negara hukum dan kesamaan di depan hukum, Sebaliknya, kalau KKSK sudah bertindak sesuai aturan, mengapa harus takut menghadapi pengadilan, sampai-sampai nekat meminta status kebal hukum dalam pasal 27? Justru dengan permintaan status tersebut hukum dilanggar, moral hazard potensial terjadi dan KKSK patut dicurigai!

Keempat, pernyataan Sri Mulyani yang akan bekerja sama dengan Polri, Kejagung dan KPK agar potensi moral hazard atau penyalahgunaan Perppu bisa dihindari merupakan basa-basi bernuansa hipokrit. Moral hazard tidak akan dapat dicegah jika peraturan tidak ditegakkan konsisten tanpa pandang bulu, termasuk terhadap KKSK! Sementara dalam Pasal 27 Perppu, Pemerintah dan KKSK meminta status kebal hukum. Karena memiliki hak istimewa dan status kebal hukum, maka fungsi penegakan hukum oleh lembaga-lembaga penegak hukum tidak akan berjalan optimal.

Kelima, Pasal 27 Perppu menyatakan biaya yang dikeluarkan Pemerintah dan/atau KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan Perppu bukan merupakan kerugian negara. Hal ini tidak sesuai prinsip dasar keuangan negara, sekaligus meniadakan peran BPK untuk menilai dan mengawasi. Jika hasil audit BPK sudah tidak tersedia, bagaimana proses penegakan hukum bisa berjalan? Maka moral hazard pun dapat berlangsung leluasa.

Keenam, Dengan dibatalkannya berbagai ketentuan dalam 12 UU oleh Pasal 28 Perppu, maka pernyataan Sri Mulyani tentang “kebijakan dan tindakan KKSK tidak bisa diproses hukum sepanjang sudah dilakukan sesuai aturan” menjadi tidak relevan. Tindakan KKSK tidak akan bisa diselidiki, disidik dan diproses penegak hukum secara optimal, karena aturan yang menjadi dasar tindakan sudah disingkirkan terlebih dulu. Penyidikan dan proses hukum pun menjadi tidak optimal karena hasil audit BPK tidak tersedia seperti disebut pada butir kelima.

Ketujuh, pengalaman buruk pada kasus BLBI dan Bank Century bukan alasan bagi KKSK untuk memperoleh status kebal hukum. Perintah atasan/oligarki yang melanggar aturan bukan objek yang harus dijalankan dan dilindungi, tanpa reserve. Jika hal itu terjadi, maka demi hukum, KKSK harus mundur dari jabatan. Sebaliknya jika perintah tetap dijalankan, maka KKSK telah melanggar sumpah jabatan dan termasuk pihak yang terlibat kejahatan, sehingga harus diadili. Rakyat menolak prilaku KKSK yang membiarkan kejahatan terjadi di depan mata, pada saat yang sama menikmati seluruh fasilitas jabatan yang dibayar dengan uang rakyat, sambil meminta status kebal hukum atas dasar penyelamatan ekonomi.

Dari uraian di atas, terlihat pernyataan Sri Mulyani terkait itikad baik, status kebal hukum dan potensi moral hazard menjadi sesuatu yang bernuansa hipokrit dan sekaligus pantas digugat. Kalau pemerintah dan Sri Mulyani ingin menegakkan hukum dan menghindari moral hazard, hilangkan saja status kebal hukum pada pasal 27 dan batalkan eliminasi puluhan ketentuan pada Pasal 28 Perppu. Kalau tidak, dapat dinilai bahwa prilaku moral hazard justru telah terjadi sejak awal, saat Perppu diterbitkan pemerintah. Itu namanya hipokrit! (*)                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Jakarta, 13 Mei 2020

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *